20-Gossip

106 16 16
                                    

"Berita terhangat minggu ini! Pernikahan antara putra pemilik Ruangroj group dan cucu dari konglomerat nomor dua di Indonesia! Wah...ini pasti bukan pernikahan yang biasa ya..."

Kongpob sudah muak, ia langsung menyumpal kedua telinganya dengan earphone biru-nya dan musik keroncong kesukaannya. Musik itu sudah tak asing lagi di pendengarannya, bahkan ia sering diejek teman-temannya karena selera musiknya yang terbilang 'kuno' tersebut.

Di sebelah Kongpob yang sedang mengerjakan tugasnya, ada sang ibu yang aktif mengikuti berita entertainment di layar kaca kesayangannya tersebut. Berita terhangat saat ini adalah pernikahan Apple dan Arthit, kakak'nya' yang ia cintai.

"Bu, ya mbok ganti nontonnya jangan gosip terus." Protes Kongpob jengah "Itu tv udah seminggu isinya berita orang nikah terus..."

Ibu Kongpob menghela napas "Kalo ndak suka yo pindah tempat aja sana ngerjain tugasnya, ibu ndak mau ketinggalan gosip, besok di pasar orang-orang pada ngomongin Arthit, eh ibu malah ndak tau." Cerca ibunya, buru-buru Kongpob membereskan kertas-kertasnya yang berserakan, hatinya sudah tak tahan lagi melihat Arthit dan Apple yang tersenyum satu sama lain di depan media.

"Oh iya Kong, Arthit gak ngasih undangan ke kita?" Tanya ibu Kongpob penasaran. Sementara putranya menghela napas jengah "Ibu ngarep, kita ndak ada hubungan apa-apa kok malah minta di undang," Tajam sekali, Kongpob tak pernah berbicara seperti itu kepada siapapun bahkan saat sedang emosi sekalipun.

Mahasiswa tahun pertama jurusan sastra bahasa Indonesia itu berhenti di ambang pintu "Terakhir ibu ketemu kak Arthit aja ibu ndak mau nyapa, liat aja kayak'e jijik, kan? Jangan ngarep dapet undangan, bu," ujar Kongpob memperingati sang ibu tentang momen terakhir kali ia bertemu Arthit.

Ibu Kongpob hanya mengelus dadanya, sudah sejak berita pernikahan Arthit tersiar di berbagai pemberitaan gosip, sikap Kongpob makin tidak bisa dikenali. Kongpob berubah menjadi orang asing bagi orang tuanya. Juga teman-temannya.

Sejak itu juga, Kongpob sudah tidak pergi mengajar di sanggar lagi. Tubuh dan hatinya sedang tidak baik-baik saja. Orang tua Kongpob sudah memprediksi hal ini, makadari itu mereka tidak menanyakan perubahan sikap anak sematawayang mereka. Justru mereka senang karena Arthit menikah dengan orang lain, itu tandanya Kongpob mereka tidak akan menjadi aib keluarga karena berhubungan dengan Arthit.

Media sosial, halaman depan koran langganan ayahnya, sampai tayangan gosip yang ibunya tonton semuanya berisi gambar wajah Arthit, Apple, Singto dan Krist, bahkan wajah bahagia Arthit dan Apple yang sengaja mempir di wawancarai. Tak hanya itu, pernikahan itu juga menjadi gosip hangat para tetangga Kongpob yang suka bercengkrama di teras rumah mereka sambil metani (mencari kutu rambut) saat sore hari. Benar-benar berita yang panas.

Berita tentang Arthit sejujurnya membuat pemuda itu sedikit kesal, tidak sedikit, sangat kesal maksudnya. Bagaimana tidak? Seingatnya, terakhir kali mereka bertemu, Arthit nampak tidak mempunyai masalah dengannya. Tetapi entah mengapa setelah Arthit pulang ke Jakarta kontaknya langsung di blokir. Dan orang tuanya juga tak pernah menanyakan Arthit lagi seakan sudah mengetahui permasalahannya, Kongpob merasa dialah orang paling bodoh di antara masalah ini.

Fokusnya hilang sudah, tugasnya tak bisa ia kerjakan lagi. Kongpob butuh menjernihkan pikiran. Tanpa berpikir lama, pemuda itu langsung menyambar jaket, dompet, ponsel, dan kunci motornya. Ia berpamitan sejenak pada sang ibu.

"Nak, udah jam sembilan! Ndak usah ngelayap aja!" Peringat sang ibu, namun apa peduli Kongpob? Ibu dan ayahnya saja tak mempedulikan perasaannya. Mempertanyakan perubahan sikapnya saja tidak.

Pemuda itu menerobos jalanan Jogja yang lumayan ramai di malam sabtu ini, tujuannya adalah tempat sepi, dimanapun asalkan sepi. Ia butuh menenangkan diri. Memikirkan Arthit rasanya melelahkan, apalagi sang ibu yang terus menerus menonton berita tentang Arthit. Kepala Kongpob rasanya penuh sesak, berisik dengan segala bisikan-bisikan yang menghantui pikirannya. Sehingga ia tak fokus pada jalanan yang lumayan gelap.

Tiiinn!

Tiiinn!

Brak!

BREAKING NEWS

"Kecelakaan tunggal di dekat pasar Malioboro pada pukul sembilan tiga puluh malam waktu indonesia barat, di duga seorang mahasiswa yang tidak fokus mengendarai motornya. Beruntung tak ada korban meninggal dalam kejadian ini. Hanya sang pengendara yang sempat terpental sejauh lima meter dari motornya..."

Ayah Kongpob menyemburkan kopi yang baru saja ia minum "Bu! Bu! Liat sini!" Seru ayah Kongpob panik. Ibu Kongpob yang tengah cemas menunggu kepulangan putranya itu segera masuk ke dalam rumah, dan terkejut melihat kartu identitas korban kecelakaan tunggal yang di tayangkan di layar kaca.

"KONGPOB!"

***

"KONG!"

Natcha tersentak dalam tidur cantiknya di sebelah Arthit, ia terkejut karena sang adik yang berteriak dalam tidurnya "Kak! Telpon Kongpob! Cepetan!" Pinta Arthit panik, napasnya tersengal-sengal. Sementara itu Natcha meraih ponselnya, segera menghubungi Kongpob tanpa diminta dua kali. Namun nihil, ponselnya tidak aktif "Oon, tenang dulu, ya? Kong kenapa?" Tanya Natcha lembut, ia menyodorkan segelas air putih pada sang adik.

Arthit menangis "Kak... Kongpob... Telpon Kong, cepetan..." Lirihnya, begitu menyeramkan di bayangan Arthit, ia bermimpi jika Kongpob mengalami kecelakaan dan wajahnya tidak bisa di kenali lagi. Kongpobnya tiada dan wajahnya tak bisa di kenali.

"Kak, telpon Kongpob! Cepetan, kak!" Pinta Arthit meronta, membuat kakaknya binggung, Krist dan Singto yang tepat berada di sebelah kamar Natcha itu ikut panik mendengar rintihan putranya "Oon, tenang, ya?" Gumam Krist yang langsung memeluk Arthit. Satu keluarga panik mendengar pekikan sang putra tengah yang histeris.

***

Bunyi alat penunjang kehidupan terdengar jelas di rungu kedua orang tua Kongpob. Putra kesayangan mereka dinyatakan koma, mengalami patah tulang di bagian kaki, dan ada kemungkinan mengalami amnesia berat. Ibu Kongpob menangis dalam diam, sebelumnya wanita berusia pertengahan empat puluh tersebut sudah menangis histeris sampai pingsan begitu melihat putranya yang berlumuran darah dari bagian belakang kepalanya. Tiga jam sudah ibu Kongpob menangisi putranya.

"Nak, maafin ibuk, iki kabeh gara-gara ibuk, nang...hiks (ini semua gara-gara ibu, nak)" rintih ibu Kongpob "ayo tangi, cah baguse ibuk (ayo bagun, anak gantengnya ibu)"

Ayah Kongpob sudah tak kuat melihat putranya, sebagai orang yang menyebabkan putranya menjadi pendiam sampai mencelakakan dirinya sendiri, ayah Kongpob sudah tidak mempunyai wajah lagi untuk menemui putranya sendiri. Pria berusia setengah abad itu menunggu istrinya di luar ruangan, dari balik kaca ia dapat melihat putranya sendiri yang bernapas di bantu oleh selang oksigen.

"Nak, maafin bapak..."





















Bersambung...

Menurut kalian, apa yang terbaik buat Kongpob?

1. Lupa ingatan, tapi ada yang dia inget, cuma Arthit

2. Mati

Duh, jahad banget sih n'Vee😔

Kak Oon, I Love You! (KongArt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang