The Truth Untold

647 49 1
                                    

Begitu keluar dari kamar mandi, Adriana tidak mendapati Adrian di dalam kamar pria itu. Langkah kaki wanita itu lalu membawanya keluar kamar. Dan benar saja, pria itu sedang duduk di sofa ruang tamu.

Adriana mendekat, mengambil duduk di sofa yang sama dengan Adrian namun dengan jarak yang jauh. Adrian mendongkak, menatap Adriana yang menatapnya dengan amarah juga kecewa.

"Sejak kapan?" Adriana membuka suara.

"Apa?"

"Sejak kapan itu ada? Maksud gue, rasa... suka lo ke gue." Dengan berat Adriana mengucapkan kalimat yang menurutnya tidak pernah terpikir sebelumnya.

"SMP." Adriana mendesah. Menguatkan kembali dirinya untuk mendengar sebuah fakta yang selama ini Adrian simpan.

"Tell me." Adrian menatap Adriana. Menarik nafas sebelum menceritakan satu fakta yang selama ini dipendam dan disimpan rapat olehnya.

Adrian mulai bercerita. Awal dari perasaan suka timbul untuk Adriana. Pria itu pikir rasa suka untuk Adriana hanya sebatas Kakak-Adik, yang bagaimana pun Adrian waktu itu menganggap Adriana kecil adalah Adiknya.

Seseorang yang harus di jaga olehnya.

Namun lama-kelamaan mendapati wanita itu memiliki pacar, Adrian merasa risih juga kalah saing. Adriana yang sering menghabiskan waktu bersama dirinya, memiliki lelaki lain yang bersama wanita itu.

Adrian pikir itu wajar. Adriana juga memiliki dunia sendiri, tidak semata-mata harus terus bersama Adrian 24/7. Awalnya Adrian berpikir seperti itu. Sampai puncaknya mereka duduk di bangku Menengah Atas.

Adrian sudah tau apa itu baik-buruk. Pacaran dan puberitas. Di masa inilah rasa suka yang Adrian pikir hanya sebatas sahabat, Kakak malah berubah untuk lawan jenis. Adrian ingin menapik, berpikir untuk tidak seharusnya menimbulkan rasa tersebut dalam dirinya. Mengingat mereka adalah dua orang sahabat dan persahabatan mereka sudah terjalin lama.

"Tapi, sejauh dan sekuat apapun gue menapik rasa itu, gue gak bisa, Na. Waktu kuliah, liat lo selalu bareng Rizki, gue bohong kalau gue gak iri. Gue kecewa. Harusnya gue, harusnya gue yang selalu ada, yang selalu jadi prioritas lo. Yang selalu lo butuhkan."

"Waktu lo ngerayain ulang tahun lo, padahal gue udah buat acara untuk itu. Tapi lo, lo lebih milih Rizki. Okay, gue gak masalah. Tapi jauh di dalam diri gue, gue ingin egois. Gue ingin lo selalu liat gue, bukan yang lain."

"Gue tau ini salah. Tapi, rasa suka itu bukan suka lagi. Udah tumbuh seiring waktu jadi cinta. Gue udah berusaha, Na. Berusaha bagaimana pun gak harusnya rasa cinta timbul dan mengakar di diri gue. Tapi nyatanya, perasaan seseorang itu gak bisa ditentukan kan?" Adrian menarik nafas. Menatap Adriana yang hanya diam.

"Gue udah jujur, selebihnya terserah lo. Tapi, gue mohon, kalaupun ini berakhir gak baik. Kita tetap sahabat kan, Na? Bisa gak jangan berubah? Gue bakal pura-pura kayak kemarin kalau lo gak tau soal ini. Bisa kan?"

"Gue cuma gak mau kehilangan lo. Ini yang paling gue takutin. Kalau gue jujur dari awal, gue takut lo jauhin gue. Lo gak mau lagi sahabatan sama gue."

Adriana menggeleng. Mengusap kasar wajahnya lalu bangkit dari duduknya.

"Gue... gue butuh waktu. Tolong jangan temui gue. Apapun alasannya." Setelah mengatakan itu, Adriana meninggalkan Adrian yang hanya bisa menunduk menatap lantai.

Bahu pria itu mulai bergetar. Untuk pertama kali setelah sekian lama pria itu kembali meneteskan air mata. Jika dulu untuk orangtuanya, maka kini untuk seorang wanita yang dicintainya.

"Gue harus apa, Na kalau akhirnya kayak gini?" Tanya Adrian pada kesunyian malam.

***

Adrian benar-benar menuruti perkataan Adriana malam itu. Sejak Adrian jujur malam itu, pria itu tidak pernah menampakkan diri di hadapan Adriana. Adriana merasa lega. Wanita itu masih membutuhkan waktu untuk semua yang terjadi.

Wanita itu memilih menyibukkan diri di toko bunga miliknya. Melakukan apapun untuk menyibukkan diri agar tidak kembali memikirkan masalahnya bersama Adrian.

Awalnya Adriana merasa 'susah'. Dirinya sudah terbiasa dengan keberadaan Adrian, dan kini harus menjaga jarak dalam waktu—yang belum bisa ditentukan dari pria itu.

Laura, teman wanita itu bahkan beberapa kali sempat melontarkan pertanyaan yang menyangkut Adrian. Namun Adriana selalu menjawab jika pria itu memiliki pekerjaan yang membuat Adrian sibuk sampai tidak bisa meluangkan waktu untuknya.

Seperti kini, disaat Adriana sibuk merangkai bunga pesanan beberapa pelanggan, Laura tiba-tiba bertanya.

"Adrian sibuk banget ya? Kok udah dua minggu gak nongol. Biasanya kan nempel mulu sama lo." Adriana menulikan telinganya. Kembali fokus dengan rangkaian bunga wanita itu.

"Kok lo anteng aja? Biasanya lo juga tuh suka nempelin Adrian. Samperin gih ke kantornya. Mumpung udah mau makan siang ini." Adriana meletakkan rangkaian bunganya begitu saja. Menatap Laura.

"Adrian... Adrian... Adrian. Gak bosan lo? Kenapa gak lo sendiri yang samperin dia? Telinga gue sakit dengar lo nanya mulu tentang dia." Mata Laura berkedip. Melihat bagaimana reaksi Adriana yang cukup 'aneh' soal Adrian.

Padahal Laura pikir wanita itu akan sangat 'antusias'. Akan selalu menggosipkan pria itu jika Laura sedang membahas Adrian dengannya.

"Lo kenapa sih? Kok segitunya."

"Lo yang kenapa?! Tiap kesini Adrian mulu yang lo bahas. Masih banyak kali topik lain, gak harus dia." Adriana berteriak kesal. Mengatur deru nafasnya sebelum meninggalkan Laura yang terdiam.

Begitu masuk dalam ruangannya, Adriana langsung menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di tengah ruangan. Menatap langit-langit ruangan tersebut dengan kesal.

Seharian dirinya tidak fokus karena terus mendengar nama Adrian yang selalu di sebut-sebut. Padahal wanita itu sudah berusaha untuk terlihat cuek, berusaha baik-baik saja.

Namun entah kenapa itu tidak bisa terjadi. Adriana seakan tidak mampu untuk bersikap baik-baik saja mengingat masalah yang timbul antara dirinya dan Adrian.

"Brengsek lo, Dri!" Maki Adriana sebelum memejamkan mata.

Give Me Your Forever ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang