Niat hati ingin istirahat begitu sampai di apartemen. Namun apa yang ditemukan Adrian sangat tidak terduga. Adriana kembali 'menggila' di ruang tamu.
Dengan langkah lebarnya, Adrian mendekat. Meraih botol minuman yang akan diteguk langsung oleh wanita itu.
"Cukup." Tegur Adrian dengan nada perintah yang mutlak. Adriana menatap pria itu. Memindai tubuh Adrian yang masih lengkap dengan pakaian kantor pria itu.
"Gak lembur?" Adrian mendengus. Meletakkan jauh botol minuman milik Adriana agar wanita itu tidak dapat meraihnya.
"Lo pikir ini jam berapa?" Kepala Adriana langsung mendongkak, menatap jam yang menggantung di atas televisi.
"Ah, gue kira masih jam delapan. Martabak gue, mana?" Adrian mengedikkan dagu ke arah dapur.
"Tolong dong." Pinta Adriana dengan wajah tidak berdosa. Namun dengan begitu Adrian bangkit, mengambil kresek yang sebelumnya di letakkan di meja pantry, membawanya pada Adriana.
"Lo mau?" Adriana menawarkan. Melihat bagaimana Adrian terus menatap kearahnya membuat Adriana berpikir jika pria itu menginginkan apa yang Adriana makan.
"Gak. Makan aja." Adriana lalu sibuk dengan martabak manis miliknya. Membiarkan Adrian yang tidak sekalipun berpaling menatapnya.
"Lo sayang sama Rizki?" Pertanyaan tiba-tiba dari Adrian membuat Adriana menghentikan acara makannya.
"Gue harus jawab?" Kepala Adrian menggeleng. Tanpa dijawab pun Adrian sudah tau.
Adrian mengelus rambut Adriana yang terurai. Sejenak, Adrian menahan tangannya di sana, berlama-lama hanya untuk merasakan kelembutan rambut Adriana.
"...ran sama gue?"
"Hah?" Adriana menatap Adrian dengan ngeri. Pertanyaan tiba-tiba yang kedua kalinya dari pria itu membuat Adriana semakin yakin, jika Adrian memang sedang 'sakit'.
"Lo kenapa sih?" Adriana membersihkan kedua tangannya. Mengubah posisi duduknya menjadi miring agar dapat menatap Adrian lebih jelas.
"Emang gue kenapa?"
"Lo... Bego. Ngapain ngajak pacaran?" Bola mata Adrian mengerjap. Tubuhnya langsung menegap.
"Gue... cuma menawarkan."
"Kenapa?" Kedua tangan Adriana bersedekap. Meminta alasan detail dari Adrian.
"Gue menawarkan hubungan yang memiliki banyak keuntungan. Pertama, kita udah saling kenal dari kecil. Gak harus beradaptasi lagi untuk tahap pengenalan. Lalu, karena udah saling kenal, gue sama lo udah tau pribadi masing-masing. Gue juga selalu ada disaat lo butuh. Selalu menyanggupi kemauan lo."
"Jadi, intinya, baik-buruk diri kita berdua, udah bukan hal baru lagi. Gak ada lagi rahasia. Juga, gue selalu jadiin lo prioritas. Ada di saat lo butuh, kapan dan dimana pun itu. How lucky you are, kalau lo terima tawaran gue." Diamnya Adriana membuat jantung Adrian berpacu lebih dari detak normal. Menunggu keputusan apa yang akan di ambil oleh wanita itu.
Adrian bukan menawarkan hubungan omong kosong, Adriana tau itu. Semua yang Adrian katakan adalah kebenaran. Dibandingkan waktu bersama Rizki, lebih banyak waktu dihabiskan dirinya bersama Adrian. Dan laki-laki itu pun tau segalanya, apa yang disukai ataupun tidak oleh Adriana.
"If we never try, how will we know?"
***
Harusnya malam itu Adriana menolak. Tawaran gila dari Adrian entah mengapa langsung wanita itu setujui meski perlu beberapa waktu untuk memikirkannya.
Dan disinilah dia, menunggu Adrian yang sudah dalam perjalanan menjemput dirinya. Awalnya Adriana tidak meminta untuk diantar oleh pria itu, namun karena Adrian menanyakan kegiatannya, jadilah pria itu merangkap menjadi sopir walaupun Adriana tau, laki-laki itu memiliki kesibukan di kantor.
Kepala Adriana langsung mendongkak begitu mendengar suara klakson mobil. Adriana tidak langsung beranjak dari kursinya, wanita itu memilih menunggu Adrian turun dan menghampirinya.
"Ke rumah Laura kan?" Tanya pria itu sambil menggeser kursi yang berada di samping Adriana.
Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang berubah dari tawaran hubungan Adrian semalam. Adriana pikir, hubungan mereka akan sama seperti awal. Di mana-mana Adrian memang selalu berperan dalam segala sesuatu yang membuat Adriana merasa tersanggupi semua keinginannya. Baik hal kecil sekalipun.
Seperti saat ini. Adrian memang kerap menjadi sopir dadakan untuknya. Mengantarnya ke mana pun di saat wanita itu memiliki kegiatan di luar. Yang kadang menemani jika wanita itu tidak memiliki teman. Yang selalu mengingatkan jika dirinya lupa makan atau hal kecil lainnya.
Adrian seperti alarm yang disetel untuk dirinya. Yang selalu melengkapi. Namun Adriana tidak keberatan sama sekali. Satu sisi dirinya juga ingin melihat seberapa jauh hubungan ini akan bertahan.
"Udah?" Adriana mengerjap. Menatap Adrian yang menopang dagu menatapnya.
"Apa?"
"Mengamati wajah tampan gue." Adriana mendengus lalu tertawa. Ya, Adrian dan segala yang ada pada diri pria itu, Adriana tidak dapat menolaknya.