"Menurut kalian aku kabarin orang tuaku ga?" tanya Fiony sembari menyeret koper miliknya yang berwarna pink muda. Di punggungnya tertempel tas ransel yang berisi barang elektronik dan beberapa oleh-oleh yang tidak memungkinkan lagi masuk ke dalam koper. Ah, walau sebenarnya ini adalah pulang kampung yang tidak terencana, dan tujuan utamanya adalah menemui seseorang yang notabenya tidak memiliki hubungan apapun dengan Fiony. Namun dirinya tetap meletakan keluarganya dalam prioritas untuk ditemui kali ini, setidaknya itu yang ada dalam pikiran gadis berponi tipis tersebut.
"Menurutku ga usah, nanggung udah sampai sini juga. Kalau mau kasih kabar harusnya sejak kemarin. Sekalian aja kasih kejutan ke mereka pura-pura jadi tamu terus ketok pintu rumah," tandas Freya tak terlalu mengambil pusing, dirinya masih mengagumi bandara yang ia pijaki sekarang. Merasa berbeda sejak terakhir dirinya meninggalkan Jogja.
"Bener sih." Fiony mengangguk, menyetuju apa yang Freya katakan. Memang salahnya juga karena tidak memberikan kabar orang di rumahnya juga dirinya akan kembali sejenak ke Jogja.
"Kita pisah ya berarti," Jessi mengucapkannya dengan lesu. "Lah kenapa loyo gitu mbak!" Fiony terkekeh, lucu sekali Jessi menurutnya.
Freya kemudian mengusap lengan Jessi dengan lembut. "Aku agak laper deh, kita makan malam dulu gimana?" Freya bertanya sembari menatap dua orang di hadapannya.
Freya merasa tidak ingin berpisah terlalu cepat, walau sebenarnya ia sudah tidak sabar untuk bertemu keluarganya di rumah. Namun respon Jessi yang seperti masih ingin menghabiskan waktu bersama tidak bisa ia tolak.
"Mau!"
"Boleh."
Ketiganya kemudian memesan mobil online untuk menuju salah satu rumah makan di tengah kota Jogja. Freya yang sangat mencintai kota kelahirannya ini tidak berhenti memandangi jalanan, banyak perubahan yang menurutnya sangat signifikan. Freya tersenyum tipis, kala mobil online yang mereka tunggangi melewati gedung tiga lantai yang dahulu menjadi tempatnya Les bersama dengan Zee. Jika boleh mengulang dirinya ingin sekali kembali pada masa itu, karena rasa pusingnya hanya untuk membagi waktu antara sekolah dan melakukan latihan soal rutin.
"Kan aku udah bilang, kita ke Jogja makin macet. Tuh lampu merah ijonya masih jauh, tapi kitanya ga jalan jalan," cetus Jessi tanpa pikir panjang. Freya yang sebelumnya melamun kini fokus pada jalanan yang memang cukup padat. Ucapan Jessi membuat dirinya terpancing untuk membalasnya.
"Yeee, kalau mau cepet kamu turun aja terus jalan, Jess. Nanti kalau kita udah deket bangjo (read: lampu abang ijo; merah hijau) kamu naik lagi ke mobil." Freya menjawabnya asal, dirinya sedikit kesal karena sedari tadi Jessi tidak bisa membungkam mulutnya sendiri bahkan saat tidak ada seorangpun yang menanggapi. Sepertinya pacarnya itu merasa sangat bahagia sehingga tidak bisa diam.
"Astaga, tega ya kamu," Jessi menjawabnya dengan memelas, dirinya memegang dadanya sendiri seakan sakit karena tertusuk ucapan Freya yang menyuruhnya jalan kaki.
Fiony hanya menggelengkan kepalanya malas, dirinya kembali fokus pada ruko-ruko yang seakan berjalan kala kendaraan mulai melaju perlahan. Dua kali lampu merah sampai mobil yang dikendarai akhirnya mampu keluar dari persimpangan padat tersebut.
Fokus Fiony teralihkan saat melihat satu tempat yang membuatnya terserempet akan ingatan-ingatan di masa lalu, kejadian tidak masuk akal yang ia alami bersama Jessi salah satunya berada di situ.
"Jess, lihat itu!" ucap Fiony menggebu, sepertinya energi yang Jessi luapkan membuat Fiony ikut merasa bersemangat. Dirinya menunjuk toko kain yang biasa ia kunjungi saat masih tinggal di Jogja, tokonya masih sama seperti dahulu. Hanya area parkir yang semakin rapi dan beberapa tumbuhan sepertinya ditambahkan agar terasa lebih rindang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sage Pottery and Art
Teen Fiction"Kamu ga akan bisa bohongin psikolog, Fi." "Iya deh si paling dukun!"