Sakura hanya tak mampu mengalihkan pandangannya dari sosok yang duduk mematung tepat di depannya. Sang suami terlihat bingung, tetapi raut wajahnya terlalu datar dan dingin. Sorot matanya yang terbiasa kaku memancarkan kebingungan teramat jelas.
"Apa yang salah?"
Kedua matanya lekas mengerjap, nyaris tumpah karena basah akan air mata. "Apa yang salah?" ulangnya.
Sang dokter menghela napas. Ekspresinya yang kaku bertambah ketika kepalanya meneleng untuk melihat sang istri yang aneh lebih jelas. "Kau, dirimu. Kau sadar itu?"
"Tidak," balasnya antusias.
Ocha dingin mendarat di meja beserta ramen dan tempura hangat yang memenuhi setiap sudut. Sakura memesan semuanya dan suaminya yang heran bertambah bingung. "Kau yakin menghabiskan semua ini?"
"Ada kau di sini," sahutny setelah mendesah berat. Sakura hanya tidak harus histeris atau berlari ke tengah jalan agar dia tersadar segera. "Kau yang menghabiskan semuanya."
Tidak ada lagi suara atau bantahan. Sasuke akan menurutinya dan begitulah pernikahan mereka berjalan. Sakura yang meluap-luap tidak akan terkendali, terkontrol hingga pria itu memutuskan menyingkir untuk memberi mereka waktu mendinginkan kepala.
Lirikan itu tentu saja mengusik, pikir Sakura sedih. Sosok itu terlihat nyata, bukan sekadar mimpi di siang bolong. Suaminya yang berlumuran darah tidak ada, melainkan benar-benar tampil sehat. Tidak ada tanda-tanda akan kehilangan napas dalam dekapannya.
"Kau ini kenapa sebenarnya?" tanya Sasuke dingin setelah menurunkan sumpit dan mendesis. "Aku tidak mengerti."
"Apa yang salah dari ... diriku?" Sakura menunjuk dirinya sendiri dengan senyum canggung. "Aku tidak merasa ada yang aneh."
Iris gelap itu mengelilingi kedai ramen mungil dengan pandangan menilai. "Makan siang? Kau tidak pernah menerima tawaran makan siangku selama ini. Kebetulan?"
Tempura udang itu hampir jatuh dari jepitan sumpit miliknya. Sakura termangu, menatap wajah penuh tanya yang sedang menunggu dalam diam.
"Kebetulan atau ada sesuatu yang harus kau bicarakan?"
"Semisal?" suaranya terdengar pahit kali ini.
"Perceraian."
Sasuke menunduk setelahnya, menyembunyikan ekspresi wajahnya dan memilih fokus dengan ramen hangat di atas meja.
"Kau selalu menjauh ketika kita akan membahasnya," ucap Sakura lamat dan kepala itu menengadah untuk menatapnya. "Aku yang memulai dan kemudian mengakhirinya. Benar?"
Suaranya bergetar, begitu pula dengan tangan dan napasnya yang memberat. Sakura mengambil napas untuk menenangkan gundah yang memenuhi hati dan kepala. "Kita tidak akan membahasnya sekarang. Tidak untuk saat ini." Selamanya.
Suaminya mengangguk, melanjutkan makan tanpa percakapan lebih jauh. Di sisi lain, Sakura hanya berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata sekali lagi di hadapan pria itu. Segalanya membingungkan. Ini adalah satu tahun berkabung pasca kepergian Sasuke dalam hidupnya. Tapi apa yang terjadi? Suaminya masih bernapas, hidup dan duduk di hadapannya.
"Sebelum aku kembali ke rumah sakit, aku akan berkunjung ke makam ibumu lebih dulu."
Sakura menunduk lebih dalam, berusaha untuk tetap tegar selagi kedua matanya berair terlalu besar. Sasuke akan melihatnya dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti akan meluncur bebas. Sakura hanya tidak tahu harus berbuat apa saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Ring
FanfictionBahkan ketika kesempatan itu datang untuk yang terakhir kalinya, apa yang akan kau lakukan untuk memperbaiki kaca yang terlanjur retak?