Zee POV
Lima menit sudah berlalu semenjak aku memutuskan untuk membawa tubuhku ini menuju kumpulan air asin, rasanya berbeda saat air yang menyelimuti seluruh kulit. Tidak seperti biasanya saat angin-angin yang berkuasa untuk menyejukan tubuh dan menghindarkan dari kehangatan.
"Dua dua, dua tiga, dua empat, dua–Haahh haahh." Aku tidak bisa lagi menahan napas lebih lama dari terakhir aku menghitung yaitu tiga puluh dua. Kuusap air yang tertinggal pada wajah, terasa asin saat air itu masuk ke dalam sela-sela bibir. Bibir ini, bibir yang beberapa puluh menit lalu sempat dicuri untuk pertama kalinya.
Aku sempat berpikir, sebenarnya apa yang kulakukan sekarang, kenapa pada akhirnya aku yang mengakhiri semuanya, kenapa akal sehatku menghancurkan perasaan yang hampir jadi, kenapa akhirnya aku kalah pada keraguanku, kenapa–
Masa bodoh, aku tarik kembali kepalaku sepenuhnya agar terendam dalam air. Kembali menghitung dari nol, membuang seluruh pikiran yang mengganggu, pikiran tentang keputusanku, pikiran tentang keraguanku, dan pikiran tentang Fiony.
Sekuat tenaga aku menahan agar tidak naik ke permukaan, menahan napas yang ingin sekali aku raih sebanyak-banyaknya. Berat, kepalaku berat, paru-paruku sesak, leherku tercekat. Aku berpikiran untuk bertahan sedikit lebih lama lagi setidaknya sepuluh detik. Namun belum sampai hitungan ke empat, tubuhku naik begitu saja. Segera kuhirup oksigen sebanyak mungkin, namun tanpa aku sadari kepala dan pundakku terasa kemricik. Air-air mulai menetes dan kembali membasahi pakaianku yang memang sudah basah.
Gerimis.
Tanpa menunggu apapun lagi, kakiku segera melangkah menuju tepi pantai, angin semakin berhembus kencang karena sepertinya hujan akan tiba. Sudah pasti tubuhku semakin menggigil.
Gerimis semakin deras. Menciptakan hujan yang bercampur sedikit angin. Sepertinya langit tau jika aku tidak membawa pakaian kering, jadi setidaknya aku tidak akan terlihat seperti orang bodoh yang mengendarai motor dengan baju basah. Hujan ini akan menyamarkan, pikirku sedikit tenang.
Aku berlari kecil mengejar sandalku yang hampir terseret oleh ombak. Bukan ombak besar, namun angin sekali lagi menyebabkan air-air menyapu lebih lebar dan lebih jauh hingga menyeret beberapa benda di atas pasir. Sekali lagi kupandangi hamparan air yang seperti tak berujung itu, gelap, dingin, dan siap menelan siapapun kapan saja.
Gemuruh terdengar ketika aku membalikan tubuh dan bersiap berjalan menuju motor, karena tak ingin terlalu lama ada di tanah yang lapang sementara petir dan suara-suara yang menyertainya mulai bermunculan, aku memutuskan untuk berlari agar lebih cepat sampai ke motor. Hanya motorku yang ada, tak ingin memikirkan terlalu lama karena sebenarnya siapa juga yang mau mengunjungi pantai pada malam yang seperti menjanjikan hujan ini.
Aku pulang mengendarai motor dengan kecepatan sedang, dan kalau boleh jujur aku sebenarnya sangat jarang mengendarai motor secara brutal dan penuh ambisi. Tidak peduli emosi dan perasaan seperti apa yang sedang aku rasakan, namun sejak dahulu aku memang takut untuk berkendara motor dengan kecepatan tinggi, apalagi jika hujan sedang turun. Jalanan kadang licin, lubang di jalan yang tidak terlihat karena genangan air juga sebenarnya sangat mengganggu. Aku hanya tidak ingin sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi, itu mengapa aku membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan saat mengendarai motor.
Tanganku bergetar ketika aku menghentikan motor pada persimpangan, kuusap kedua lenganku agar hangat kembali hinggap. Namun apa daya, pakaianku basah, telapak tanganku sangat dingin, air masih berjatuhan, dan angin semakin kuat berhembus. Aku seperti ditertawakan oleh awan-awan mendung yang tidak ingin aku menyentuh hangat satu jengkalpun. Lampu hijau kemudian menyala, aku segera melajukan motorku dan kembali memeluk dingin yang membungkus setiap bagian dari tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sage Pottery and Art
Teen Fiction"Kamu ga akan bisa bohongin psikolog, Fi." "Iya deh si paling dukun!"