Chapter 3 : Ingatan

19 2 3
                                        

Gelap

Dingin

Sangat sepi

Cahaya biru dan kuning menyorot tepat di dadanya. Ia menyipitkan matanya sebab silau.

Sesuatu telah mengintai Jordan. Suara erangan serta hembusan nafas garangnya. Ia perlahan mendekat, Jordan sebaliknya.

Jordan ketakutan, nafasnya terengah, keringatnya bercucuran dan seluruh badannya gemetar.

Seekor musang besar terlihat gagah menyeramkan tepat didepannya.

Ketika musang itu membuka mulutnya, Jordan berteriak.

"ARKKKHHHHH!!"

Sebuah tangan memegang wajahnya, menepuk-nepuk supaya ia tersadar dari bangunnya.

"Jordan!!"

"Jordan! Bangun anakku!!"

Jordan membuka matanya, ia sadar, nenek sudah di samping nya.
Keringat sudah mengalir di seluruh badannya. Nenek mengelus wajahnya, mengusap keringat itu.

"Nek... Aku mimpi buruk" Lirihnya mencoba untuk duduk.

"Tenang ya, itu hanya mimpi, nenek disini" Segera nenek memeluk Jordan untuk menenangkan nya.

• • •

Pikiran buruk telah menyambar Petra sejak ia tidak bisa mempercayai bahwa orang tuanya telah tiada secara bersamaan.

Ia selalu melamun, tak banyak bicara.

Hari itu, adalah hari ulang tahun Petra. Ia membuat pesta kecil di rumahnya. Mulai dari membeli roti, mendekorasi hiasan, dan kado untuk orang tuanya. Yah, Petra memang sengaja akan memberi kado walaupun sebenarnya yang ulang tahun lah yang harus di beri.

Orang tuanya sedang dalam perjalanan pulang dari kerja. Biasanya sebelum jam makan malam, mereka sudah sampai di rumah.

Ia menanti. Duduk memeluk lutut di ruang keluarga. Setiap menit mengecek keluar jendela. Sampai jam makan malam tiba, mereka belum juga pulang.

Petra sempat berpikir jika orang tuanya mengerjai nya. Namun, tidak juga. Ia bingung dengan pikiran nya sendiri.

Hingga ia mengantuk dan tertidur sambil duduk diatas sofa, dengan pandangan yang masih ke arah pintu.

• • •

"Tolong hentikan!"

"Jangan, itu bekal ku!"

"Tolong jangan lakukan itu"

Segerombolan siswa mengerubungi salah seorang siswa yang ketakutan. Wajahnya melas dan lemah. Ia terus mendekap tas miliknya.

"Bekal mu ini nanti untukku!" Ia merebut kotak makanan itu darinya. Sedangkan teman-temannya tertawa girang.

Tidak cukup sampai merebut kotak makanan. Mereka juga menarik baju, memainkan rambut, dan memberantakan isi tasnya. Bocah itu hanya bisa menunduk dan menangis.

"Jangan lagi meremehkan aku, Rohan" Tatapan matanya mengintimidasi penuh ancaman. "Meskipun kau memang pintar. Kau tidak boleh melewatiku!" Ia menarik kerah baju Rohan.

"Hey Roy!!" Teriak Jordan bergegas menghampiri Roy yang tengah menerkam kerah Rohan. Dan Rohan yang tampak ketakutan.

Roy tersenyum miring. Ia berekspresi tidak enak. Ia melepas tangannya dari kerah Rohan. Ia merasa terganggu oleh kedatangan Jordan. Sementara Jordan membantu merapikan baju Rohan.

"Mau apa kau?" Tanya Roy dengan tatapan menjengkelkan.

"Mau memukulmu jika kau terus seperti ini" Jordan beralih mengintimidasi Roy dan semua temannya. Namun, itu bukan berarti Roy takut. Ia justru merasa tertantang.

"Coba saja, sebelum nenek mu memarahi mu" Roy tertawa. "Cucu, mengapa kau berkelahi?! Berhenti lakukan -" Satu pukulan tepat di pipi kiri Roy.

"Ayo pergi, Rohan" Jordan menggandeng Rohan pergi.

Roy yang kesakitan, menatap tajam mereka berdua yang berjalan membelakangi nya.

• • •

Suasana kelas sedang sepi. Tidak ada siswa lain selain mereka berlima ditambah Rohan. Jordan sengaja mengajak Rohan bermain bersama untuk membantu Rohan melupakan kejadian tadi.

Seperti biasa pula, Remy membawa segala jajanan untuk disantap. Ibu Remy sudah paham dengan teman-teman anaknya. Terkadang ibu Remy membawakan bekal untuk ber-lima.

Setelah hening karena menikmati jajanan, Remy memulai pembicaraan.

"Aku masih ingin tahu bangunan apa itu" Mereka serentak menatapnya. "Bukan kah kalian juga?"

"Bangunan apa?" Tanya Rohan mencoba mengikuti.

"Di belakang sekolah, di balik gerbang tua itu" Khai menjawab.

"Lalu? Kita harus kesana?" Tebak Jordan, nampaknya ia membaca pikiran Remy.

Semua terkejut, tidak percaya. Mereka akan mengendap-endap ke sekolah? Karena tidak ada jalan lain selain lewat sekolah. Karena itu dikelilingi oleh tembok-tembok penuh kawat. Namun, mereka juga tidak bisa membohongi jika mereka ingin.

"Aku setuju" Ben menyuarakan pendapatnya.

"Aku juga" Jordan menyusul, kemudian Khai.

Petra melihat teman-teman nya sedang antusian, "Kalian yakin?" Petra ragu dengan keputusan ini.

"Yakin" Remy meyakinkan Petra.

Rohan yang sedari tadi menyaksikan voting suara ini terdiam. Ia menatap satu persatu dari mereka. Ia berbicara pada dirinya sendiri. "Mereka sangat berani"

Khai menyadari Rohan tidak mengusulkan keputusan, ia menepuk bahu Rohan. "Kau ikut?" Dengan mata polosnya.

Rohan tersenyum kecil, "tidak, terima kasih" Khai mengangguk. Kemudian ia melanjutkan lamunannya, dan menatap mereka 'lagi'.

Petra mengamati Rohan, ia merasa aneh dengan sikap Rohan saat mereka membicarakan tentang bangunan itu. Petra sangat jeli dan peka. Ia mampu merasakan hal yang ganjil baginya.

"Aku pergi dulu ya?" Rohan beranjak pamit. Ia sadar bahwa ia bukan bagian dari kelompok Jordan. Ia hanya tertolong.

"Baiklah, hati-hati ya. Pukul saja si Roy" Pesan Jordan. Rohan hanya membalas senyum. Lantas pergi.

Petra masih mengamati Rohan sampai ia benar-benar pergi. "Kau itu kenapa?" Ben mengganggu aktivitas nya. "Apa kalian tidak merasa aneh?" Serentak mereka menjawab, "Tidak!"

Petra menghela napas.

Walaupun ia menjelaskan, Teman-teman nya tidak akan mudah menerimanya. Sebelum itu terbukti.

• • •

Setelah keluar dari kelas tersebut. Rohan berhenti sejenak. Ia mengingat sesuatu dan mungkin akan merencanakan sesuatu. Lantas berjalan kembali.




______________





Rohan pov :

Rohan pov :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RUN AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang