17-Relationshit

94 14 4
                                    

"Terima kasih bu Sarah, nak Singto, kami kabari lagi nanti kalau sudah dapet tanggal yang pas dari peramal," tutup kakek Apple sebelum pergi.

Arthit kemudian menyela "Eum, maaf,  saya boleh ajak Apple keluar sebentar?" Para orang tua tersenyum mendengar perizinan Arthit.

"Hahaha, yaudah sana, tapi nanti tolong jam sepuluh Apple sudah harus kembali ke kamar, ya!" Nasehat papa Apple, kemudian kedua remaja itu mengangguk satu sama lain dan amit pergi berdua.

Keduanya melangkah keluar dari dalam hotel, di depan hotel adalah pantai yang di batasi dengan pagar, namun indahnya pemandangan masih Arthit dan Apple lihat "masih laper, nggak? Makan jagung, yuk?" Dalam diam, Apple hanya mengikuti langkah Arthit, teman satu kelas itu belum berbicara panjang lebar karena mereka cukup lelah dengan makan malam dan perjodohan yang di luar ekspetasi.

Dalam benak Apple, gadis itu tak menyangka jika sang kakek mengingkari janjinya untuk tidak mengikuti trend peejodohan bisnis seperti kedua orang tuanya. Namun kini malah ia sedang berjalan dengan calon tunangannya dari hasil perjodohan. Bagitupun Arthit, pikirannya terus melayang pada Kongpob, bagaimana caranya ia memberitahunya nanti? Apakah hubungannya dengan Kongpob akan terus baik-baik saja? Dan...apakah ia menyukai Kongpob.

Setelah menerima jagung bakar pesanan masing-masing, Apple menatap sedih teman satu geng-nya di kampus itu. Setahunya, Arthit sedang mengambil cuti untuk menyelesaikan masalah keluarganya.

"Kongpob nanyain lo," tutur Apple pertama kali pada Arthit, sementara pemuda di sebelahnya mengangguk "Gue tau" balasnya cuek lalu menggerogoti jagungnya dengan brutal.

Gadis itu menghela napas "gue...gak mau di jodohin, Arthit tolong gue!"

"Kenapa?"

Apple menghela napas, ia mulai menceritakan hubungan terlarangnya dengan Pat, mahasiswi fakultas seni. Keluarganya melarang keras hubungan semacam itu, dan Apple rasa, neneknya mengetahui hubungan tersebut.

"Anjing! Demi apa lo?!" Sentak Arthit menimbulkan sedikit kegaduhan, pemuda itu langsung meminta maaf, kemudian kembali pada Apple "jadi lo ngelesbi ama model kampus?!" Tanya Arthit tak percaya.

Sementara Apple mengangguk dan menatap Arthit meledek "lo juga ngegay ama camaba, kan? Dari awal lo masuk, makanya July lo abaikan mulu" tebaknya, Arthit gelagapan. Tapi kalau di telisik, untuk apa Arthit gelagapan? Kan ia tidak sedang berkencan dengan siapa-siapa.

Jagung yang hampir dingin itu kembali di gerogoti, Apple mengunyahnya sebentar lalu menelannya "friendzone kok panik?" Gadis itu menyeringai. Arthit menggeleng panik "Gak! Gue sama Kong cuma adek kakak, gak ada rasa apapun!" elak Arthit tegas.

"Yaudah, kalo cuma kakak adek, coba buka blokiran tuh maba, kasian uring-uringan di kampus!"

Keduanya terdiam, Apple melirik ponselnya yang memperlihatkan waktu Bali menunjuka pukul sembilan lewat lima belas malam, masih ada lebih dari tiga puluh menit untuk batas waktu perjanjian keluar Apple. Gadis itu terdiam, menikmati tamparan angin yang lembut menerpa wajah putihnya, ia mengabaikan rambut panjangnya yang beterbangan tertiup angin karena tak diikat. Dalam diam Apple menghabiskan sisa jagungnya.

Sementara itu Arthit sendiri juga telah menghabiskan jagungnya. Kini ia ikut diam karena kalimat terakhir Apple, apakah Kongpob bertanya pada Apple? Arthit ingat saat ia pergi sembahyang bersama Kongpob berdua, ia bertemu Apple juga di sana. Jadi Arthit berasumsi Kongpob telah menemui Apple. Atau bisa jadi pada Love dan Namtan.

Arthit menghela napas, ia mengeluarkan ponselnya, menatap layar dinding di sana, gambar saat pertama kali mereka berfoto bersama saat mereka pergi ke Malioboro untuk pertama kali, dan setelah itu Malioboro adalah tempat wajib yang harus mereka berdua kunjungi satu bulan sekali hanya untuk sekedar menjernihkan pikiran. Tak tahu mengapa dirinya memasang gambar itu di ponselnya, bukan di layar kunci, agar siapapun tak tahu "Ple, gue keliatan banget suka sama Kong?" Pertanyaan itu tiba-tiba terucap dari bilah Arthit, dan gadis di sebelahnya hanya tersenyum "Gue gak bisa jawab, Thit," tuturnya.

Gadis berdarah campuran China-Indonesia itu merubah posisi duduknya menghadap Arthit, dan meraih bahu teman satu geng-nya itu "Arthit, dengerin gue!" Titah Apple, ia menatap Arthit lurus, kemudian menarik napas dalam lalu membuangnya kasar "pertanyaan lo suka Kongpob atau engga, yang bisa jawab ya elo sendiri, karena lo yang ngerasain! Bukan gue, bukan om Singto, apalagi Kongpob!"

"Caranya gimana biar gue bisa tau?" Tanya Arthit frustasi, hatinya benar-benar gundah gulana, ternyata permasalahan hati memang rumit, ia tidak mengingat mantan kekasihnya yang dulu menjebaknya dalam hubungan beracun dan membuatnya sempat masuk rumah sakit setelah menghadapi ujian nasional sewaktu kelas dua belas dulu.

Apple melirik ponsel Arthit yang masih menyala, menampilkan gambar Arthit dan Kongpob yang tersenyum cerah "Buka blokiran Kong, lo ngomong sama dia! Kalo hati lo udah tenang, lo balik ke Jogja dan temuin anak itu! Paham?" Arthit mengangguk "Udah, sekarang kita balik ke hotel" ajak Apple, namun Arthit menahannya "Tunangan kita gimana?"

Oh iya, kan harusnya kita obrolin ini, kenapa jadi lupa?- Batin Apple yang melupakan tujuan awalnya.

Gadis itu mereposisi duduknya "Oke, jadi gimana? Apa kita iyain aja, dan kita jadiin hubungan kita buat nutupin hubungan gue sama kak Pat?" Apple jadi gegabah sendiri, ia seketika panik saat membahas maksud perjodohan orang tua mereka.

"Gila lo!" Umpat Arthit kesal, ia menahan emosinya sejenak lalu bicara "gue bakal ngomong ini ke ayah, kalo lo besok balik ke Jogja, lo ngomong sama kak Pat baik-baik, ceritain masalah gue sama Kong juga, biar dia ngerti"

Apple mengangguk paham, Arthit menengok ponselnya yang telah menunjukan waktu hampir jam sepuluh malam waktu Bali "ayo kita balik, gue anter ke kamar"

***

Setelah mengantar Apple yang ternyata hanya berbeda lantai saja dengan kamar Arthit, pemuda itu tidak langsung masuk ke kamar, melainkan pergi ke Kafe Twin's yang belum tutup, ia memesan satu gelas cokelat panas kesukaannya, minuman ini juga hasil dari racikannya dulu sebelum pergi ke Jogja. Hanya Arthit yang minum cokelat panas di temani Risoles Mayo, aneh, tetapi itulah Arthit. Ia merindukan sang kakak, tak ingin bicara, Arthit justru malah memesan makanan kecil resep sang kakak "Rasanya enakan punya kakak, tapi ya...beda tangan, beda rasa, sih," gumamnya.

Arthit hanya butuh ruang sendiri, ia menyesal telah meminta satu kamar dengan sang ayah, ia tak tahu jika keadaannya seperti ini, kalau tahu sedari awal maka ia akan meminta kamar terpisah.

"Ayah udah pesen kamar lagi, tapi di lantai atas, deretan kamar kita udah gak ada kamar lagi," ujar Singto yang tiba-tiba duduk di hadapan putranya. Ekspresi pria tiga anak tersebut tak bisa Arthit tebak, terlalu datar. Bahkan matanya saja tidak bisa memberikan informasi apapun untuk Arthit.

Keduanya terdiam untuk waktu yang lama, sebelum Singto berdeham "Ayah minta maaf, udah ingkar janji sama bunda dan kamu"

Sedangkan Arthit bungkam, tetap mengunyah gorengan tersebut, tak berniat menjawab ucapan sang ayah, Singto tersenyum maklum "mau dengar cerita?"




















Bersambung

Ini tuh mau masuk konflik, makanya agak seru dan Vee semangat update😭

Kak Oon, I Love You! (KongArt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang