026. Marah

231 29 0
                                    

"Jangan sampai amarah membuatmu berperilaku kasar karena biasanya akan berakhir dengan penyesalan."

~FEARFUL~

•••

"Mau mampir?" tanya Allea pada Raka saat motor pemuda itu berhenti di depan rumahnya.

Anggukannya membuat Allea membuka pagar agar motor Raka bisa parkir di halaman rumah. Keduanya dalam keadaan basah kuyup karena sejak tadi hujan belum juga reda.

"Ayo masuk!"

Pemuda itu memilih duduk di kursi yang ada di teras. "Gue di sini aja."

"Gue ke dalam dulu," ucapnya segera beranjak masuk menuju dapur.

Ia kembali ke teras sambil membawa handuk dan secangkir teh hangat. Raka yang tengah fokus dengan ponselnya, segera meletakannya di meja saat melihat kedatangan Allea. Pemuda itu mengusap kedua lengannya karena kedinginan.

Setelah meletakan teh di meja, Allea menyampirkan handuk di kedua bahu Raka. Setelahnya duduk di samping sambil memperhatikan pemuda itu mulai menyeruput teh buatannya.

Raka meletakan cangkirnya di meja. "Nggak niat ganti baju? Lo bisa meriang kalau pakai baju basah."

Baju seragam yang digunakannya sudah mulai kering di tubuhnya. Membuat badannya terasa lepek. Hal sama juga terjadi pada pemuda di sampingnya. Timbul perasaan bersalah di hati Allea karena mencari dirinya lah yang membuat Raka harus kehujanan.

Suara deru motor terdengar sayup, membuat Allea bangkit dari duduknya. Sebuah motor langsung masuk ke halaman rumah karena pagar terbuka lebar. Motor itu diparkir tepat di samping motor Raka.

Allea mendekat menyambut kedatangannya. "Riko, lo ke ..."

Orang itu berlalu melewati Allea seakan tak melihatnya. Ia memilih duduk di samping Raka, tempat yang tadi Allea duduki. Kemudian meminum teh hangat milik Raka tanpa izin.

"Biar gue buatin dulu," ucap Allea berniat kembali ke dapur.

Piipp ... Piippp ...

Bunyi klakson terdengar di depan rumah Allea. Tangannya tertahan saat baru saja ingin meraih kenop pintu. Ia menoleh dan melihat mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di depan pagar. Sang pengemudi keluar dari mobil, membiarkan rintik air membasahi tubuhnya. Langkahnya pelan dengan tatapan tajam saat mendekatinya.

Pemuda itu nampak menyeramkan di mata Allea. Ia berhenti tepat di hadapan gadis itu. Netranya menatap lurus orang di depannya. Menguarkan aura intimidasinya, membuat Allea menegang seketika.

"Jeff ..."

Plak ...

Allea tersentak membuatnya reflek melangakah mundur. Ia memegangi pipi kirinya sambil melotot menatap Jeff. Tamparannya tak begitu keras, tapi berhasil melukai hatinya. Tanpa sadar setetes air mengalir dari matanya. Selama ini Jeff tak pernah kasar padanya, tapi hari ini pemuda di depannya sangat marah.

Raka dan Riko berdiri dari duduknya. Ikut kaget pada apa yang dilakukan Jeff.

"Je, kenapa?" tanya Allea dengan suara bergetar.

"Lo nanya kenapa?"

Allea menunduk, tak menjawab. Tangannya menyeka air mata di pipi yang semakin banyak. Ia berbalik ingin masuk ke dalam rumah, tapi Jeff menarik lengannya erat.

"Apa yang lo pikirin dengan pergi sendiri tanpa ngasih tau siapapun. Kalo terjadi sesuatu sama lo dan nggak ada yang tau. Gimana? HAH!"

Rahang pemuda itu mengeras. Tatapannya semakin tajam seakan menusuk tepat ke arah Allea. Genggaman tangannya semakin mengerat di pergelangan tangan si gadis, membuatnya meringis kesakitan.

"Lo kira gue nggak khawatir? Lo pergi tanpa ngasih tau siapapun. Kami pusing nyari lo kemana-mana. Bahkan telepon pun ga lo angkat. Gue takut LEA! Gue takut lo kenapa-napa!"

"Maaf!"

"BERHENTI MINTA MAAF JIKA LO MASIH SELALU MENGULANG KESALAHAN YANG SAMA!!" Jeff berteriak kesal. "Setelah kepergian orang tua lo, gue merasa bertanggung jawab jagain lo karena sebelum pergi, mereka selalu berpesan untuk perhatiin dan jagain lo."

Allea menunduk sambil menangis. "Gue emang salah. Lo pantas marah."

"Apa susahnya sih jujur?" Suara Jeff memelan. "Gue ga akan ngelarang kalau lo mau pergi ke suatu tempat, tapi seharusnya lo ngasih tau dulu."

Jeff melepas cekalan tangannya, membuat Allea langsung menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis sesegukan. Ketiga sahabatnya diam, membiarkannya meluapkan tangisnya.

Cukup lama mereka dalam keadaan diam, hingga akhirnya suara tangis Allea tak terdengar lagi. Ia membuka wajahnya dan menatap sahabatnya satu persatu. Mereka semua masih dalam keadaan basah.

Pintu rumah terbuka, menampakan Oma Sarah yang memicingkan mata memandang mereka. Ia nampak baru bangun.

"Eh, kenapa malah di luar hujan-hujan begini? Lea, ajak temannya masuk!"

"Anu ..."

"Kalian bisa masuk angin, apalagi bajunya basah semua," lanjut Oma saat Allea tak menjawab.

"Kami sudah mau pulang, Oma." Raka mendekat dan meraih tangan Oma Sarah untuk menyalaminya.

Jeff dan Riko mengikuti yang dilakukan Raka. Allea hanya diam memandang mereka.

Setelah pamit, ketiganya meninggalkan kediaman Allea. Gadis itu menatap nanar kepergian mereka.

***

Di ruang makan, Allea dan neneknya duduk berhadapan dibatasi meja. Gadis itu tengah menyantap makan malamnya, sedangkan Oma Sarah hanya menemaninya.

"Apa yang terjadi?" tanya Oma penasaran tentang yang terjadi beberapa waktu lalu di luar rumah.

"Nggak ada."

Oma Sarah tak bertanya lagi. Cucunya memang tak banyak bicara padanya jika tidak penting. Bahkan dengan adiknya pun, Allea tak sering berinteraksi. Hal itu karena Allea yang sibuk sekolah dan juga bekerja. Saat pulang dari bekerja, biasanya adiknya sudah tidur. Saat hari libur, Allea lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, sedangkan Jevan lebih banyak bermain di luar rumah bersama anak-anak di komplek perumahannya.

"Oh, ya, soal uang yang dipinjam tante Jamilah ..."

"Belum bisa diganti??" tebak Allea lalu menyendokan makanan ke mulutnya.

Anggukan neneknya membuat Allea menghela napas pasrah. Sudah beberapa kali ia menanyakan tentang uang itu, tapi jawabannya selalu sama. Bahkan Jamilah sudah tidak pernah lagi datang ke rumah setelah meminjam uang.

"Apakah keuangan kita menipis?"

Oma Sarah tersenyum hangat. "Enggak, kok! Oma masih ada usaha garmen peninggalan kakekmu. Cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari."

"Tapi, biaya sekolahku dan Jevan tidak murah," tukas Allea pelan.

"Oma masih bisa usahain, kok."

Allea menggeleng tak setuju. "Aku nggak mau terlalu membebani Oma. Kuharap Tante Jamilah segera membayar hutangnya."

"Nanti Oma tanya lagi kapan dia akan membayarnya," sahut Oma Sarah merasa bersalah.

Makanan gadis itu sudah habis. Ia bangkit untuk menyimpan piring dan gelasnya di wastafel. Kemudian mencuci piring kotor.

"Kayaknya aku harus cari pekerjaan baru. Cafe milik tante Arumi masih tutup sampai saat ini," ungkap Allea disela cucian piringnya.

"Ngga usah kerja lagi! Di usia kamu sekarang waktunya untuk banyak main sama teman."

"Tapi, Oma ----"

"Jangan membantah!"














FEARFUL (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang