"Katamu aku pendiam, katamu aku tak banyak bicara, nyatanya kita yang tak dekat."
~FEARFUL~
•••Allea baru bangun tidur saat jam sudah menunjukan pukul sepuluh lewat. Ia keluar kamar sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku.
"Tuan putri baru bangun?"
Sindiran halus terdengar saat Allea menuruni tangga.
Melirik keluarganya yang sedang bersantai di ruang keluarga. Kebiasaan mereka di hari minggu. Ayahnya membaca koran, ibu menonton drama televisi dan adik laki-lakinya yang berumur sepuluh tahun sedang bermain game. Tampak seperti keluarga harmonis.
"Sini gabung!" ajak ibu sambil menepuk sofa di sampingnya.
"Aku haus!" Allea berjalan menuju dapur dan mengambil minuman dingin di dalam kulkas.
"Lea, jangan keseringan minum air dingin. Sakit tenggorokanmu belum sembuh total." Teriakan ibu terdengar dari ruang keluarga.
Gadis itu tetap meminumnya meski dilarang, mengabaikan rasa nyeri di leher. Setelah minum, baru ikut bergabung dan duduk bersama orangtuanya.
"Besok ada acara keluarga di rumah Oma. Kamu mau ikut?"
"Malas!" jawab Allea sambil menghela nafas.
Ibu mengangguk mengerti, tetapi ayah menutup kasar koran yang dibacanya saat mendengar penolakan anak perempuannya. Gadis itu tidak pernah mau ikut sama sekali saat ada acara keluarga. Lebih suka di rumah dan menikmati kesendirian. Biasanya orangtuanya tidak terlalu mempermasalahkan karena tahu anaknya yang kesulitan bersosialisasi. Namun, kali ini ayah mulai kesal karena Allea selalu menolak ikut.
"Sekali-kali ikut lah, Lea! Kamu belum pernah ikut sama sekali," desak Ayah sedikit memaksa.
"Iya, Kak, ayo ikut." Adiknya, Jevan ikut bersuara. "Seru tau, bisa main sama sepupu-sepupu yang lain. Tante Jamilah sampai bilang kakak itu songong, soalnya ga mau ikut ngumpul bareng."
"Kalian tau aku, kan. Aku gak suka sama keramaian."
Rahang tegas pria paruh baya itu mengeras kesal. "Tante dan sepupu-sepupu kamu selalu cerita atau ngejek kamu yang gak pernah hadir karena sifat anti sosialmu. Mama kamu juga sering kena sindir karena selalu belain kamu."
"Itu mereka aja yang tukang gosip."
"Lea, seharusnya kamu rubah sifat ansos kamu. Ayah malu kalau keluarga besar sudah mulai nyebut-nyebut kamu."
"Oh, ayah malu karena punya anak kayak Lea!"
"Kamu ini, dikasi tau baik-baik malah ngelawan." Ayah bangkit dari sofa dan memilih pergi dari ruang keluarga.
Perasaannya tiba-tiba terasa sesak, kecewa mendengar ucapan ayahnya. Hubungan mereka memang tidak terlalu dekat karena ayah yang kaku dan tidak banyak bicara. Terlebih Allea yang suka berdiam diri di kamar.
Ibu mengelus punggung putrinya, berusaha menenangkan, "bukan begitu maksud ayahmu, Lea."
"Jelas-jelas tadi ayah bilang malu kalau keluarga besar mulai nyebut nama aku." Ia menyeka kedua matanya yang sedikit berair.
"Ayahmu cuma salah bicara. Dia yang akan maju paling depan jika ada yang nyindir ataupun jelekin kamu. Ayah bahkan pernah cekcok sama tantemu."
Allea menatap ibu sejenak, menyesali yang tadi dikatakannya. Menyadari kedua orang tuanya punya beban batin karena memiliki anak seperti dirinya yang punya permasalahan sosial. Orang-orang selalu menilai atau menghakimi cara didik mereka yang menyebabkan anaknya jadi anti sosial.
Gadis itu berdiri. "Aku keluar dulu!"
"Kemana?"
"Rumah tetangga."
Saat keluar dari rumah, Allea berusaha terlihat baik-baik saja. Ia melangkah menuju rumah yang terletak tepat di samping kanan tempat tinggalnya.
Gerbang tinggi menjulang berwarna putih keemasan menyambut kedatangannya. Saat gerbang terbuka, tampaklah penampakan hunian mewah bergaya modern yang besar dengan pekarangan luas, tampak seperti sebuah istana. Rumah keluarga Allea yang bisa dikatakan tidak kecil, tetap tidak dapat dibandingkan dengan rumah mewah itu.
Seorang pelayan membuka pintu saat Allea menekan bel. Mempersilahkannya masuk karena sudah kenal betul dengannya.
"Tuan ada di dapur."
Suasana sepi menyambut kedatangannya. Langkah kakinya terdengar menggema di penjuru rumah. Seorang pemuda yang seumuran dengannya sedang duduk di mini bar depan dapur. Sesekali menyeruput minuman hangat di depannya, tapi pandangannya fokus pada buku tebal yang sedang dibacanya. Pemuda itu hanya menoleh sekilas saat menyadari ada yang datang dan kembali menatap buku tanpa berkata apa-apa saat tahu bahwa siapa yang datang.
"Pagi, Jeff!" sapa gadis itu.
Hanya terdengar deheman pelan sebagai jawaban.
Tampan, kaya raya dan anak tunggal. Itulah yang dapat menggambarkan seorang Jeffri Raditya Pranata. Terlahir dari keluarga kaya raya membuatnya memiliki segalanya, tapi ada satu hal yang tidak ia miliki, yaitu kasih sayang orang tua. Ibunya sudah meninggal sejak ia kecil, sedangkan ayahnya sibuk bekerja.
Allea melangkah menuju sudut ruangan dimana sebuah kulkas dua pintu terletak.
"Kok, gak ada?"
Ia sedikit mengacak isi kulkas, berfikir mungkin yang dicarinya terselip di antara makanan lain. Namun, hanya ada minuman kaleng dan beberapa jenis buah.
"Lo gak stock Ice cream?!"
Tidak ada jawaban dari pemuda itu.
"Biasanya selalu nyediain banyak stock," ucapnya mengingatkan.
"Hm!"
Allea berdecak kesal. Ia sangat butuh makanan itu untuk memperbaiki moodnya yang rusak gara-gara masalah tadi. Gadis itu kecanduan makan ice cream dan di rumah tidak pernah diizinkan memakan makanan dingin itu.
"Ga kasian sama tenggorokan lo??" tanya Jeff memperingati saat melihat wajah cemberutnya.
"Tapi, gue mau!"
"Gak."
Ia menatap Jeff dengan wajah memelas, "Jeje ...."
Namun, tetap saja tak ada reaksi darinya. Jeff kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya meski Allea terlihat semakin kesal.
"Yaudah, gue minta aja sama Raka."
Ketika hendak pergi, Jeff langsung menarik ujung bajunya saat ia lewat.
"Gue mau ice cream tau! Raka pasti gak bakal nolak kalau gue minta sama dia," protes Allea berusaha melepas tarikannya.
Jeff menghela nafas lelah, "Yaudah!"
"Yaudah, apa?"
"Beli!"
"Beli apa?"
"Ice cream."
Senyum lebar gadis itu merekah. Bersorak kecil karena kemauannya dituruti.
Allea yang sekarang dengan Allea yang dikenal kebanyakan orang di luar sana sangat berbeda 180 derajat. Allea yang dikenal orang-orang terdekatnya bukanlah Allea yang pendiam, kaku, pemalu, tak berani bicara dan sedikit sinis. Bagi keluarga ataupun sahabatnya, Allea adalah si cerewet yang manja.
Jeff mendorong kepalanya pelan karena reaksinya yang terlalu antusias. Namun, ia tak bisa menahan senyumnya melihat kelakuan sahabatnya itu.
Hanya senyum tipis, tapi berhasil melelehkan hati Allea yang melihatnya. Senyum langka dan indah dengan dua bolongan di pipi yang jarang terlihat. Tidak semua orang bisa melihatnya, kecuali kamu sedang beruntung.
"Kalau mau senyum lebar, senyum aja. Ga usah ditahan-tahan," ledek Allea melihat senyum irit lelaki itu.
"Ya!!" jawab Jeff seadanya.
"Dasar BatuEs, tsundere."

KAMU SEDANG MEMBACA
FEARFUL (End)
Genç KurguAlleana Zanara dengan segala permasalahan sosialnya. Si gadis introvert, pendiam, dan anti sosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya tidak bisa bergaul. Beruntungnya ia masih memiliki sahabat. Sebagai orang yang sulit bersosialisasi, kehidupan Alle...