Adriana pikir dengan menjaga jarak akan membuatnya bisa berpikir jernih untuk menanggapi masalah dirinya dan Adrian. Nyatanya pilihan yang diambil oleh wanita itu adalah sebuah kesalahan besar.
Meski Adriana akui, dua minggu pertama dirinya merasa lega karena tidak bertemu Adrian. Membuat dirinya sibuk seolah-olah tidak memiliki masalah yang bergumul di pikiran.
Dua bulan setelahnya, Adriana tersadar. Ada yang salah dari semuanya. Wanita itu berpikir berjauhan dengan Adrian tidak akan membuat dirinya ikut merasakan perubahan yang terjadi.
"Lo kenapa sih?" Laura bertanya. Melihat Adriana yang terus marah-marah hanya karena masalah sepele.
"Diam deh, Lau." Adriana mendesis. Menatap kesal pada Laura yang bersamanya di sebuah kafe yang tidak jauh dari toko bunga wanita itu.
"Gue gak bakal diam kalau lo kayak gini terus. Ini udah dua bulan dan lo gak cerita apa-apa. Lo ada masalah kan sama Adrian." Adriana mendengus. Kembali mendengar nama pria itu membuat sesuatu di dalam dirinya bereaksi aneh.
"Kalian kenapa sih? Kalau cuma diam gini gak bakal bikin semuanya selesai. Kenapa gak ngomong aja? Ribet banget." Adriana mengebrak meja. Membuat beberapa pasang mata menatap ketempat mereka.
"Lo pikir semudah itu?! Ini bukan masalah sepele, Lau. Ini tentang perasaan. Perasaan!!" Tawa Laura lalu terdengar begitu Adriana menyelesaikan kalimatnya.
"Lo bego, Na. Gue pikir selama ini lo udah tau. Ternyata belum ya. Lo selalu nutup mata buat semua yang jelas udah Adrian lakuin buat lo. Lo cuma gak mau hubungan persahabatan kalian 'rusak'. Nyatanya emang dari awal udah gak baik-baik aja."
"Maksud lo apa?"
"Lo pikir selama ini kenapa Adrian masih sendiri? Padahal dia punya kesempatan buat pacaran, cari kesenangan buat dirinya. Tapi apa yang dia lakuin? Selalu di sisi lo. Dia milih buat sendiri karena lo. Karena dia gak butuh orang lain kalau kebahagiaannya di lo, Na."
"Lo gak sadar karena ada tembok tinggi yang lo buat antara lo dan Adrian. Sebenarnya dari awal lo udah tau perasaan Adrian buat lo. Tapi lo selalu nutup mata untuk itu! Lo selalu buta sama semua yang Adrian lakuin."
Adriana bungkam. Membuat Laura semakin menggebu untuk membuat wanita itu sadar. Semua yang Laura katakan, terus berputar di kepala Adriana.
Ya, semuanya benar. Adriana akui itu. Dia selalu menutup mata untuk semua yang Adrian jelas-jelas perlihatkan padanya perasaan pria itu. Karena Adriana tidak ingin persahabatan yang mereka jalin sudah sejak lama berubah hanya karena perasaan asing yang tiba-tiba ada diantara mereka.
Adriana tidak ingin merusak hubungan mereka, nyatanya wanita itu sudah merusaknya.
"Stop!" Adriana berteriak. Nafas wanita itu tersenggal. Dadanya naik-turun. Mata wanita itu sudah memerah, siap menumpahkan cairan bening dari sana.
"Cukup!" Ucapnya sebelum keluar dari kafe menuju butiknya dengan tergesa.
***
Adrian mengernyit. Telinganya kembali mendengar suara disekitarnya padahal jelas-jelas Adrian sedang sendiri di taman bermain tersebut.
Bocah laki-laki itu kembali fokus pada gambar pasir di depannya. Kembali menggerakkan batang kayu kecil sebagai pensil untuk membuat pola pada pasir.
"Hiks..." Telinga Adrian kembali mendengarnya, bocah itu langsung berdiri. Menggerakkan kepala ke kanan-kiri untuk mencari sang empu suara.
"Hiks..." Langkah kaki Adrian lalu membawa bocah itu untuk mengelilingi taman.