"Fio, stok coaster di rak tinggal tiga. Padahal minggu kemarin baru aja nyetok. Ini juga aku cek ternyata stok yang lain tinggal dikit." Jessi, sahabat sekaligus partner bisnis Fiony itu menyampaikan ketersediaan tembikar yang menjadi salah satu produk utama dari usaha keduanya, tangannya sibuk membuka beberapa wadah yang menjadi tempat penyimpanan barang penjualan mereka.
"Ah oiya aku lupa bilang. Jadi, kemarin pas kamu cuti ada turis borong pottery. Katanya buat oleh-oleh." Fiony sedang menulis laporan penjualan minggu ini, sama sekali ia tidak terinterupsi dengan pertanyaan Jessi, tangannya dengan lihai masih mengetik pada laptop.
"I see I see, kalo gitu aku bilang ke yang lain dulu buat siapin bahan, kayaknya kita bakal naik produksi lebih cepet. Takutnya ada pelanggan tapi stoknya kosong." Jessi keluar dari lorong sela-sela rak yang menjadi display tembikar.
Fiony menolehkan kepala, membesarkan suaranya untuk mengucapkan terima kasih kepada Jessi.
Gadis yang tadinya sibuk dengan laptop, perlahan ia tutup pekerjaannya itu. Merenggangkan tangan dan kakinya yang terasa sedikit pegal. Tangan kanan Fiony meraih cangkir berisi teh hijau yang hampir dingin. Menyeruput dengan tenang sembari membenarkan posisi punggung pada sandaran kursi. Kedua mata Fiony tak lepas dari pemandangan pada halaman toko mereka yang ditumbuhi rumput hijau dan beberapa bunga.
Jessi tiba, kemudian duduk di kursi rotan sebelah Fiony, punggung jarinya ditempelkan pada sisi luar gelas yang berisi teh hijau juga.
"Udah mau dingin," sela Fiony mengomentari pergerakan Jessi. Fiony meletakan kembali gelasnya pada coaster berwarna abu-abu di atas meja.
"Iya, lupa tadi kalau bikin teh." Jessi langsung menghabiskan isi dari cangkir tersebut. Kerongkongannya terasa kering setelah berjalan menuju ruang produksi dan kembali lagi menuju kemari.
Keduannya duduk dengan tenang, bersandar pada kursi sembari mengamati burung gereja yang tiba-tiba mendarat di rerumputan halaman toko.
Fiony menoleh, melihat pergerakan Jessi cukup lamban saat sedang mengambil camilan dan meletakan buku-buku catatan yang tadi gadis itu baca sekilas. Seakan benar, sedang menikmati petang yang sinarnya tidak terhalang awan.
"Kamu galau?" Fiony bertanya pada gadis di sebelah. Kedua alisnya terangkat menunggu Jessi menjawab pertanyaan singkat yang ia ajukan.
Jessi menatap heran Fiony, kaki kanannya ia silangkan di atas kaki kiri.
"Apa kelihatan?"
Fiony tertawa, temannya itu sepertinya memang benar-benar butuh dihibur.
"Kamu kemarin cuti kemana sebenernya? Pulang ke Bali kok jadi ga ada tenaganya gini?" Fiony mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengan Jessi.
"Ya u know lah, Ashel." Jessi melihat manik mata Fiony. Kedua tangannya tertaut di depan, sikunya ditumpukan pada sandaran tangan kursi rotan.
"Hmm, kenapa Ashel?" Mata Fiony membalas tatapan Jessi, terlihat Jessi tiba-tiba menurunkan pandangannya pada kaki-kaki meja.
"Mau nikah." Ucap Jessi lesu, tatapannya ia kembalikan lagi pada gadis berponi yang sedari tadi berbincang dengannya.
Fiony melebarkan kedua mata, tubuhnya membeku mendengar pernyataan Jessi. Benar-benar tidak mengerti harus bereaksi seperti apa, di dalam otaknya yang ia tau Ashel dan Jessi sudah tak bisa terpisahkan. Namun ternyata akhir dari cerita memang benar-benar sebuah misteri.
"It's okay, aku sama Ashel memang seharusnya ga mulai apa-apa." Jessi mengusap pundak Fiony, mengapa jadi terbalik seperti ini? Jessi tertawa dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sage Pottery and Art
Teen Fiction"Kamu ga akan bisa bohongin psikolog, Fi." "Iya deh si paling dukun!"