010. Kehilangan

305 40 0
                                    

"Rasa sakitnya begitu nyata dan lukanya akan abadi."

~FEARFUL~

•••

"Lea, jangan tidur mulu!" tegur Riko yang berdiri di samping meja gadis itu.

Jam pelajaran terakhir sudah selesai. Guru mata pelajaran telah meninggalkan ruang kelas. Namun, bel pulang belum berbunyi membuat semua siswa masih menunggu di dalam kelas.

Bukannya bersiap pulang, Allea malah meletakan kepala di atas meja dan menggunakan tas sebagai bantalan. Merapatkan mata, mengabaikan teguran pemuda itu.

Ketua kelas MIPA 3 mendekat pada Riko. "Bantuin gue bawa buku teman-teman ke ruang guru!"

"Minta bantuan yang lain aja!"

"Lo kan gak ada kerjaan."

"Malas! Mending minta bantun Allea aja."

Allea hampir saja tersedak ludah sendiri saat mendengar namanya disebut. Ia masih dalam posisi semula, berpura-pura tidur dengan wajah yang menghadap jendela membelakangi keduanya.

"Lo aja, dia lagi tidur," ucap ketua kelas masih dengan pendiriannya.

"Kalo masalah itu mah gampang," jawab Riko sambil meletakan tangannya di bahu Allea.

Gadis itu bisa merasakan guncangan di bahunya saat Riko menggerakkan tangannya. Ia mempertahankan posisi pura-pura tidur, berusaha terlihat tidak terganggu dengan guncangan itu. Riko melepas tangannya dari bahu Allea, membuatnya gadis itu menghela nafas lega.

"Susah banget dibangunin ini anak."

Nyatanya Riko tak menyerah. Ia memegang kedua lengan Allea dan menarik tubuhnya sampai posisinya berubah menjadi duduk tegak. Gadis itu langsung membuka mata sambil melayangkan tatapan tajam ke arah Riko. Ingin protes, tapi keberadaan ketua kelas membuatnya mengurungkan niat.

"Bantuin Juan bawa buku ke ruang guru!" perintah Riko lalu pergi entah kemana.

Allea menatap ketua kelas dengan senyum yang dipaksakan.

"Ee, l-lo bisakan?" tanya Juan kikuk karena pertama kali mengajak gadis itu bicara.

Allea menghela nafas lelah, terpaksa mengangguk pelan. Tidak punya keberanian untuk menolak. Dirinya berdiri kemudian menerima tumpukan buku yang lumayan banyak dari Juan dan mengikutinya keluar kelas.

Keduanya berjalan beriringan menuju ruang guru. Tidak ada perbincangan di antara mereka karena memang keduanya tidak akrab. Ini kali pertama mereka berinteraksi dan juga kali pertama Allea ke ruang guru.

Sesampainya di depan ruang guru, Juan menoleh pada Allea.

"Sampai sini aja!" ucapnya sambil mengambil tumpukan buku yang di bawa Allea. "Lo duluan aja ke kelas, gue masih ada urusan." Juan memasuki ruangan, meninggalkannta seorang diri.

Bertepatan dengan itu, bel pulang berbunyi. Kerumunan siswa keluar dari kelas mereka menuju parkiran. Allea hanya mendengar suara ributnya, karena posisi ruang guru dengan ruang kelas lumayan jauh.

Ia melangkah sambil mengingat-ngingat koridor yang tadi di laluinya bersama Juan. Langkahnya terhenti saat di depannya ada tiga lorong.

"Tadi lewat lorong yang mana, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Gadis itu tidak tahu jalan mana yang tadi di lalui. Tak ada juga siswa yang bisa ditanyainya di sekitar sini. Allea memilih lorong mengikuti feeling. Namun, posisinya malah semakin jauh dari kelasnya. Tangannya merogoh saku mencari keberadaan ponsel dan sialnya Allea meninggalkannya di kelas.

Tubuhnya sudah panas dingin, takut dan panik menjadi satu, tapi ia tetap berusaha menenangkan diri.

"Tenang Allea, pasti ada yang menemukanmu."

Langkahnya berhenti di sebuah taman kecil penuh bunga yang baru pertama kali dilihatnya. Ia tak tahu ada taman seindah ini di sekolah. Dirinya memang tak ikut MPLS karena sakit, makanya Allea tidak tahu lingkungan sekolah. Gadis itu duduk di kursi yang disediakan di taman. Setidaknya bisa lebih tenang dari pada berjalan kesana kemari dan semakin jauh dari kelas

"ALLEA?"

Gadis itu langsung berdiri saat seseorang memanggilnya. Ia tersenyum karena memang yakin pasti ada yang akan menemukannya.

"Kalian?" Senyum Allea semakin melebar saat melihat tiga pemuda yang berstatus sebagai sahabatnya sekarang.

Tidak menyangka bahwa ketiganya akan datang bersama. Awalnya ia mengira, mungkin salah satunya yang akan menemukannya.

Ketiganya khawatir dan panik. Namun, ada keanehan dari ekspresi mereka, seperti ada yang disembunyikan.

Jeff menarik lengan Allea. "Ayo!"

"Kenapa buru-buru!" gadis itu menahan tangannya.

Ia menatap penuh selidik tiga pemuda itu bergantian. Merasa aneh dengan ekspresi dan tingkah mereka. Di situasi seperti ini, biasanya Raka akan mengomel, Jeff akan marah, dan Riko mungkin akan bercanda ataupun menggodanya karena tidak tahu jalan menuju kelas.

"Kalian kenapa kelihatan aneh gini?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

"Gak usah banyak tanya, ikut aja!" jawab Jeff tidak sabaran.

"Raka, ada apa?"

Allea menatap Raka yang membuang muka ke arah lain. Ia tahu Raka tidak bisa berbohong padanya. Apalagi ekspresi pemuda itu terlihat sedih.

"Allea, tenangkan diri dulu!" Riko berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Bilang sama gue, ADA APA?"

Raka menunduk, "Orang tua lo ... kecelakaan."

"Jangan bercanda."

"Gue serius. Tadi ada yang telepon di ponsel —"

Tanpa menunggu ucapannya selesai, gadis itu langsung berlari. Jeff yang berada paling dekat dengannya ikut berlari di sampingnya. Raka dan Riko mengikuti di belakang. Mereka berempat berlari di koridor, menimbulkan suara menggema dari gesekan sepatu dan lantai. Sekolah yang mulai sepi membuat mereka leluasa lewat.

Di parkiran, Allea berlari menuju motornya, tapi langsung di tarik oleh Jeff menuju mobil. Mereka berempat pergi ke rumah sakit menggunakan mobil milik Jeff.

"Cepat, Jeff!" perintah Allea tak sabaran.

Mobil itu melaju kencang membelah jalanan sore ibu kota. Tidak ada pembicaraan di antara mereka, hanya tangis sendu Allea yang terdengar pilu. Matanya memerah mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti. Ketiga pemuda itu hanya diam mendengarnya. Meski sebenarnya tidak tega mendengar suara tangisan sahabat mereka.

Mobil yang mereka kendarai telah tiba di rumah sakit. Keempatnya berlari memasuki rumah sakit dan bertanya pada perawat letak ruangan orang tua Allea di rawat.

"Korban kecelakaan beberapa jam lalu yang dibawa ke RS ini, ada di ruangan mana?" Jeff bertanya pada petugas yang berjaga.

"Apakah adek keluarga korban?"

Jeff menggeleng lalu menunjuk Allea yang sedang menangis di sampingnya.

"S-saya anaknya."

Raka berdiri di sisinya sambil mengelus punggung gadis itu, berusaha menguatkannya. Sedangkan Riko hanya diam, tidak bisa berbuat banyak.

"Maafkan kami, sayangnya kondisi korban kecelakaan beberapa jam lalu sangat kritis. Meskipun kami telah melakukan segala upaya yang kami bisa, nyawanya tidak dapat kami selamatkan. Kami turut berduka cita atas kehilangan yang mendalam ini."

"BOHONG!" Allea berteriak tiba-tiba. "K-kita k-kayaknya salah masuk r-rumah sakit." Kalimat gadis itu tersendat-sendat.

"Suster pasti salah, kan?" rengek gadis itu tak mau percaya.

"Kedua pasien atas nama Pak Rahman dan ibu Aulia! Pak Rahman meninggal di perjalanan, sedangkan ibu Aulia meninggal di UGD!"

Tubuh Allea luruh ke lantai saat mendengar nama kedua orang tuanya disebut. Pandangannya perlahan mulai gelap, hingga akhirnya hilang kesadaran.














FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang