Bagian 10: Sepatu Boots

80 9 0
                                    

"Lunaㅡjangan pernah membenci semesta, bagaimanapun hasilnya kelak. Dan aku hanya bisa berharap semoga lukamu karenaku bisa sembuh seutuhnya, meskipun aku harus membayarnya dengan nyawaku."

"Apa maksudmu?"

"Nantiㅡaku akan mengatakannya langsung jika aku berhasil meyakinkan semesta. Tapi jika aku gagal, tolong ingat kata-kata ini: aku tak pernah menyesal menikah denganmu. Aku bangga memilikimu. Kumohon berbahagialah selalu, Luna."

🥀

Lagi-lagi Biru meneteskan airmatanya, merasa misi yang harus diterimanya ini terasa begitu berat. Dadanya terasa sesak, ia bahkan tidak diizinkan mertuanya untuk melihat Luna di ruang jenazah.

Tatapan benci dari orang-orang terdekatnya kembali membuatnya terpuruk. Bahkan Juan kini juga terlihat berbalik membencinya, hingga ia merasa benar-benar tak pantas untuk berada di sana.

Dengan sisa tenaga yang tinggal seperempat, Biru berusaha bangun sambil berpegangan pada dinding. Percuma jika ia terus memohon, yang ada ayah mertuanya akan membunuhnya di tempat.

"Maaf kalau keberadaan saya sudah tidak diinginkan lagi di sini. Maaf juga karena saya tidak bisa menjaga Luna dengan baik. Namun yang pasti, pembunuhnya bukan saya. Saya juga tidak pernah melakukan KDRT kepada istri saya sendiri." Ucap Biru sambil terus menundukkan kepalanya, tak kuasa menatap mereka karena akan semakin membuat hatinya sakit.

"Juan, gue minta maaf. Setelah ini terserah lo mau gimana ke gue. Gue ikhlas." Kali ini Biru memaksakan memandang sepupunya itu sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

Juan hanya diam, namun sorot matanya tetap memancarkan aura kebencian yang mendalam. Perasaan Biru kembali hancur hanya karena melihat tatapan sepupunya tersebut.

Setelah membungkuk dan meminta maaf beberapa kali, Biru berjalan pelan meninggalkan mereka semua tanpa bisa melihat Luna untuk yang terakhir kalinya. Meskipun statusnya masih sebagai suami sah Luna, namun ia sama sekali tak memiliki kuasa atas itu.

Biru tak tahu harus pergi ke mana saat ini. Lelaki itu bingung, lelaki itu berjalan tanpa tujuan. Sesekali ia berhenti berjalan karena sakit di kepalanya yang lagi-lagi menyerangnya. Dan beberapa saat setelahnya, muncul rasa mual hingga membuatnya ingin memuntahkan isi perutnya. Ia pun berusaha mengumpulkan sisa tenaganya dan segera berlari menuju toilet.

Selagi ia berusaha menuntaskan rasa mualnya, sayup-sayup terdengar ada seseorang yang sedang berbicara di telepon. Kebetulan lokasinya ada pada bilik toilet kedua di samping kirinya. "Maaf, tuan. Pelatuk saya terlepas tanpa disengaja hingga membuat wanita itu tertembak. Saya tidak lupa jika target utama saya adalah Biru. Maafkan saya. Saya pantas mati."

Biru terdiam, jantungnya berdegup dengan kencang karena tanpa sengaja ia berada di tempat yang sama dengan si pelaku. Ia menempelkan sebelah kupingnya, berusaha mendengarkan lebih lanjut. "Saya harus mengikuti Biru? Baik, tuan. Saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Silakan tuan bunuh saya jika saya melakukan kesalahan lagi."

"Uhuk!" Biru tak sengaja terbatuk dan ia pun segera menutup rapat mulutnya. Keringat dingin mulai bercucuran karena merasa nyawanya terancam, dan ia pun berusaha untuk segera tidur sambil memikirkan waktu yang tepat agar ia dapat segera terlempar ke sana.

"Cepatlah tidur! Tolong cepatlah tidur!" Batin Biru sembari memejamkan matanya dan bersandar pada dinding toilet. Keringat dinginnya semakin deras bercucuran, mengetahui jika ada langkah kaki sepatu boots yang semakin mendekat ke arahnya.

ANGAN BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang