Chan yang baru saja keluar dari rumah besar keluarganya sambil membanting pintu gerbang besi itu menimbulkan suara cukup keras yang membuat Minho yang sedang berjalan di depan rumahnya—dari minimarket tidak jauh dari sana—tersentak kaget dan hampir terjungkal. Pemilik marga Lee yang adalah tetangganya itu sempat mengumpat kasar sebelum menoleh dan menatapnya tajam.
“Lo bisa pelan-pelan gak, sih?”
Chan mendengus malas begitu mendengar pertanyaan penuh kekesalan itu diajukan si manis dengan emosi yang meluap-luap. Diam beberapa saat, si tampan itu lalu melangkah ke arah motornya yang terparkir satu meter dari posisi Minho berada.
“Urusan lo?”
“Bukan,” Chan mengajukan pertanyaan dan tak butuh waktu lama hingga Minho menjawabnya dengan emosi yang masih sama, “Tapi lo barusan bikin orang kaget! Untung gue yang lewat di sini, kalau ada orang sakit jantung yang lewat? Lo mau tanggung jawab kalau dia kenapa-napa?”
Chan mendengus lagi. Ia lalu meraih helmnya yang ada di atas motor sebelum melempar tatapan super datarnya pada si manis, “Gak.”
“Bajingan lo, Bang Chan!”
“Terus, gue kelihatan peduli gitu?”
“Anjing lo, manusia bukan sih?”
“Bedanya sama lo apa?” Chan bertanya acuh lalu naik ke atas motornya dan memakai helmnya, “Kelakuan lo gak jauh beda sama gue, jadi gak usah sok ngajarin gue.”
“Gue kayak gitu cuma sama lo ya, setan!” Minho menyahut cepat sambil menatap Chan masih dengan emosi yang sama, “Gue sama...”
“Bacot!”
Chan tidak peduli dengan apa yang Minho katakan. Lalu, setelah mengucapkan satu kata untuk menanggapi acuh semua ucapan itu, ia langsung menarik gas motor besarnya dan pergi begitu saja, meninggalkan Minho dengan emosi luar biasa.
“BAJINGAN! MATI AJA LO, SETAN!!”
•oblitus•
“Kenapa tuh muka?”
Minho tidak menjawab pertanyaan yang baru saja disampaikan Hyunjin ketika ia masuk ke ruang makan dan ada sepupunya itu di sana. Ia hanya mendengus acuh sebelum berlalu ke dapur dan kembali lagi dengan sebotol air mineral dingin. Mengambil tempat di depan Hyunjin, pemilik marga Lee itu membuka botol airnya dengan kasar dan meminumnya begitu saja.
Sementara Hyunjin yang melihat tingkah si kakak sepupu hanya diam dan tersenyum kecil. Sudah hafal betul apa yang membuat si kakak jadi seperti itu. Karena ini sudah sering terjadi. Sudah terlalu biasa malah.
“Bang Ch...”
“Gak usah sebut-sebut nama tuh setan biadab!”
Hyunjin belum menyelesaikan ucapannya, tapi Minho sudah memotongnya dengan sebuah kalimat perintah yang membuat ia mengulum bibir sebelum mengangguk kecil. Ah, seharusnya ia ingat satu hal itu. Jangan pernah membahas apapun yang berhubungan dengan pewaris utama pemilik rumah besar di samping rumah mereka. Karena kakaknya sudah seperti iblis yang siap memusnakan apa saja tentang lelaki Bang itu.
“Oke,” Hyunjin menjawab pelan setelah itu, “Tapi, dia ngapain lagi sampe lo pulang-pulang jadi kusut begini? Gue tebak, lo barusan ketemu sama dia, kan?”
“Gak tahu!”
Ah, sudah bisa dipastikan jika jawaban untuk pertanyaan terakhir yang ia ajukan tadi adalah ‘iya’. Dan Hyunjin tidak perlu repot untuk mencari tahu apa yang sudah terjadi. Karena nyatanya, tanpa perlu ia cari tahupun, sudah dapat ditebak jika ada hal tidak menyenangkan—dari sudut pandang Minho tentu saja—yang terjadi.
Dan solusi dari semua ini adalah tidak membahasnya lebih lanjut dan membawa sang kakak pada obrolan lain yang lebih baik.
“Btw, nanti malam lo ikut?”
Minho yang sudah meletakan botol airnya ke atas meja jadi menoleh dan menatap sang adik dengan tatapan bertanya. Sedikit banyak, ia tidak paham apa yang adiknya itu maksudkan.
“Ke mana?”
“Acaranya kak Jihyo.”
“Gak,” jawab Minho cepat, “Yang datang pasti kaum setan semua.”
“Tapi, kak Ji kakak lo, kak. Walaupun dia gaulnya sama anak-anak yang lo bilang gak bener, dia tetap anak baik. Dan masa lo gak hadir di hari ulang tahunnya sih?”
“Gue gak peduli ya, Hwang,” sahut Minho acuh, “Walaupun lo bilang kalau dia anak baik, dia bahkan lupa kalau dia punya rumah. Jadi, ngapain gue repot-repot datang ke acara ulang tahunnya? Males. Lagian, gue udah ngucapin selamat ulang tahun buat dia dan ngirim hadiah.”
Hyunjin sebenarnya bisa memahami bagaimana Minho dan pemikirannya tentang kakaknya yang satu itu. Minho hanya tidak suka dengan kelakuan kakaknya yang lebih memilih keluar dari rumah dan tinggal di apartemen—padahal mereka hanya bertiga di rumah. Selain itu, Hyunjin juga tahu jika Minho tidak suka dengan teman-teman Jihyo—yang biasa ia sebut sebagai kaum setan. Tapi, bukan berarti itu harus menghalangi Minho untuk menghadari acara ulang tahun sang kakak bukan? Karena walaupun Jihyo bergaul dengan kaum setan hingga lebih memilih tinggal di apartemen, Jihyo masih ingat jika ia punya seorang adik dan masih memperhatikannya dengan baik.
“Hadiah gak sebanding sama kehadiran, kak,” Hyunjin berucap kemudian, “Gue pikir lo yang paling tahu itu. Karna lo sendiri pernah bilang kalau apa artinya hadiah kalo gak bisa datang. Kalau lo bisa, seengaknya lo datang. Orang akan tahu kalau lo peduli, ketika lo datang. Jadi, tolong kak, datang aja. Mungkin, gak ada yang bisa bikin kak Ji lebih bahagia hari ini dari kedatangan lo.”
•oblitus•
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
o b l i t u s •• banginho/minchan
FanfictionMinho amnesia dan Chan lupa jika mereka tidak seperti itu sebelumnya. ⚠ full of harsh words remake from AMNESIA || Hwangmini by @yoo_aa