Tujuh

24 13 5
                                    

Qyara mengedarkan pandangan ke sekeliling perpustakaan. Kata Rama, Arya kalau tidak bisa si temuin di belakang sekolah, tempat persembunyiannya ya di perpustakaan. Benar, ia menemukan sosok itu. Dengan langkah cepat ia menghampiri Arya yang sedang mencari buku.

“Kak, kok makanannya nggak dimakan?” tanya Qyara sambil memperlihatkan kotak makanan yang sudah kosong.

Arya melirik sebentar dan beralih ke bukunya lagi. “Itu udah habis”

“Ia tapi bukan kakak yang habisin”

“Gue gak suka nasi goreng” Arya menjawab asal padahal nasi goreng adalah makanan kesukaannya.

“Kok nggak suka? Kata tante Shinta suka.” Qyara mengerutkan dahinya. “Jadi sukanya apa?” lanjut Qyara.

“Gue gak suka apa-apa.” Arya membawa buku yang sudah dicarinya dan duduk di meja terdekat.

Qyara duduk di sebelah Arya. “Bohong banget!” Qyara mengeraskan suaranya dan sontak membuat dia dan Arya menjadi pusat perhatian semua orang di perpustakaan.

“Suaranya dikecilin ya, ini perpustakaan,” ucap Bu Risma, penjaga perpustakaan.

Qyara tertunduk malu sambil mengucapkan maaf. Arya yang mendengar itu berusaha keras untuk tidak tertawa dan tetap dengan raut muka datarnya. “Kak,” lirih Qyara. Arya berdeham.

“Jadi sukanya apa?”

“Nggak usah bawain apa-apa. Gue gak suka lo masakin,” ucap Arya dengan ketus sambil kembali fokus pada bukunya.

“Kak, aku tu baik loh mau buatin masakan buat kakak,” kata Qyara sambil mengambil buku yang sedang dibaca Arya.

Arya memicingkan matanya. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan menyilangkan tangannya.

“Gue gak peduli mau lo baik sama gue atau nggak,” kata Arya. Ia menatap Qyara tepat di iris coklatnya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Qyara. Qyara tidak siap dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan Arya. Ia dapat merasakan embusan napas Arya tepat di wajahnya, ia merasakan jantungnya berdebar dan pipinya memerah seperti tomat.

Arya tersenyum miring, ia memajukan wajahnya tepat di samping telinga Qyara. “Yang gue mau, lo pergi jauh – jauh dari hidup gue,” bisik Arya seraya mengambil buku yang tadi diambil Qyara dan pergi meninggalkan Qyara yang masih terpaku.

Qyara diam, dunianya serasa runtuh seketika. Air mata mulai mengenang di pelupuk matanya, ia mendongakkan kepalanya agar ia tidak menangis. Ia memegang dadanya yang terasa seperti ditusuk ribuan jarum. “Ra, lo jangan cengeng. Lo harus kuat, ini baru permulaan.” Qyara menyemangati dirinya, merasa diperhatikan oleh banyak orang. Ia bergegas keluar dari perpustakaan dan memilih menenangkan pikirannya di toilet sekolah yang sepi tanpa orang peduli apa yang ia rasakan saat ini.

Sedari tadi, terdapat dua pasang mata yang memperhatikan Qyara dan Arya di perpustakaan dari kejauhan.

“Romantis bangetttt. Jadi pengen!” gumam perempuan itu ketika melihat Arya berbisik di telinga Qyara. Dia bahkan tidak tahu apa yang Arya katakan, dia merasa apa yang dilakukan Arya akan membuat perempuan tersipu.

“Iyaa romantis bangettt,” gumam seseorang yang lain.

Mereka berdua tersentak. Mereka saling menoleh ke arah sumber suara, dan mata mereka bertemu dibalik buku yang terpajang di rak perpustakaan.

“Nadia” “Kak Dimas,” ucap mereka bersamaan.

“Lo ngapain?” tanya Dimas.

“Ya, baca bukulah. Kakak ngapain?” tanya Nadia.

“Yaaa... baca... buku jugalah. Ngapain lagi di perpus,” ucap Dimas sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Bohong banget! Pasti kepo. Ngaku aja!” ledek Nadia.

“Lo juga kepo!”

“Nggak, gue nggak sengaja liat!”

“Sama aja!”

“Ya beda dong. Kalo kepo itu diliat jelas – jelas biar tau semuanya. Kan gue cuma liat dikit,” jelas nadia.

“Sama aja nadiaaaa” Dimas memutar bola matanya.

“Bedaaa kakkkk”

Dimas menghela napasnya. “Serah deh”

“Eh.” Dimas tersentak, ia ingat kalau ada satu pertanyaan yang mengganjal karena jiwa penasaranya yang terlanjur keluar. “Nad” panggil Dimas.

“Apaan?”

“Sini! Kesitu,” ucap Dimas sambil menunjuk sudut perpustakaan paling belakang.

Nadia mengikuti arah tunjuk Arya. Sekarang mereka tengah duduk di lantai sambil bersandar di dinding pojok perpustakaan.

“Nad gue mau tanya.”

“Tanya apaa? Emang mesti banget nih di pojokan belakang gini?” tanya Nadia. Ia memicingan matanya dan menatap Dimas penuh selidik. “Lo mau apa-apain gue kak?” teriak Nadia.

Sontak Dimas menutup mulut Nadia. “Diem.” Dimas melihat sekitar, beruntung tidak ada yang mendengar.

Dimas melepaskan tangannya dan berkata, “Lo geer banget siapa yang mau ngapa-apain lo”

“Ya terus?” tanya Nadia seraya mengerutkan dahinya.

“Gue mau tanya?”

“Tanya apa? Lama banget nanya aja.”

“Ya lo motong terus”

“Ya udah”

“Ya udahhh”

“Apaan sih? Mau tanya apa?

“Eh, iya gue lupa hehe” kekeh Dimas. Melihat itu, Nadia hanya menggelengkan kepalanya.

“Qyara suka banget ya sama Arya?” tanya Dimas.

 Nadia mengerutkan dahinya, “Ya sukalah. Kan pacaran,” ucapnya.

“Kok pacaran? Kan dijodohin.”

“Kok dijodohin? Pacaran kakkk”

 “Dijodohin Nadiaa”

“Nggak, pokoknya pacaran.”

Napas Dimas memburu. Ia bangkit dari duduknya, sepertinya ia salah menanyakan ini pada Nadia. Nadia ikut bangkit dan menatap Dimas tajam.

“Pokoknya mereka dijodohin, titik! Udah gue capek ngomong sama lo. Dasar nggak nyambung!” Dengan langkah cepat, Dimas pergi meninggalkan Nadia keluar dari perpustakaan.  

Nadia diam di tempatnya berdiri. “Kok gue gak nyambung! Kan dia yang sok tau! Ih!!” gumam Nadia kesal. Ia menghentakkan kakinya dan menyusul Dimas yang punggungnya sudah hampir tidak terlihat.

      Apakah kamu pernah berpikir bahwa yang kamu katakan padaku itu akan menyakitiku, tidak apa – apa. Aku bisa menerima semua perlakuanmu padaku, karena aku sayang kamu.

***

To be continued

Happy reading :)
Jangan lupa vote dan komen ya guys

Arya & QyaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang