Satu Perjalanan untuk Kembali: Kata Tio

6 0 0
                                    

Pukul 9 malam, Resa masih ada di kafe tempatnya mengerjakan pekerjaan sampingannya. Aku baru selesai menonton film di bioskop yang terdekat dengan kantor. Saat aku berdiri di depan mejanya, ia mendongak lalu tersenyum sambil melepas headphonenya.

"Gimana filmnya?" tanyanya. Matanya mengikuti gerakan duduk ku di kursi seberangnya.

"Lumayan". Lumayan bosan maksudku

Resa mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya. Aku sudah tidak bisa lagi duduk di sebelahnya sambil menyandarkan kepalaku di bahunya lalu ia tertawa karena aku duduk begitu rendah dan setengah selonjoran, seperti sendok yang disandarkan di mangkuk katanya. Rasanya tidak benar sekarang aku melakukannya. Tidak pantas.

Menghabiskan waktu dengannya seperti sekarang setidaknya membalas rasa sedihku meskipun terlihat menyedihkan. Menghabiskan waktu dengan rasa cinta bersama perempuan yang hanya memberi cinta pada dirinya. Entah apa yang terjadi padanya.

Yang terjadi pada kami adalah pemahaman rasa cinta yang tidak sama. Aku mencintai Resa dengan mau memberikan apapun padanya, rasa yang ia berikan sekedar menarik lenganku agar tetap berada di ranjang di kamar kosnya ketika aku akan pulang. Waktu yang kami habiskan berbicara ngalor-ngidul sampai pagi menjelang ternyata hanya menambah lelah pada dirinya ketika aku menghargai setiap detiknya. Ia terlihat melakukan hal yang sama.Entah apa yang terjadi padanya.

Menciumnya tidak pernah membawaku ke mana-mana karena aku larut pada momen itu ketika menyentuh bibirnya. Cinta terus mengalir darinya untukku. Duniaku dan dunia Resa melebur jadi satu sampai-sampai aku berani menyebut 'dunia kami. Resa selalu mengecup sebentar bibirku ketika ia tahu aku akan berhenti. Entah apa yang terjadi padanya.

Di kencan ke enam kami, aku benar-benar menghitungnya, aku sudah bulat akan membawanya pulang dan mengenalkannya pada ibuku ketika menelpon di keesokan hari; "Semalam jalan sama Resa, pacarku" lalu Ibu akan berteriak dari balik telepon, "Yah, dengar anakmu sudah nemu penghapus laranya". Sudah dua kali aku cepat-cepat mundur ketika instingku sudah mendobrak dadaku. Bukannya aku takut Resa menolakku, jelas aku sudah menggenggamnya rapat-rapat, yang kutakutkan adalah Resa menginginkannya sembunyi-sembunyi. Itu akan membuatku terus bertanya-tanya di kemudian hari apa yang menyebabkan ia ingin berjalan membungkuk ketika aku ingin menggandeng tangannya dengan kepala terangkat dan menatap tegas siapa-siapa yang melihat kami. Apakah ia berada di dalam hubungan lain? Apakah ia malu denganku? Apakah ia belum siap dengan apa kata orang?

Plot yang terjadi di film yang baru saja kutonton tidak memberikan kesan padaku. Aku sedang menonton film dengan plotku sendiri saat melihat Resa di depanku.

Setelah kami duduk sebentar di dekat restoran tempat kami makan malam, seperti biasa aku mengantar Resa pulang dulu dengan kereta lalu kembali ke tempatku entah berjalan atau naik bus. Berjalan selama 30 menit dengan keringat mengalir di dahiku tidak pernah membuatku menggerutu seperti ketika aku belum bertemu Resa.

Sambil menunggu kereta, ia menyandarkan kepalanya di bahuku, sesekali mencium bahuku.

"Kamu lebih suka kita kayak gini atau pakai label, Res?". Sudah lama sekali aku tidak melakukan hal-hal seperti ini. Kemampuanku tentu berkarat sampai-sampai jantungku berpacu dengan nasib

"Kayak gini itu gimana? Duduk nunggu kereta?"

Resa, Resa, Resa.

"Maksudnya kita jalan terus tanpa status sampai aku lamar kamu atau aku bisa panggil kamu pacar aku sekarang?"

Resa diam, tidak menjawab, bibirnya tidak terlihat akan membuka hanya membentuk senyum sambil menatapku. Tidak ada yang bisa kubaca di situ. Namun ia mengecup pipiku dan kembali bersandar di bahuku. Mungkin ia masih menimbang seperti yang kulakukan selama enam kencan ini.

Jari-jariku tanpa sadar mengetuk-ngetuk pahaku. Apa dulu aku juga begini ketika menunggu jawaban Prana? Seingatku lebih mudah dan sama sekali tidak membuatku resah

Resa, Resa.

Sepertinya ketukan jariku mengganggu Resa. Ia meraihnya dan menggenggam tanganku. Genggamannya tidak seperti ketika aku akan pulang, rasanya seperti ia menarikku ketika aku berjinjit diujung gedung lantai 2. Ia mengamankan ku dari kerusuhan yang ia buat sendiri.

"Pakai label" katanya, hampir-hampir seperti berbisik. Atau aku tidak begitu mendengarnya karena telingaku ramai dengan suara di kepalaku?

Aku memerlukan kepastian. Sebelumnya stasiun ini tempatku mendapatkan kepastian bahwa Resa juga memiliki perasaan yang sama denganku, ku harap aku bisa mendapatkan kepastian lain di sini. Aku menundukkan kepalaku berusaha melihatnya, masih penuh tanya.

Resa menegakkan duduknya dari bahuku, tersenyum, dan menepuk telapak tangan kami yang saling menggenggam dengan tangan kanannya. Aku menggenggamnya lebih erat lagi. "Pakai label. Teman"

Genggaman tanganku lebih erat lagi. Jantungku melompat dari tubuhku yang ditabrak hembusan angin dari kereta yang baru saja lewat. Genggaman erat ini tidak lagi terasa hangat, rasanya dingin, mungkin telapak tanganku mati rasa. Berapa lama keretaku akan datang, berapa lama lagi aku akan menunggu di sini, berapa lama lagi aku akan menggenggam tangan Resa dengan keras sehingga mungkin ia merasakan sakit? Aku juga sakit.

"Resa", ia melihatku sambil membereskan laptop dan buku catatannya."Aku pulang duluan, ya. Kamu nggak apa-apa?"

"Yah.. Kenapa? Aku udah selesai kok"

"Aku mau naik bus"

Resa ikut berdiri, menatapku sejenak. "Nanti kalau kamu diculik gara-gara ngelamun gimana?". Aku tertawa. Bagaimanapun ia masih Resa yang seorang badut dengan guyonannya yang garing.

"2 tahun kamu culik gara-gara ngelamun, aku masih bisa di sini, kan?"







Artwork credits:

Awalnya: https://pin.it/14jzmSr

Akhirnya: https://www.youtube.com/watch?v=PHSVL4Oyvzs

Kata Tio: https://pin.it/7yX3eUa

Sepenggal Kita yang Kau TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang