Arang dan Tanah: Abu

8 0 0
                                    

Pikiran yang menampakkan mu masih sering muncul saat akan berjalan menuju tempat duduk dekat jendela di kafe tempat kita biasa menuangkan rindu. Perjalanan itu terasa lambat mengetahui kini aku meninggalkan bayanganmu di kamarku. Berharap isi kepalaku bisa lebih ringan ternyata menambah beban dalam perasaan.

Tidak ada yang paling bodoh selain berpura-pura mengosongkan perasaan untuk sesuatu yang baru. Dan aku berjanji, berusaha, bertekad untuk meninggalkanmu.

Kau duduk di sana, menegak kopi hitam yang masih mengeluarkan uap. Kau selalu bilang panas menghapus pahit. Kini yang kurasakan beku dan pertarungan yang begitu sengit; antara aku dan hatiku.

Kau menyapaku dengan lirikan yang lantang berkata "Aku sudah lama menunggumu kembali".

Tak lama kau beralih pandang ke luar jendela, ke bayangan pohon rindang tempat kali pertama kau menghampiri dan memuji senyumku. Berjalan ke arahmu lebih berat daripada melangkah dengan rasa bersalah telah menelantarkan rumah yang sudah kita bangun.

Aku duduk di tempat biasanya, kembali memandang di mana kau duduk. Rasa sesal begitu padat hingga hembusan nafas ini tak lagi terasa. Selagi menulis aku berbisik,

                            "Sore biasanya ramah namun setelah

                               aku mengucap kata pisah, semua membuatku resah. 

                              Tan, bayanganmu berada ke manapun aku melangkah"

Sepenggal Kita yang Kau TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang