Rei datang ke sekolah Sae pagi itu. Dia sebenarnya enggan datang tapi ini adalah perintah dari atasannya. Jadi dia melakukan tugas ini. Sharon tidak bisa mendampingi karena dia pun ada tugas lain.
Rei melihat Sae. Dia melihat Sae yang menyapanya. Dia ingin segera mengakhiri pembicaraan dengan adiknya itu. Karena dia tahu Sae punya rasa ingin tau yang tinggi.
"Nanti kita bicarakan di rumah." Itu kalimat yang di ucapkan untuk mengakhiri pembicaraan. Dia melihat ada seseorang bersembunyi di balik tubuh Sae, namun dia tidak memperhatikannya. Rei pun masuk ke dalam sekolah.
Berhadapan dengan kepala sekolah, Rei berbicara secara pribadi dengan kepala sekolah.
"Itu tidak bisa saya lakukan. Tapi jika kepentingannya untuk kebaikan saya akan arahkan." Kata Pak Kepala Sekolah setelah mendengar permintaan Rei.
"Saya mohon bantuannya." Rei pun berpamitan dengan Kepala Sekolah.
Rei masuk ke dalam mobilnya lalu dia menelepon Sharon.
"Ya, aku akan jemput." Begitu Kata Rei lalu dia mengemudikan mobilnya.
Sesampainya di rumah.
Sharon masih tidak terima dengan pernyataan Rei. Mereka sudah bertengkar sejak perjalanan pulang.
"Kamu yang serius dong. Masa harus aku juga yang maju?" Sharon sudah meninggikan suaranya.
Rei yang mengikuti Sharon dari belakang, lalu dia menjawab. "Aku yang turun. Ini tugasku."
"Tapi kerjamu itu loh. Lamban sekali." Sharon menaruh tas nya di meja. "Apa aku yang menghambat pekerjaan mu?"
Rei terdiam.
"Aku tidak punya waktu lagi." Tangan Sharon bergetar. Dia mengepalkan tangan.
Rei melihat itu lalu dia mendekat memeluknya erat. "Jangan seperti ini." Rei berbisik di telinga Sharon. "Atur nafasmu. Jaga emosimu."
Sharon terdiam sesaat. Dia lebih sedikit tenang.
Rei mengelus pipi Sharon. "Apa aku boleh menciummu?"
Sharon memeluk leher Rei. "Kenapa perlu ACC?"
Rei mencium bibir Sharon. Seperti orang kelaparan, Rei menciumi bibir Sharon berulang kali.
"Rei, Sae..." Sharon menahan tubuh Rei agar tidak mendekat lagi.
"Dia sedang di sekolah." Rei menggendong Sharon lalu mendudukkannya di meja pajangan. Dia mendekatkan wajahnya lalu mencium Sharon lagi.
Lidah mereka bertautan, Rei memperdalam ciuman mereka. Nafasnya semakin berat dan memburu. Tak bisa menahan diri lagi, Rei pun membuka baju Sharon lalu mengecup leher wanitanya. Rei menggendong Sharon lalu membaringkannya di sofa ruang kerjanya.
Sae yang masih di dalam kamarnya bingung menghadapi suasana seperti ini. Dia sesekali melirik Shiho, perasaan campur aduk. Dengan perasaan resah akhirnya dia pun mengintip keluar kamarnya.
"Sepertinya dia sudah di dalam kamar." Pikir Sae. "Sttt..." Sae memberi isyarat untuk keluar bersama.
Shiho melihat Sae. Dia pun mengendap-endap. Mengikuti di belakang Sae.
Sae melirik ke kanan dan kiri lalu di rasa aman. Dengan jalan berjinjit dia keluar menjauh dari kamarnya. Sampai dia tiba di depan ruang kerja Sae.
Menahan nafasnya karena terkejut. Sae berhenti jalan. Lalu dia mendekatkan badannya ke tembok.
Shiho yang mengikut di belakang pun mengikuti pergerakan Sae. Tanpa sadar Shiho menggenggam tangan Sae.
Sae pun menggenggam erat tangan Shiho. "Kenapa mereka tidak menutup pintunya sih." Gumam Sae.
"Kenapa?"
"Pintunya terbuka." Sae berbisik.
Suara kicauan burung terdengar di ruang kerja Rei. Itu adalah ringtone suara ponsel Rei.
"Ada burung?" Bisik Shiho.
"Bukan. Itu ponsel Kakak." Sae berjongkok takut sang kakak keluar kamar.
Rei mengangkat panggilan teleponnya. Lalu terdengar suara Rei menutup pintu kerjanya.
"Kesempatan kita." Kata Sae. Buru-buru dia berdiri, masih menggandeng Shiho. Mereka pun keluar dari rumah Sae.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Rose
RandomKisah rumit sebuah hubungan, seperti benang kusut yang sulit di urai. Menampilkan sosok berwajah dua yang menyeramkan namun tetap di pandang sebagai Mawar Merah padahal dia memiliki warna lain.