"Mau sampai kapan lo kayak gini?" Pertanyaan itu membuat Adrian mendongkak, menatap Dion, temannya yang berdiri di pintu kamar.
Dion menghela nafas karena Adrian hanya diam. Pria itu berjalan mendekat ke tempat Adrian.
"Udah cukup, Dri. Bukannya selesai, lo malah menambah masalah. Lo tersiksa, begitu juga Adriana. Gak capek apa lo kayak gini selama dua bulan?" Adrian tetap bungkam. Membiarkan Dion terus berbicara tanpa membalas ucapan pria itu.
"Lo tau, waktu terus berjalan. Dua bulan gak ada usaha, gak akan mengubah apapun, Adrian!" Dion kembali mendesah. Bersedekap menatap Adrian.
"Gue udah gak mau dengar apa-apa lagi dari lo. Tolong, tinggalin tempat ini." Permohonan Dion barusan membuat Adrian menatap pria itu dengan bingung.
"Gue ngusir lo!" Teriak Dion dengan kesal. Astaga! Ternyata cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh. Dion benar-benar tidak habis pikir.
"Pergi dari sini! Terserah lo mau ngapain, gue gak peduli. Udah cukup waktu dua bulan yang gue kasih buat lo sembunyi dari Adriana. Bukannya pulang, menyelesaikan masalah, lo malah milih sembunyi dari dia."
"Lo pengecut, Revano Adrian Candra." Adrian tidak ingin membela diri dari perkataan Dion barusan. Benar, dirinya benar-benar pengecut.
Dua bulan lalu dirinya sudah kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan pekerjaannya di sana. Namun, seperti yang dikatakan Dion, bukannya pulang untuk menyelesaikan semua masalah dengan Adriana, pria itu malah bersembunyi di rumah Dion selama dua bulan ini.
Tidak ada yang dilakukan pria itu. Bahkan untuk sekedar menghubungi Laura, yang merupakan teman Adriana untuk sekedar bertanya tentang Adriana pun, Adrian tidak berani.
Pria itu takut. Takut tertolak. Padahal dirinya belum berusaha. Namun Adrian kalah akan pemikirannya sendiri.
"Gue.... gue takut, Yon." Untuk pertama kalinya pria itu membuka suara. Menatap Dion dengan tatapan sedih.
"Apa yang lo takutin?" Dion berjalan menuju jendela kamarnya, memandang pada kejauhan.
"Gue takut kalau Adriana.... kalau Adriana..." Dion mendengus. Adrian yang pria itu kenal, sungguh berbeda dengan Adrian yang kini duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya.
Cinta benar-benar mengubah seseorang.
"Lo takut dia nolak lo. Lo takut kalau sekarang dia udah punya seseorang yang bisa buat dia bahagia. Sedangkan lo, lo tetap gitu aja. Gak ada perubahan. Itukan yang lo takutin?" Diamnya Adrian membuat Dion tersenyum mengejek.
"Halo, Revano Adrian Candra!" Adrian mendongkak, menatap Dion yang menatap serius padanya.
"Lo gak bakalan tau semua itu benar-benar nyata terjadi kalau sejak dua bulan lalu lo berusaha!! Lo harusnya datang, temui Adriana. Bicara sama dia. Liat! Liat apa dia udah bahagia atau belum."
"Bukannya milih diam diri disini. Lo gak ada usaha sama sekali. Dan itu buat lo semakin memikirkan kemungkinan yang nyatanya belum tentu terjadi. Buang semua pemikiran itu sebelum lo sendiri tau jawaban dari rasa takut lo itu sendiri." Nafas Dion menderu. Menahan diri untuk tidak menghajar Adrian yang terlihat seperti orang bodoh.
"God! Gue ingin sekali mukul wajah bodoh lo itu!" Teriak Dion sebelum keluar dari kamarnya. Pria itu tidak tahan untuk berlama-lama bersama Adrian.
"Kalau dia emang istimewa bagi lo, sejauh apapun lo pergi, setakut apapun lo pada sesuatu, seburuk apapun lo, dia bakal tetap jadi rumah untuk lo." Ucap Dion sebelum benar-benar meninggalkan Adrian di kamar miliknya.
***
Adriana terbangun merasakan haus. Melihat jam, Adriana mendesah. Pukul dua dini hari dirinya terbangun. Dengan pelan Adriana bangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa sakit, namun panasnya tidak setinggi tadi.
Dengan pelan karena masih pusing, Adriana berusaha ke dapur. Adriana benci disaat dirinya sakit. Dia akan lemah dan tidak bisa melakukan apapun. Andai saja masih ada Adrian—Adriana menepis pemikirannya karena tidak ingin semakin sakit hanya karena terus memikirkan pria itu.
Di dapur, setelah meneguk segelas air, Adriana tidak langsung kembali ke kamar. Wanita itu duduk di kursi bar dengan tubuh yang terbungkus selimut.
Kembali melamun menatap gelas yang ada dalam genggamannya. Bayang-bayang kebersamaan bersama Adrian kembali terputar di kepalanya. Membuat Adriana mau tidak mau tersenyum kecut.
Setahun sudah mereka berjauhan. Tidak ada kalimat selamat tinggal atau apapun. Semuanya benar-benar terjadi begitu saja. Adriana benci saat di mana dirinya meminta Adrian untuk tidak menemui dengan alasan apa pun. Andai saja....
"Gue kangen lo, Dri." Lirih Adriana. Wanita itu menangis, menumpahkan segalanya. Walaupun sudah setahun, nyatanya rasa sakit itu masih terasa.
"Gue benci semua ini! Gue benci, Adrian...." Adriana sesenggukan. Gelas yang berada dalam genggamannya, terlempar begitu saja akibat ulahnya.
Adriana benar-benar menyesal. Amat sangat menyesal.
"Lo brengsek, Adrian! Setelah gue cinta sama lo, lo pergi!! Lo brengsek!!!" Pada kesunyian malam, wanita itu memaki, mengumpati Adrian dengan semua yang bisa wanita itu lakukan.
"Pulang Adrian!!! Gue capek.... capek nunggu lo di sini. Capek terlihat baik-baik aja." Lirihnya.
Setelah puas menumpahkan keluh kesahnya, wanita itu bangkit, kembali ke kamar. Tidak peduli kalau kaki telanjangnya baru saja menginjak pecahan gelas. Adriana benar-benar tidak peduli lagi.
"Na?" Adriana terkekeh. Apa ini efek dari sakit yang dialami dirinya? Atau karena terlalu rindu sampai mendengar suara Adrian memanggilnya? Atau... dirinya benar-benar sudah gila?
Adriana menggeleng. Kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Adriana." Langkah Adriana berhenti. Kesal dengan suara-suara tersebut. Lalu tubuh wanita itu berbalik.
Adriana kembali tertawa. Apa ini halusinasi? Kenapa Adrian bisa ada di hadapan wanita itu? Benar, Adriana mungkin terlalu rindu sampai membayangkan Adrian berdiri di hadapannya kini. Padahal jelas-jelas Adrian entah berada di mana.
"Dri.... lo brengsek...." Ucap Adriana sebelum jatuh pingsan.