3. Case Close Each Other

295 20 0
                                    

"Tapi kau tenang saja, Mark Lee. Aku tidak akan menuntut banyak hal kepada dirimu. Yang terpenting bagi diriku saat ini, kau menikahi diriku. Setelah menikah, aku tidak menuntut banyak hal kepada dirimu." Ujar Jaemin, yang tidak mau memberatkan calon suaminya. Atau lebih tepatnya dia sadar diri akan pernikahannya ini.

"Maksud kamu, kamu tidak menuntut banyak hal itu, hal apa saja yang kau maksud?" Tanya Mark, yang semakin bingung akan kemauan calon istrinya.

"Ya gitu... aku tidak akan menuntut dirimu menjadi seorang suami sungguhan. Kau boleh bertindak sebagai dirimu sendiri, setelah menikah lagi. Bahkan kalau kau mau menjalin kasih dengan wanita lain pun aku tidak apa-apa. Aku sadar bahwa pernikahan kita ini di landasi perjodohan dan keterpaksaan. Jadi, aku tidak akan menuntut dirimu menjadi seorang suami." Ujar Jaemin.

"Tapi kau tenang saja. Aku akan menjalankan tugas aku sebagai seorang istri. Bahkan kalau kau mau meminta berhubungan seksual dengan diriku, aku akan memberikannya." Sambung Jaemin.

"Sebenarnya, seberapa parah dirimu terluka?" Tanya Mark, menatap calon istrinya dengan lirih.

Mark sangat tau kalau perempuan ini sangat terluka. Dia tidak percaya dengan siapapun termasuk dirinya sendiri. Dia sangat ahli membangun pondasi yang kuat, agar orang lain melihatnya kuat dan tentunya wanita yang independent. Tapi di balik itu semua, Na Jaemin tetap-lah seorang wanita, yang terbuat dari tulak rusuk. Tapi tulang punggungnya di paksa untuk menampung beban yang sangat berat.

Pertanyaan Mark, membuat Jaemin terdiam. Ia juga bingung akan dirinya sendiri. Dia ini sebenarnya terluka, atau memang membentengi dirinya agar tidak terluka.

Memang tidak ada yang menyakiti dirinya secara fisik. Namun semua kejadian yang di alami keluarganya. Baik itu hutang keluarga, masalah ekonomi, penipuan yang terjadi oleh ibunya karena temannya sendiri, permasalah internal keluarganya, sang ayah yang tidak berperan layaknya kepala kelurga, yang mengharuskan dirinya menjadi kepala keluarga yang mengurus banyak hal. Padahal ayahnya masih ada, tapi yang mengurus masalah nafkah itu dia. Dia yang harus mencarinya guna kebutuhan keluarganya terpenuhi.

Secara fisik, memang tidak ada yang melukai dia dan dia tidak apa-apa. Tapi secara psikis dan mental? Ia tidak bisa menjawab kalau dirinya tidak apa-apa. Banyaknya trauma yang dia alami, yang membuat dia tidak percaya kepada siapapun, atau bahkan berharap kepada siapapun.

Sedangkan Mark yang melihat keterdiaman calon istrinya, ia segera menjulurkan tangannya, untuk mengambil kedua tangan calon istrinya. Di usapnya secara perlahan, guna memberikan ketenangan kepada calon istrinya.

"Kau tidak usah khawatir. Aku akan menunjukkan dan buktikan kepada dirimu, bahwa aku bukan orang yang seperti kau takutkan. Aku akan berusaha sekuat mungkin, untuk menghilangkan rasa itu di dirimu." Ujar Mark.

Jaemin terdiam. Netranya menatap manik mata calon suaminya, guna mencari kebohongan di sana. Tapi tetap saja ia tidak menemukan kebohongan sekali pun di manik mata calonnya.

Helaan nafas panjang keliar dari mulutnya. Ia langsung mengalihkan tatapannya, setelah sadar apa yang ia pikirkan. "Semoga saja." Gumam Jaemin, yang masih takut untuk menunjukkan rasa percaya-nya kepada orang lain.
***

*tok tok tok* ketukan pintu suara kamar Jaemin, membuat dirinya yang tengah bersiap pun menghentikan kegiatannya.

"Iya, bu?" Sahut Jaemin, dan Nyonya Na pun langsung membuka pintunya.

"Loh, kirain Ibu kamu belum bangun. Mark udah nungguin kamu di bawah tuh." Ujar Nyonya Na.

Jaemin yang mendengar nama calon suaminya di sebutkan, langsung menautkan kedua alisnya heran. "Mark?" Tanya Jaemin sekali lagi, untuk memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Iya, Mark,  calon suami kamu. Lebih baik kamu cepat-cepat bersiapnya. Kasihan calon suami kamu nunggunya." Jawab Nyonya Na, dan langsung pergi dari hadapan sang anak.

Jaemin pun segera mempercepat acara bersiapnya. Ia langsung menaruh sisir yang ia pegang ke atas nakas, mengambil blezer dan juga tasnya. Setelahnya, ia langsung bergegas ke bawah untuk menemui calonnya.

Sampai di bawah, ia dapat melihat calon suaminya yang sedang duduk di meja makan bersama dengan keluarganya. Ada Ayah, Ibu, dan kedua adiknya, Iqbal dan Giselle.

"Mark." Panggil Jaemin, yang membuat calon suaminya menoleh.

"Ayo, Mark." Seru Jaemin, yang menyuruh calon suaminya untuk bergegas.

"Loh, gak sarapan dulu kak?" Tanya sang Ibu yang heran.

"Gak bu, biasanya juga gak sarapan." Balas Jaemin, yang masih menunggu calon suaminya untuk beranjak.

"Bu, Yah. Aku pamit dulu, sama izin bawa Jaemin ya." Pamit Mark, yang langsung pergi menghampiri calon istrinya, dan mereka pun pergi bersama.

"Mau sarapan di mana?" Tanya Jaemin, di tengah perjalanan mereka menuju kantornya.

"Loh, katanya kamu gak biasa sarapan." Sahut Mark, yang heran akan ajakkan calon istrinya.

"Ya emang gak biasa sarapan. Tapi kamu pasti sarapan kan? Jadi, mau sarapan gak?" Tawar Jaemin sekali lagi.

"Bubur?" Seru Mark, merekomendasikan.

"Yaudah makan bubur, di depan indomaret lapangan ros aja." Sahut Jaemin, dan Mark pun langsung melajukan mobilnya, menuju tempat yang di rekomendasikan calon istrinya.

Selama kurang lebih 10 menit menempuh perjalanan, Mark dan calon istrinya akhirnya tiba di tempat tujuan. Mereka langsung duduk di kursi yang tersedia, setelah memesan bubur yang ingin mereka makan.

"Beneran gak mau makan buburnya?" Tanya Mark, yang di balas gelengan kepala oleh calon istrinya.

Melihat jawaban calon istrinya tetap sama, ia langsung beranjak dari duduknya. "Tunggu sebentar ya." Ujar Mark, yang langsung pergi meninggalkan calon istrinya, menuju ke indomaret yang ada di belakangnya.

Sementara Jaemin yang tengah menunggu Mark, ia langsung memainkan ponselnya. Tidak ada hal lebih yang di lakukan dirinya. Ia hanya memainkan ponselnya seperti orang sibuk. Padahal tidak ada yang mengechat dirinya, selain pekerjaan.

Sircle Jaemin itu tidak luas, semenjak ia dewasa. Dulu, ia mempunyai banyak teman. Banyak sekali, apalagi teman prianya. Namun semenjak berjalannya waktu, ia jadi memiliki sedikit teman.

Entah kenapa dia lebih sering berada di rumah, dan mengasingkan diri untuk bermain dan bersosialisasi dengan banyak orang.

Teman yang benar-benar ia anggap sebagai temannya, adalah teman dari sd-nya. Menjalin pertemanan dari sd, sampai mereka tumbuh dewasa seperti ini.

"Neng, ini buburnya ya." Ujar tukang bubur, yang membuat lamunannya buyar.

Ia langsung memasukkan kembali ponsel ke dalam saku blezernya, dan mengambil 1 mangkuk bubur dari tangan tukang bubur, yang sangat bertepatan calon suaminya yang kembali.

"Maaf lama." Ujar Mark, yang langsung mengambil bubur yang ada di tangan calonnya, lalu memberi calon istrinya sebuah bingkisan yang baru saja ia beli dari indomaret tadi.

"Santai aja. Ini apa?" Tanya Jaemin, menatap bingkisan yang di bawa calon suaminya.

"Makanan untuk dirimu sarapan. Ada roti sama susu. Setidaknya makan, kalau memang gak bisa sarapan yang berat-berat." Jelas Mark.

Jaemin langsung tersenyum mendengarnya. "Makasih ya."

TREAT YOU LIKE QUEEN - MARKMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang