Adriana mendesah. Mendaratkan tubuhnya pada sofa yang berada di ruangan wanita itu. Seharian ini tenaganya terkuras habis untuk memikirkan rancangan sesuai kemauan Laura.
Waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa, Laura akan menikah sebentar lagi. Sementara dirinya masih menetap di satu tempat. Terus-menerus seperti itu. Adriana masih selalu menunggu Adrian.
"Na." Adriana mengerang begitu mendengar panggilan tersebut. Tidak bisakah Laura membuatnya istirahat walau hanya sebentar saja?
"Please, Lau. Gue butuh istirahat. Kecuali lo bayar gue dua kali lipat, gue bakal selesain dengan cepat." Laura terkekeh. Mendekat pada Adriana.
"Makan siang yuk. Gue yang traktir." Mata Adriana terbuka, menatap Laura dengan dahi mengerut.
"Tumben. Habis di kasih jatah ya?" Laura menatap Adriana dengan kesal.
"No sex before marriage." Adriana tertawa. Laura beruntung memiliki calon suami yang begitu mencintai wanita itu.
"Gue... bahagia liat lo bahagia, Lau." Tiba-tiba Adriana ingin mengucapkan kalimat itu. Hampir setahun kepergian Adrian membuat wanita itu banyak melewati masa sulit. Beruntung Laura selalu setia di sampingnya.
"Gue gak suka suasana disini. Makan yuk!" Karena tidak ingin membuat Adriana mengingat kembali masa-masa itu, Laura langsung menarik Adriana untuk segera keluar dari ruangan wanita itu.
***
Adriana tau ada yang salah dengan tubuhnya. Sejak seminggu lalu dirinya bekerja keras untuk membuat dekorasi pernikahan Laura, tubuh Adriana terasa aneh beberapa hari terakhir.
Setelah menyelesaikan dekorasi untuk pesta pernikahan Laura, Adriana kembali mendapat pesanan rangkaian bunga yang cukup banyak kali ini. Namun karena tidak ingin membuat pelanggan kecewa karena tidak profesional dirinya, Adriana memaksakan diri untuk kembali merangkai pesanan bunga di toko miliknya meski tubuh wanita itu terasa tidak baik-baik saja.
"Ibu gak apa?" Salah satu pekerja Adriana bertanya. Lima menit terakhir dirinya selalu melihat Adriana yang tidak konsentrasi.
"Saya gak apa-apa kok." Adriana mengulas senyum. Kembali merangkai bunga di hadapannya.
Setengah jam kemudian Adriana pamit ke ruangannya karena merasa tidak tahan dengan tubuhnya yang terasa lemas.
Adriana mendesah kasar. Mengecek suhu tubuhnya dengan termometer yang ada di ruangannya. Rasanya begitu lelah padahal wanita itu belum bekerja terlalu lama.
"Na?" Adriana mendongkak. Mendapati Laura yang berjalan mendekat padanya.
"Lo sakit?" Laura bertanya begitu melihat termometer yang ada di tangan Adriana.
"Mungkin. Kepala gue rasanya berat banget. Lemas juga. Padahal masih ada beberapa pesanan yang belum selesai." Laura tersenyum. Memberikan sebuah paper bag untuk Adriana.
"Cobain ya. Itu kue buatan gue."
"Lo jadiin gue kelinci percobaan?" Laura mendengus. Padahal ini bukan makanan pertama yang dicoba oleh Adriana. Namun tetap saja mendengar ucapan itu membuat dirinya kesal.
"Iya. Gue masih sayang suami gue dari pada lo. Cobain deh." Adriana bergumam pelan namun membuka paper bag yang diberikan Laura.
Laura membuat kue kering untuknya. Adriana lalu mencobanya dengan wajah datar.
"Gimana?"
"Lumayan. Seenggaknya gak buat sakit perut." Laura berdecak, namun tersenyum begitu melihat Adriana kembali mengambil kue tersebut.
"Ngapain masih disini?"
"Lo masih ada kerjaan?" Adriana mengangguk. Masih mengunyah kue buatan Laura.
"Makan siang bareng?"
"Gak dulu. Pesanan gue banyak. Suami lo kan bisa." Laura menatap Adriana dengan lesu. Padahal wanita itu ingin makan siang dengan Adriana setelah satu minggu lalu tidak bertemu Adriana.
"Yaudah. Gue pergi dulu." Adriana hanya mengangguk. Membiarkan Laura pergi dari ruangannya dengan wanita itu yang masih belum berhenti memakan kue kering.
***
Setelah pulang dari toko miliknya Adriana langsung tidur. Dan kini, tubuhnya benar-benar tidak baik-baik saja. Dugaan Adriana benar terjadi. Adriana jatuh sakit.
Dirinya kelelahan. Itulah yang dikatakan Dokter saat Laura berkunjung ke apartemen untuk mengajaknya keluar sore tadi. Laura mendapati dirinya yang sudah tergeletak tak berdaya di sofa ruang tamu. Meringkuk bagaikan janin di sana.
"Lo gak apa kalau gue tinggal?" Laura bertanya untuk yang kesekian kalinya. Wanita itu benar-benar khawatir dengan kondisi Adriana. Panasnya cukup tinggi dan Adriana menyuruhnya untuk pulang. Padahal wanita itu sedang sakit dan sendiri di apartemen.
"Iyaa. Bawel banget deh. Pulang aja, gue gak apa. Besok paling udah baikan. Kasian suami lo. Mau manja-manja dia." Adriana terkekeh dengan suara serak. Dirinya tidak ingin Laura repot sedangkan wanita itu memiliki suami yang berada di rumah.
"Beneran ya?" Laura kembali bertanya. Adriana mengangguk untuk meyakinkan wanita itu.
"Kalau ada apa-apa telfon gue."
"Iya, bawel banget lo." Setelahnya Laura pamit pulang, meninggalkan Adriana sendiri di apartemen.
Adriana berbaring telentang dengan tubuh tertutup selimut. Matanya menatap langit-langit kamar. Setelah usahanya mencari Adrian tidak membuahkan hasil, wanita itu memilih kembali ke apartemen milik Adrian. Menetap di sana.
Di saat seperti ini, Adriana berharap Adrian ada di sampingnya. Merawatnya di saat sakit seperti yang dulu pria itu lakukan. Namun kini, keinginan Adriana hanyalah sebuah keinginan. Nyatanya Adrian sudah tidak ada di sana.
Pria itu menghilang.
"Gue kira... gue kuat. Ternyata gue lemah, Dri." Lirih Adriana sebelum berbaring miring, memejamkan mata.