Rasa Sayang Arta

240 25 0
                                    


"Udah Drey, jangan dimarahin lagi, kasihan tuh udah nangis." Adinda menepuk-nepuk pundak Audrey untuk menenangkan gadis itu.

Audrey masih saja menatap Narasya tajam. "Dia selalu aja gak dengerin omongan gue, Din! Gue udah pernah memperingati dia untuk gak deket sama si KETOS sialan itu, ataupun si kapten basket itu, tapi liat, bahkan mereka udah kenal sama dia!" Audrey berbicara dengan tetap menatap tajam Narasya.

Adinda hanya bisa menatap Narasya iba karena dimarahi oleh Audrey habis-habisan. Memangnya Adinda bisa apa? Ini adalah masalah antara dua sahabat yang dia sendiri tidak berhak ikut campur.

"Bisanya cuman celaka terus nangis, abis itu minta maaf, terus mengulangi kesalahan yang sama!" teriak Audrey lagi.

Penghuni kelas yang lain tidak berani ikut campur, guru juga belum masuk, jadi, tidak ada yang bisa menghentikan kemarahan Audrey. Mereka tidak ada yang berani untuk menenangkan Audrey.

"Gue tanya sama Lo, kok bisa Lo kenal sama si KETOS dan si kapten basket itu? Mereka berdua itu gak baik buat Lo!" Audrey menatap Narasya dengan tatapan mengintimidasi.

"A-aku gak pernah deketin me-mereka," ucap Narasya dengan terbata-bata. "Tapi Candra gak jahat," lanjut Narasya, dia benar-benar tidak berani menatap Audrey.

"Gak jahat Lo bilang?" Tatapan Audrey semakin tidaj bersahabat.

"I-iya, dia gak pernah jahatin aku." Narasya memalingkan pandangannya.

Adinda yang melihat itu dengan cepat menarik Audrey ke luar dari kelas, sebelum kemarahan Audrey semakin besar. Ya, cuman Adinda yang berani melakukannya.

"APA-APAAN SIH LO, DIN!" bentak Audrey.

"Gue cuman mencegah Lo biar gak menyesal di masa depan, akibat perbuatan Lo sendiri," ucap Adinda.

"Gue tau Rasya salah, Drey. Tapi Lo jangan marahin dia sampai kayak gitu, dia takut, Drey." Adinda menatap dalam mata Audrey. "Mungkin yang dibilang Rasya memang bener, dia gak pernah deketin mereka, dan Candra memang orang baik," lanjut Adinda.

"Jadi Lo ngebela dia?" tanya Audrey dingin.

"Bukan gitu, gue gak membernarkan siapa-siapa di sini. Rasya salah karena dia selalu ngebahayain dirinya sendiri, Lo juga salah karena marah-marahin Rasya sampe ngebentak-bentak gitu," ucap Adinda panjang lebar.

"Lo yang bilang sendiri kalau jangan sampe ada yang bikin Rasya nangis, tapi Lo sendiri yang bikin dia nangis. Rasya itu rapuh, Drey, dia bisa aja trauma karena bentakan Lo." Adinda masih menatap tetap ke kedua mata Audrey.

Audrey terdiam dengan ucapan Adinda. Audrey sadar kalau dirinya juga salah, yang diucapkan Adinda memang benar.

"Lagian akhir-akhir ini kan Lo gak terlalu memperhatikan Rasya, bahkan terkesan gak peduli. Mungkin aja selama Lo gak ada di dekat Rasya, Rasya didekati si Candra itu."

Degh.

Audrey sedikit tertegun mendengarnya. Benar juga, pikir Audrey. "Tapi dia seakan-akan gak nganggep gue sahabatnya lagi. Selama ini mungkin cuman gue yang bener-bener peduli sama dia. Dia cuman nurutin ucapan gue demi kebaikan dia aja gak bisa." Audrey memasang ekspresi kesal.

Adinda tersenyum tipis. "Kalau Lo mau tau seberapa pedulinya Rasya sama Lo, Lo bisa ikuti rencana gue. Kalau udah Lo lakuin, Lo bisa menyimpulkannya sendiri. Gue bakal bantu Lo."
.
.
.

Saat ini sudah waktunya jam istirahat, Arta dan Izzy sudah menikmati makanan di kantin sekolah. Para warga sekolah masih sibuk membicarakan kejadian yang terjadi tadi pagi.

Kejadian tadi pagi benar-benar menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Sudah pasti kejadian itu akan menjadi trending topik sebentar lagi.

"Arta, nanti kita pulang bareng ya? Hari ini kita juga ada pemotretan di satu frame." Laura mendekati Arta ketika sudah jam istirahat.

"Gue gak bisa," ucap Arta singkat.

"Kenapa?" Ekspresi Laura yang tadinya senang, berubah murung.

"Ya pokoknya gue gak bisa." Arta melanjutkan acara makannya, Laura mendengus sebal.

"Yaudah! Nanti gue minta jemput Willi aja!" ucap Laura kesal. Mendengar ucapan Laura, Arta langsung mengalihkan pandangannya ke arah Laura.

Willi, nama itu seperti Arta kenal. Dia adalah laki-laki yang juga berprofesi sebagai model, laki-laki itu sering melakukan pemotretan bersama Laura.

"Gak usah! Nanti pulang bareng gue," ucap Arta dengan cepat.

Mendengar ucapan tersebut, senyuman Laura kembali terlihat. "Makasih Arta, kalo gitu aku mau ke temen-temen aku ya," ucap Laura.

Arta hanya mengangguk, merasa mendapatkan jawaban dari Arta, Laura pun pergi dari meja Arta dan Izzy. Hanya mendapatkan jawaban sederhana itu, Laura merasa sangat senang.

Izzy menatap Arta dengan tatapan sinis. "Dih, sebenarnya yang Lo suka itu si Rasya atau Laura, sih? Lo keliatan cemburu waktu tau Laura mau minta jemput orang lain," ucap Izzy dengan nada sinis.

"Gue suka Rasya," jawab Arta singkat.

"Lah, terus kenapa tadi Laura minta jemput si Willi, Lo kayak gak terima?" Izzy menaikkan sebelah alisnya.

"Dia milik gue, gue gak rela milik gue berduaan sama orang lain." Arta menjawab dengan santainya.

"Egois dong Lo berarti. Tapi kalo gue liat-liat, Lo udah mulai sayang dan peduli sama si Laura, bentar lagi benih-benih cinta juga tumbuh." Izzy memberikan tatapan mengejek ke arah Arta.

"Gue sayang cuman sama Rasya, karena gue suka dia." Arta masih saja berusaha menyangkal ucapan Izzy.

Izzy tertawa kecil. "Lo sayang sama Rasya juga sayang sama Laura. Tapi rasa sayang Lo ke Rasya bukan rasa sayang seorang pria kepada wanitanya, tapi lebih ke rasa sayang seorang abang kepada adik perempuannya, dan rasa sayang Lo ke Laura lebih ke rasa sayang seorang pria kepada wanitanya," jelas Izzy.

"Abis ini Lo harusnya ngerti sama apa yang gue bilang."

Arta terdiam seribu bahasa mendengar ucapan Izzy. Arta kesulitan untuk mengenali perasaanya sendiri.

"Perjuangin milik Lo, Ar, sebelum milik Lo diambil orang lain."

Sementara itu di sisi lain, seorang pria menatap foto gadis pujaan hatinya dengan tatapan penuh minat. Jantungnya selalu berdetak kencang ketika menatap foto gadis itu.

"Sial, banyak sekali hama di sekitarmu, sayang. Tapi gak papa, mereka tetap gak akan bisa dapetin kamu." Pria itu menampilkan senyum mengerikan.

"Aku mau bunuh mereka semua, supaya gak ada yang deketin kamu. Lebih bagus kamu sendiri, tapi ada orang lain di sekitarmu." Tangan pria itu bergerak mengambil rokok elektrik, lalu menghisapnya dan mengembuskan asapnya.

"Kamu benar-benar candu, hanya dengan melihat senyumanmu, sudah membuatku candu ingin melihatnya lagi dan lagi."

Lalu laki-laki itu tertawa dengan keras, dia sudah seperti pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Laki-laki itu memang seharusnya berada di rumah sakit jiwa.

"Sebentar lagi sayang, tunggulah sebentar lagi." Laki-laki itu meletakkan kembali rokok elektrik yang ada di tangannya, matanya tetap menatap lamat foto seorang gadis.

"Sebentar lagi kita akan bertemu di akhirat. Ah, aku benar-benar tidak sabar menantikan hari itu."

Bersambung....

Narasya And Her Friends | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang