Arang dan Tanah: Terbakar

6 0 0
                                    

"Kau mengecamkan itu padaku!" air matanya menolak dibendung.

"Aku tidak berjanji," jawabnya begitu lemah

Semua yang perlahan dirakit Tan dengan marah melerai dirinya sendiri. Tubuhnya serasa dibagi dua; satu untuk marah dan melepaskan, satu untuk menahan dan memohon. Ana terlihat bersimpati, ia berkata "Kau yang mengecamkan pada dirimu sendiri". Tan berteriak, Ana berusaha memeluknya. Teriakan itu merusak ingatan, merapuhkan perasaan.

Ana menitihkan air mata, "Tan.. maafkan aku"

Tan tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ia sudah lupa rasanya sendiri; tawa mengatasi sunyi, nyanyian untuk beremosi, kehangatan untuk buruknya mimpi. Kini hari-harinya akan terjebak dalam penjara yang penuh polusi akan udara segar yang dulu dihirup untuk tetap hidup

Mungkin ini hanya mimpi, pikirnya. Ini hanya mimpi, ia meyakininya. Benar ini mimpi dan selamanya ia terjebak di dalamnya

"Aku masih mencintaimu" bisik Tan dengan sisa hidup yang ia usahakan. Ia mempertaruhkan semua keberuntungan di dalamnya

"Aku tahu" Ana melihatnya dengan nanar, masih memberikan simpati yang beberapa jam lagi akan membusuk bersama dalam kubur Tan.

Setidaknya ia tahu, raung Tan dalam hatinya. Mungkin ada masa yang akan membangkitkannya dari kubur dengan ingatan ini. Mungkin ada harapan dari kalimat itu sebelum ia pergi, pikirnya

"Itu akan berlalu." Ana melangkahkan kaki, menjauh dari lingkaran yang kini terputus dalam satu kalimat. Tan tidak bangkit, namun semua lukanya menyeruak dari jiwanya menyangga timbunan masa yang dibiarkan menutup saat ini.

Sepenggal Kita yang Kau TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang