Merasa Gagal

463 39 0
                                    


"Rain kenapa, Audrey?" Nata langsung mendekati Audrey yang menggendong Narasya masuk ke dalam Rumah.

Audrey langsung mendudukkan Narasya di sofa ruang tamu, Nata duduk di samping Narasya dan memeluk erat putrinya. Nata tau kalau trauma Narasya kembali lagi, dan itu bukan pertanda baik.

Di pelukan Nata, Narasya kembali menangis. Memori-memori kelam masuk ke dalam kepalanya bagai kaset rusak, tubuh Narasya semakin bergetar ketakutan.

"Maaf Tan, aku gagal jaga Rasya." Audrey menunduk, diam-diam dia meneteskan air matanya.

"Dia bertemu mereka?" tanya Nata, Audrey mengangguk. Nata menghela nafas lalu menatap sendu Narasya yang memeluknya dengan erat, dia tidak sanggup melihat putrinya menangis seperti itu.

"Hei, sayang, tak apa. Kamu udah aman sekarang," ucap Nata lembut, berusaha menghilangkan sedikit rasa takut itu.

Narasya menggeleng keras, isak tangisnya semakin terdengar. Audrey memalingkan wajahnya karena tak sanggup melihat pemandangan di depannya. Melihat Narasya menangis, membuat dia juga ikut menangis.

"Sakit Bun, kenapa mereka siksa aku Bun? Aku gak punya salah sama mereka, kenapa Bun? Kenapa harus aku?" Narasya berbicara dengan suara yang begitu menyayat hati.

Degh.

Jantung Audrey berdetak tak karuan mendengar kalimat itu. Mereka? Mereka siapa yang dimaksud Narasya? Audrey bertanya-tanya dalam hati.

"Kamu gak pernah salah, kamu anak Bunda yang paling baik." Nata mengecup kening putrinya.

"Mereka jahat Bun ... mereka jahat ...."

"Jangan menangis, sayang. Bunda mohon jangan menangis ...."

Nata tak kuasa menahan air matanya, melihat anaknya hancur seperti ini. Trauma itu kembali, hal yang paling Nata takutkan, rasanya seperti dada Nata ditimpa batu besar, sesak sekali.

"Semua itu sudah berlalu, kamu tidak perlu mengingatnya lagi."

Audrey meneguk salivanya, rasanya nafasnya tercekat dan hatinya ikut merasa hancur. Sebenarnya trauma apa yang dialami sahabatnya itu? Sampai membuat Narasya ketakutan sedemikan rupa. Audrey tidak sanggup menahan air matanya lagi, akhirnya pertahanannya runtuh.

"Rasya ... ," ucap Audrey lirih. Audrey ikut mendekat dan memeluk sahabatnya itu erat, dia benar-benar tidak sanggup melihat keadaan Narasya saat ini.

Karena lelah menangis, akhirnya Narasya tertidur di pelukan kedua perempuan itu. Audrey langsung membawa Narasya ke kamarnya agar bisa beristirahat, mungkin besok Narasya tidak akan sekolah.

"Maaf, Sya, gue gagal jaga Lo hari ini." Audrey mengelus kepala Narasya dengan lembut, lalu menyelimutinya.

Audrey mengepalkan tangannya. "Gara-gara si brengs*k-brengs*k itu, sahabat gue jadi drop kayak gini. Awas aja Lo pada, gue bales!" ucapnya dengan tatapan marah.

Lalu Audrey keluar dari kamar Narasya, dan tiba-tiba Nata sudah berdiri di hadapannya. Audrey menatap Nata menyesal. "Maaf, Tan, gara-gara aku, Rasya-"

"Shhtt, sudah, ini bukan salah kamu, sayang. Mungkin Tuhan memang sudah menakdirkan hal ini akan terjadi," ucap Nata lembut.

Nata membawa Audrey ke pelukannya. "Tidak usah menyalahkan dirimu sendiri."
.
.
.

"Darimana kamu, Izy?" tanya seorang pria paruh baya. Izzy yang hendak berjalan menuju kamar menghentikan langkahnya dan menghadap pria paruh baya itu.

"Papa masih tanya?" ucap Izzy dingin.

Ya, beginilah Izzy yang asli. Di luar dia bersikap ramah dan mudah tersenyum, tapi berbeda ketika dia berada di rumah. Izzy akan berubah 180 derajat dari biasanya, karena dia membenci keluarganya.

"Mau sampai kapan kamu mempertahankan karirmu itu? Lihat Kakakmu, dia sudah sukses mendirikan perusahaannya sendiri, dan kamu? Tetap saja seperti ini, tidak pernah berubah." Pria paruh baya yang diketahui adalah ayahnya Izzy menunjuk Izzy dengan tatapan merendahkan.

"Kakak, kakak, dan kakak." Izzy menatap tajam ayahnya. "Apa Papa pikir sukses hanya karena berhasil menjadi pengusaha? Aku juga sudah sukses, Pa!" ucap Izzy sedikit berteriak.

"Papa gak pernah ngelihat Izy sebentar aja, Papa hanya melihat ke arah Kak Syafa. Lihat Izy Pa, Izzy juga udah sukses bahkan diusia muda!" sentak Izzy dengan raut wajah marah. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang tuanya.

"Buat apa kalau sukses hanya mengandalkan tampang? Papa mau kamu belajar bisnis, kamu harus meneruskan bisnis Papa," ucap Ayah Izzy. Izzy menggelengkan kepalanya.

"Kan ada Kakak, suruh aja anak kesayangan Papa itu yang nerusin bisnis. Kenapa harus Izy?" Izzy melirik perempuan berhijab dengan pakaian formalnya memasuki ruangan.

"Kakak kamu perempuan, Zy. Harusnya seorang laki-laki yang harus meneruskan bisnis keluarga, dan kamu anak laki-laki satu-satunya yang Papa punya." Ayah Izzy memegang kedua pundak Izzy, Izzy menepis kasar tangan ayahnya.

"Sudahlah Pa, Izy tidak akan pernah mau. Lagian apa perjuanganku selama ini masih belum pantas untuk aku meneruskan bisnis Papa?" Perempuan berhijab itu yang diketahui bernama Syafa mendekati Papa Izzy dan Izzy.

Izzy berdecih sinis melihat kedatangan kakaknya. "Lihat tuh, Kakak aja bersedia, kenapa Papa masih nguber-nguber Izy? Izzy gak akan pernah mau!" ucap Izzy berteriak.

Plak.

Ayah Izzy menampar Izzy dengan keras, kepala Izzy tertoleh ke samping. "Papa tidak suka kamu bersikap tidak sopan seperti ini Izzy!" teriak Ayah Izzy.

"CK"

Izzy sudah sering mendapatkan tamparan itu, dan itu pasti karena Syafa yang selalu cari muka pada Ayahnya. Syafa selalu membuat suasana agar Izzy terlihat jelek di mata ayahnya sendiri, dan Izzy sangat membenci Syafa.

"Lihat? Gara-gara Lo gue kena tampar Papa lagi. Cih, dasar caper." Izzy langsung pergi dari sana dan berjalan cepat ke lantai atas menuju kamarnya.

Syafa menghela nafas, dia hanya bisa menatap kepergian adiknya. "Kakak gak maksud, Zy."

Sementara Izzy membanting keras pintu kamarnya, lalu menghempaskan dirinya dengan kasar ke arah kasur. Izzy berusaha menetralkan emosinya yang berapi-api.

"Selalu saja seperti ini," ucap Izzy. "Ini semua gara-gara Kakak, coba aja Kakak gak caper ke Papa. Dia selalu berusaha ngalahin gue," lanjut Izzy dengan emosi.

Hati Izzy merasa sakit karena Ayahnya tidak pernah melihat ke arahnya sedikitpun. Ayahnya selalu memuji Syafa karena Syafa selalu membanggakan pria itu, sementara Izzy tidak sama sekali membanggakan bagi pria itu.

Izzy sudah berusaha keras untuk sukses agar terlihat di mata ayahnya, tapi tetap saja ayahnya tidak pernah bangga padanya. Padahal Izzy sudah terbilang sangat sukses, bahkan di umurnya yang masih tujuh belas tahun.

Syafa selalu memenuhi ekspektasi pria itu, dia tidak pernah membantah perkataan Ayah Izzy sama sekali. Sementara Izzy, terus membantah perkataan ayahnya karena selalu bertentangan dengannya.

"Gue pengen Papa ngelihat gue sekali aja, kenapa Papa selalu memaksakan kehendaknya?" Izzy bertanya-tanya dalam hati.

Nyatanya Izzy hanyalah anak biasa yang menginginkan kasih sayang orang tua, dia sudah kehilangan Ibunya dan sekarang dia hanya memiliki satu saudara dan Ayah. Izzy mempunyai keluarga, seperti tidak punya keluarga. Ayahnya tidak pernah mendukung karirnya, malahan pria itu menentangnya.

"Arrghh."

Bugh.

"Sialan!" Izzy memukul dinding saking kesalnya.

Bersambung....

Narasya And Her Friends | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang