—ZEE
Setelah Freya selesai memberikan wejangan dan kemudian berbaikan, kami memilih untuk makan di luar karena ayah dan ibuku belum juga pulang sehingga aku tidak memiliki makanan apapun di rumah.
Malam itu juga Freya membeberkan bahwa mereka bertiga yaitu Jessi, Fiony, dan Freya sendiri, berencana untuk mengunjungi Wonosobo esok harinya. Dirinya menawariku kesempatan untuk bertemu dengan Fiony dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada.
Dan di sinilah aku sekarang, parkiran villa dimana mereka bertiga menginap. Dengan diriku yang sendirian setelah mengendarai mobil selama hampir empat jam. Bisa dibilang ini salah satu usahaku untuk menunjukan pada Fiony bahwa aku sudah yakin dengan apa yang aku pilih.
Empat jam bukan waktu yang sebentar, bisa saja aku di tengah jalan berubah pikiran kemudian putar balik kembali menuju Jogja. Namun itu tidak terjadi, setiap detiknya selama perjalanan jantungku selalu bergemuruh. Perasaanku tidak bisa berbohong bahwa aku sudah lama menantikan momen ini.
Momen dimana aku berani untuk memberi makan ego dan keinginanku sendiri.
Aku berharap semoga diriku di waktu-waktu berikutnya tidak mengutuk dan menyesali pilihanku yang sekarang. Ah, tapi sebaiknya aku tidak memikirkan hal itu. Terakhir kali aku berpikiran apa aku akan menyesal atau tidak, aku malah menyakiti banyak orang.
Aku meremas pelan setir mobil di hadapanku. Menyalurkan perasaan gugup yang semakin mendominasi.
"Arghhh, Fio Fio. Semoga kalimatku nanti ga ngalor ngidul." Kubenturkan dahiku ke benda lingkaran yang untungnya tidak keras itu. Aku merasa ada perasaan dalam diriku yang perlu segera aku keluarkan namun aku tidak bisa terburu-buru.
Matahari terlihat semakin tenggelam dari sini. Langit semakin menggelap dan lampu-lampu mulai bercahaya.
Aku sejenak takjub karena pemandangan yang ada terasa menyihirku. Posisi parkiran berada tepat di pinggir jalan, sementara beberapa bangunan villa terletak di lereng perbukitan sehingga tidak terlihat dari jalan, dan dari parkiran kita perlu menuruni tangga untuk mencapai villa di sana.
Aku keluar dari mobil, merenggangkan tubuhku yang sedikit kaku. Aku telah menghubungi Freya dan menanyakan berada di mana letak ketiganya menginap karena aku sudah sampai. Namun kata Freya, lebih baik aku mengunggu sebentar. Karena mereka bertiga sedang makan malam.
Oke, aku mengerti. Aku tidak akan merusak momen mereka saat makan. Oleh sebabnya aku mengayunkan kakiku untuk melihat ke jalanan sekitar villa ini, mencari penjual makan karena seperti yang diketahui, aku adalah tamu tak diundang. Jadi aku tidak mungkin tiba-tiba masuk dan meminta jatah makan malam kepada ketiga temanku itu.
Eh? Kedua temanku, karena yang satunya adalah calon pac— ah aku tidak ingin banyak berharap. Siapa tahu Fiony tidak mau memaafkanku nanti. Lebih baik aku memikirkan isi perutku yang kosong ini lebih dulu.
Aku sudah berjalan beberapa puluh meter dan tak banyak bangunan, hanya beberapa rumah warga, dan deretan pepohonan yang sangat rindang yang mungkin sebentar lagi akan memberikan efek mengerikan karena lampu jalanan yang tidak terlalu terang.
Tak ku pedulikan gelapnya jalan ini, aku hanya perlu menyusuri tanah—yang untungnya kering— tepat di samping aspal. Tidak ada trotoar karena ini daerah pegunungan, dan aku memahami hal itu.
Tidak masalah, karena aku mulai mencium wangi asap yang manis dan melihat laki-laki seusiaku sedang mengipas deretan sate ayam di atas arang yang membara itu.
"Mas, mau satenya satu porsi ya. Makan di sini aja." Laki-laki itu mengangguk dan mengangkat jempolnya. Aku kemudian duduk di kursi plastik sembari menopangkan kedua siku milikku ke meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sage Pottery and Art
Teen Fiction"Kamu ga akan bisa bohongin psikolog, Fi." "Iya deh si paling dukun!"