Bagian 6: Salah Tembak

79 9 0
                                    

"Aku tak akan pernah membiarkanmu pergi lagi. Biar aku saja yang pergi menggantikanmu, jika aku gagal nanti."

🥀

"Apa dadamu masih sakit?" Ucap Luna dengan nada yang begitu lembut, terasa lembut hingga membuat jantung Biru berdebar untuk yang pertama kalinya. Dan debaran itu untuk Luna, istrinya.

Biru hanya menggeleng sambil berusaha menahan hasrat dan libidonya yang tiba-tiba saja membuncah dari dalam dirinya. Ia berkali-kali menelan salivanya sendiri, merasa aneh dengan perubahan dirinya yang memang baru pertama kali ini menyukai seseorang.

Selama 29 tahun ia hidup di dunia, ia belum pernah jatuh hati kepada perempuan. Meskipun dulunya ia terkenal senang bermain wanita, namun hal tersebut hanyalah untuk pelampiasannya saja. Ia hanya senang bermain dengan mereka, lalu setelah itu ia buang jika sudah bosan. Intinya, dulu Biru menganggap perempuan sebagai objek mainan atau bonekanya saja.

"Beneran gak perlu ke rumah sakit? Kalo nanti kambuh lagi, gimana?" Tatapan mata Luna bahkan sejak tadi tak pernah lepas dari Biru, hingga membuat lelaki itu merasa gemas dengan istrinya.

"Aku udah gak apa-apa, cantik. Kalau kambuh tinggal peluk kamu lagi aja, pasti langsung sembuh." Biru terkekeh pelan sambil kembali menarik Luna ke dalam pelukannya. Dikecupnya kening sang istri berkali-kali, hingga membuat Luna merasa geli. Wajahnya bahkan sudah memerah sejak tadi, dan Biru malah semakin gemas melihatnya.

"Sayang, aku lapar." Biru menepuk perutnya sambil memanyunkan bibir seperti anak kecil. Luna sebenarnya masih merasa heran dengan perubahan drastis Biru, tapi ia berusaha untuk berpikir positif. Siapa tahu Biru memang sudah mau menerima dirinya sebagai istrinya.

"Ehm, maaf. Tadi niatnya aku baru mau masak setelah beres-beres dapur, dan aku kira kamu gak akan pulang hari ini. Jadi aku belum masak apa-apa." Luna menundukkan wajahnya, meratapi kebodohannya karena mau bagaimanapun juga seharusnya makanan harus selalu siap tersaji di atas meja.

Faktanya, selama satu minggu setelah mereka resmi menikah, Biru memang selalu menolak dan membuang makanan yang disajikan istrinya. Tak heran jika hari ini Luna agak ragu untuk menyiapkan sarapan seperti hari-hari sebelumnya.

Biru menyadari perubahan raut wajah Luna yang berbeda, lalu dengan cepat ia segera mengajak Luna untuk bersiap makan di luar, setidaknya untuk menghindari suasana hati istrinya yang sepertinya cepat sekali berubah-ubah.

"Biru, aku tahu tempat makan yang enak. Buka 24 jam pula. Gimana? Mau ke tempat yang aku rekomendasiin, atau kamu punya referensi tempat makan yang gak kalah enak, mungkin?" Ucap Luna dengan nada yang terlihat begitu antusias, dan nyatanya sejak tadi Biru hanya diam sambil tersenyum melihat tingkah menggemaskan istrinya itu.

Maklum, penyesalan selalu datang terlambat. Hanya karena Biru bisa kembali ke masa lalu seperti ini saja terasa masih begitu mustahil, apalagi bertemu kembali dengan istrinya yang sudah tiada. Tentu ia ingin sekali memanfaatkan waktunya yang singkat untuk berbuat apapun demi kebahagiaan istrinya. Agar ia tak menyesal lagi nantinya.

"Biru? Kok diam aja? Gimana? Jadinya mau makan di mana?" Luna kembali menekankan pertanyaannya, dan Biru pun segera tersadar dari lamunannya. "Ke tempat yang kamu maksud aja, sayang. Kalo gitu kita berangkat sekarang aja, ya?" Sahut Biru dengan nada yang amat lembut sembari sebelah tangannya mengusap pipi sang istri, jelas membuat istrinya itu terhipnotis dan langsung mengangguk dengan mantap.

ANGAN BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang