Narasya terbaring dengan cara meringkuk di kamarnya, tubuhnya penuh dengan keringat, Narasnya mencengkram erat selimut yang melingkar di tubuhnya. Nafasnya memburu dan tidak beraturan, wajahnya memerah, jantungnya berdetak kencang.Hahaha, Lo itu gak berguna.
Ingatan-ingatan buruk mulai masuk ke kepalanya, Narasya memegang kepalanya yang terasa sangat sakit. Narasya paling benci keadaan seperti ini.
Dasar menyusahkan.
Orang kayak Lo gak pantas sekolah di sini.
Pukulin aja guys, muak gue liat mukaknya.
"Hentikan ...." Narasya memejamkan matanya erat, rasanya nafasnya tercekat. Tanpa sadar Narasya menangis, isakan-isakan kecil mulai terdengar.
Bisikan-bisikan jahat semakin banyak terdengar di telinganya. Narasya menutup telinga, berharap bisikan-bisikan itu mulai hilang dari kepalanya.
Mati aja Lo.
Gak ada gunanya Lo hidup.
Gak ada yang mau berteman sama Lo.
Mau kemana? Ayo kita main sebentar.
"Ku-kumohon hentikan, pergi!" Narasya berusaha menghilangkan suara-suara yang entah berasal darimana, kepalanya semakin terasa sakit.
Kehadiran Lo di sini cuman bikin sakit mata.
Jangan ada yang bantu dia.
Lo gak salah apa-apa, tapi gue benci banget sama Lo.
Bukannya berhenti, suara-suara jahat itu semakin terdengar jelas. Narasya semakin terisak, rasanya dadanya begitu sesak seperti ditimpa batu besar. Kapan semua ini akan berhenti?
Sakit, hm?
Gak akan ada yang nyelametin Lo.
Mau ngadu? Silahkan.
Dasar lemah.
"DIAM! AKU MOHON DIAM! BERHENTI! Berhenti ...." Narasya berteriak kencang, dirinya semakin berkeringat, wajahnya berubah pucat.
Brak.
Pintu dibuka kasar dari luar, ternyata itu adalah Audrey. Audrey masuk ke kamar Narasya dengan wajah panik sambil menenteng sesuatu di tangannya. Dia mendengar suara teriakan dari luar sehingga membuatnya masuk ke dalam kamar dengan terburu-buru. Audrey langsung duduk di samping Narasya.
"Kenapa? Kenapa Sya?" tanya Audrey dengan raut wajah khawatir.
Narasya belum menjawab, dia hanya diam sambil memegangi kepalanya. Mata Narasya masih saja terpejam sedari tadi, membuat Audrey semakin khawatir, takut kalau sahabatnya kenapa-napa.
"Jangan diam aja, Sya. Jangan bikin gue takut," ucap Audrey lembut. "Lo keringetan Sya, muka Lo juga pucat, Lo sakit?" tanya Audrey.
"Usir mereka, Udrey. Suruh mereka pergi, tolong usir mereka," ucap Narasya tidak jelas. Tubuhnya bergetar hebat.
"Hei, usir siapa, di sini gak ada siapa-siapa." Audrey menangkup kedua pipi Narasya, akhirnya mata Narasya terbuka. "Gak ada siapa-siapa di sini, cuman ada gue," ucap Audrey sekali lagi.
"Suara-suara itu, tolong hentikan suara-suara itu ... ," ucap Narasya lirih.
"Jangan nangis, Sya." Audrey menghapus air mata Narasya.
Melihat Narasya yang ketakutan seperti itu, membuat Audrey ingin menangis saja. Dia memegang kedua tangan Narasya, menatap mata gadis itu dalam. "Itu cuman ilusi, Sya. Dengar gue, dengarkan suara gue," ucap Audrey.
"Cuman ada gue di sini, cuman ada suara Audrey. Gausah dengerin suara-suara itu," ucap Audrey lagi, dia berusaha menenangkan Narasya.
Mendengar suara lembut Audrey, Narasya merasa sedikit tenang. Perlahan-lahan nafas Narasya kembali normal, tubuhnya juga tidak bergetar lagi, isak tangisnya juga terhenti.
Setelah sudah tenang, Narasya bergerak memeluk Audrey. Hanya bersama dengan Audrey Narasya merasa aman, hanya bersama Audrey Narasya tidak merasakan takut, hanya Audrey yang mampu menenangkannya.
"Makasih karena Udrey udah datang," ucap Narasya.
"Gue akan selalu datang kalau Lo butuh gue, jangan pernah sungkan untuk minta tolong sama gue. Gue akan selalu ada untuk Lo."
Audrey akan melakukan apapun asalkan sahabatnya baik-baik saja. Jika Narasya bahagia, dia juga akan bahagia.
.
.
."Apa maksudnya ini?"
Tadinya Arta di minta untuk datang ke ruang tamu, sesampainya di ruang tamu Arta sedikit terkejut karena banyak orang di sana. Ada seorang gadis yang duduk bersama dua orang paruh baya, dan beberapa orang lainnya yang sepertinya keluarga gadis itu.
"Duduk sini dulu, Arta." Ibu Arta menarik Arta untuk duduk di sampingnya.
"Ada apa ini, Ma?" tanya Arta ketika sudah duduk di tengah-tengah mereka.
Ayah Arta berdiri. "Perkenalkan, gadis yang di depan kamu ini bernama Laura Anastasia, dia adalah calon tunangan kamu," ucap pria paruh baya itu.
Arta sontak berdiri, menatap terkejut kepada semua orang. "Apa? Calon tunangan? Apa-apaan!" teriak Arta.
Dari reaksi Arta jelas menunjukkan kalau dia tidak tahu menahu tentang pertunangan itu. Calon tunangan? Kenapa dirinya tidak diberitahu terlebih dahulu? Pikir Arta.
"Iya, dia calon tunangan kamu, ayo kenalan dulu." Ibu Arta menunjuk Laura, Laura menatap Arta sambil tersenyum-senyum, sedangkan Arta menatap tidak suka ke arah gadis itu.
"Kenapa gak kasih tau aku dulu! Seenaknya aja kalian memperkenalkan dia?" Arta menunjuk Laura. "Calon tunangan aku? Memangnya kapan aku bilang mau bertunangan?" ucap Arta yang tidak habis pikir.
"Arta, sudah saatnya kamu punya pasangan. Laura baik, dan dia juga sepadan denganmu," ucap Ayah Arta.
"Tapi aku gak suka sama dia Pa! Pokoknya aku gak mau tunangan sama dia!" teriak Arta, menatap nyalang ke arah Ayahnya.
Ayahnya selalu saja seperti itu, memutuskan sesuatu untuknya tanpa memberitahu dirinya terlebih dahulu. Arta benar-benar benci keadaan ini, pasti Ayahnya itu tetap kekeh untuk melakukan pertunangan itu.
"Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kalian berdua, kamu harus menerimanya, Arta. Lambat laun kamu pasti akan menyukainya." Ibu Arta mencoba memberikan pengertian.
"Gak! Pokoknya aku gak mau! Aku gak perlu dijodoh-jodohkan, aku bisa mencari pasanganku sendiri," ucap Arta lagi dan menolak. "Lagian aku masih kelas sebelas, belum saatnya tunangan-tunangan kayak gini, nanti-nanti juga bisa cari pasangan," lanjut Arta.
"Dia sudah sangat cocok denganmu. Sudahlah, jalani saja dulu," ucap Ibu Arta. "Nanti setelah lulus sekolah, kalian bisa bertunangan, sekarang kalian melakukan pendekatan saja dulu," ucapnya lagi.
"Terserah! Percuma juga aku nolak, kalian gak akan menerimanya! Egois!" Arta marah lalu pergi dari ruang keluarga, Arta berniat menenangkan pikirannya.
Arta mengambil masker, topi dan kunci motor. Dia ingin pergi keluar sebentar untuk menormalkan perasaanya saat ini, Arta benar-benar benci keadaan seperti ini.
Waktu masih menunjukkan pukul tujuh malam, Arta mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia tidak tau tujuannya kemana. Arta mencengkram kuat setang motor guna menghilangkan sesak di dadanya.
Lalu Arta berhenti di pinggir jembatan yang dia temui, tempat yang sejuk karena dekat dengan sungai, dirinya mungkin bisa menenangkan pikiran di sana. Arta berdiri di pinggir jembatan, matanya menatap sendu air sungai yang mengalir itu.
"Mereka selalu saja seperti itu. Gue gak mau sama gadis itu, kenal aja enggak," ucap Arta pada dirinya sendiri.
"Kenapa setelah gue berhasil suka sama seseorang, hal ini terjadi?"
"Dia dengan lancangnya masuk ke hati gue, gue harus apa?"
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasya And Her Friends | End
FanfictionSudah tamat. Cover by me. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Rulan, Myesha, Ivy, Izzy, dan Arta adalah aktris dan aktor terkenal yang sering dibicarakan beberapa tahun ini, fans mereka ada di mana-mana, bahkan ke negara-negara lain. Audrey adalah siswi po...