04

8 3 0
                                    

Can we skip this time? I hate it.

Hari-hari dilewati Daira dan Regan dengan senang dan bahagia. Hingga pagi ini, mereka pun masih asyik mengobrol di telpon. Tanpa Daira sadari, ibunya sedari tadi ada di depan pintu kamarnya dan mendengarkan mereka yang sedang mengobrol.

Ibu Daira adalah sosok yang tegas dan sangat disiplin. Melihat anaknya yang seminggu belakangan ini sering di kamar dan tidak melakukan hal produktif, ia pun mencurigainya. Dan kecurigaannya pun benar. Ada yang tidak beres pada anaknya itu.

Ibu Daira yang pada saat itu cemas langsung melaporkan pada ayah Daira. Ayahnya pun murka. Entahlah, mungkin karena ini adalah kali pertama Daira berpacaran.

Dan yang perlu kalian ketahui, inilah adalah bencana pertama yang akan dilalui oleh Daira dan Regan. Bagaimana tidak? Mereka sudah pasti tak mendapat restu untuk melanjutkan hubungan ini. Apalagi orangtua Daira tak dapat bertemu dengan Regan secara langsung. Bagaimana mungkin mereka membiarkan anak perempuannya memiliki hubungan dengan orang yang tidak mereka kenal.

Daira, ibu ingin bicara denganmu, panggil Ibu Daira di ambang pintu kamar. Daira pun hanya mengangguk seraya mengerutkan dahinya karena bingung ibunya akan membicarakan hal apa dengan wajah serius macam yang ia lihat.

"Ada apa, Bu? Kenapa serius begini?" tanya Daira dengan ibunya setelah sampai di ruang tengah rumahnya.

"Ibu mau tanya sama kamu, Daira. Apa benar kamu sedang berpacaran dengan seseorang?"

"Hah? Apa maksud Ibu?" tanya Daira semakin heran dan kaget karena tidak menyangka.

"Ibu tau, kok, kalau kamu sekarang sering telpon dengan lelaki setiap malam, bahkan sampai pagi juga pernah, siapa dia, Daira?" tanya Ibu Daira dengan to the point.

Daira terdiam sejenak. Ia tak pernah berpikir bahwa ini akan terjadi. Bagaimana mungkin sang Ibu tau bahwa ia sedang menjalani suatu hubungan? Pikirannya kacau sekali. Ia takut jika Ibunya marah padanya.

"Oh, iyaa, Bu. Itu temanku, kita emang sering ngobrol di telpon, kok!" ucap Daira yang terpaksa berbohong agar tidak kena omel Ibunya itu.

"Apa iya? Kalau begitu Ibu mau ngobrol juga dengan temanmu itu," tantang Ibu untuk membuktikan apa yang diucapkan Daira adalah kebenaran atau tidak.

"Iya, nanti aku coba bilang ke dia kalau Ibu mau mengobrol yaa," Daira pergi dari depan Ibunya menuju kamar dengan sedikit lunglai.

Sekarang yang ditakutkan olehnya adalah bagaimana jika Regan yang marah. Ia takut nantinya tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Tanpa basa basi Daira mengirim pesan kepada kekasihnya itu.

Sayang

Sayang, kamu sibuk ga?

Sedikit sayang, kenapa tuh?

Boleh ga aku minta bantuan ke kamu?

Apapun sayang, bilang ajaa

Call, yaa?

Iyaa, ayo call ajaa

Tanpa basa basi dan membuang banyak waktu, Regan pun langsung menelpon kekasihnya itu karena ia tau bahwa ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Daira dan ia tak ingin membuat kekasihnya gelisah.

"Sayang, kenapa?" tanya Regan tanpa aba-aba setelah Daira mengangkat telepon.

"Aku takut," jawab Daira dengan sedikit terbata-bata.

"Heiii, tenang dulu sayang, coba ngomong pelan-pelan yaa" ucap Regan seraya menenangkan Daira.

"Ibu tau kalo aku punya pacar, Ibu tau kita sering call malem-malem, dan aku takut Ibu marah,"

"Kenapa Ibu marah sayang? Emang Ibu ga bolehin kamu pacaran?" tanya Regan terkesan sedikit aneh.

"Aku gatau, mungkin karena kamu pacar pertamaku, jadi aku gatau harus respon Ibu kaya gimana,"

'Terus aku harus gimana sayang? Kamu mau aku ngapain?" tanya Regan to the point.

"Ibu mau ngobrol sama kamu, bisa?"

"Iyaa, kasihin aja handphone kamu ke Ibu yaa,"

"Beneran?" tanya Daira memastikan.

"Iyaa sayang, gih,"

"Iyaa, sebentar"

Daira pun memberikan handphonenya pada sang Ibu dan mempersilahkan Ibunya untuk mengobrol dengan kekasihnya itu. Daira memilih pergi tanpa mau mendengar obrolan mereka.

Setelah mengobrol cukup lama, Ibu Daira mengakhiri percakapan dan teleponnya langsung diberikan kepada Daira.

Regan hanya diam diujung sana. Sementara Daira sangat gelisah menunggu jawaban Regan. Telpon sudah hampir 30 menit dari Ibu Daira menyerahkan ponsel, namun Regan sama sekali tak bersuara. Entah apa yang sedang Regan lakukan.

"Regan, kenapa? Kok diem sih?" tanya Daira pelan.

"Gapapa kok, matiin aja callnya,"

Daira pun semakin gelisah dan resah karena Regan justru lebih memilih untuk mematikan teleponnya dibanding menjelaskan apa yang sudah terjadi tadi. Terlebih lagi, tanpa persetujuan Daira, Regan sudah memutus telepon mereka.

Sekarang Daira hanya termenung di pojok kamarnya sendirian.

Semalam suntuk Daira tidak dapat tidur dengan nyenyak. Matanya pun bengkak. Entah karena habis menangis semalaman atau hanya karena kurang tidur. Atau justru keduanya? Entahlah.

Regan sama sekali tidak menghubungi Daira setelah telepon dimatikan kemarin. Entah apa yang terjadi pada Regan. Harusnya dia menceritakan apa yang terjadi padanya kemarin kepada Daira, bukan hanya diam membisu seperti sekarang.

Berkali-kali Daira mencoba untuk menghubungi Regan, namun sia-sia saja karena handphone Regan pun dimatikan. Regan sepertinya sedang bingung dengan keadaannya sekarang.

"Gue harus gimana? Masa iya gue harus putusin Daira, sih? Baru juga seminggu, ck!" gerutu Regan di kamarnya sembari mengacak rambutnya dan berjalan mondar-mandir. Regan tampak sangat tak ingin melepaskan Daira untuk waktu yang sesingkat ini.

Sementara itu, Daira juga masih sibuk dengan handphone ditangannya dan terus saja mengirim pesan pada Regan dan menelponnya walaupun hasilnya tidak ada.

Dengan tekad yang bulat, Daira pun mencoba untuk bertanya langsung pada Ibunya. Ia menemui Ibunya yang sedang sibuk memasak di dapur dan segera menanyakan keresahannya itu.

"Bu, Daira boleh tanya?"

"Apa nak? Kamu ini kenapa? Biasanya pagi-pagi pasti bantu Ibu, tapi jam segini baru keluar kamar, kenapa?" Ibu Daira mencecar Daira dengan banyak pertanyaan sekaligus.

"Gapapa, Daira lagi capek aja, Bu" jawab Daira berbohong. Padahal Ibunya jelas tau bahwa anaknya pasti sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari mata Daira yang sangat bengkak.

"Terus kamu mau tanya apa? Masalah temenmu itu?" tebak Ibu seolah tau pikiran Daira.

"Iyaa, bu. Sebenernya Ibu ngomongin apa?"

"Ga ngomong apa-apa kok, nduk. Ibu cuma bilang ke nak Regan itu buat ga terus ganggu kamu. Supaya kamu tu fokus kuliahnya," jelas Ibu to the point.

"Tapi kan Regan ga ganggu aku, bu, kita tu sama-sama dukung, kok," protes Daira karena tidak setuju dengan ucapan ibunya.

"Ibu tau, tapi kalau kalian setiap hari telpon seperti itu kapan ada waktu belajarnya? Ibu juga ga melarang kalian buat berteman, kan?"

"Iyaa, bu. Tapi kan," Daira tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia sangat kesal dengan ucapan ibunya.

Daira pun kembali ke kamarnya dan mengunci pintunya. Jelas saja jika Regan tidak menghubunginya lagi. Pasti ia takut karena nanti Ibu akan tau. Sekarang ia sangat bingung dengan keadaannya.

***

Virtual FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang