5

1.4K 45 4
                                    

"Anjrit! Ada yang nge-date lagi!" Jevan menyerobot dan menyenggol gue, sehingga minuman yang gue bawa tumpah sedikit. Gue melotot, sementara cewek itu tampak sangat tidak peduli dengan kejadian barusan. "Masalah?" Gue menyeruput minuman sedikit demi sedikit, sembari menatapnya. "Ah, enggak." Jevan tampak berpikir sebentar. "Yang jadi masalah, lo nggak ngasih pajak ke gue. Ya, gue. Selaku sahabat utama lo," oh, jadi anak ini ngode.

"Kapan-kapan ya, kalo gue inget." Bibir Jevan cemberut, gue mengacak rambutnya gemas. "Lo imut kalo lagi marah, mirip babi." Dia menonjok lengan gue. Ah, gue jadi inget Thia. "Galau dah," gerutu Jevan. Gue terkekeh, rasanya pengen menghancurkan kekuatan telepati Jevan.

"Jevan?" Serentak, gue dan Jevan menoleh. Rupanya Rianzha Ganandy, anak kelas XII-A IPS. Ini yang namanya Ryan itu, gue baru liat sedeket ini. "Iya?" Jevan tersenyum sumringah. Dekat pujaan hati itu rasanya.... alay sekali. "Gue .... ah, malu-maluin banget. Gini, gue mengajukan diri sebagai peserta olimpiade FLS2N bulan ini. Ternyata salah satu syaratnya adalah berpasangan, terserah putra-putri. Tadinya gue mau bareng Gian, tapi dia ada acara hari itu juga. Dan, gue terpaksa bareng lo." Gue memicing tajam kearah Ryan ketika dia mengucapkan kata terpaksa. Itu menyakitkan, Bodoh.

"Boleh, boleh! Kapan latihan?" Tanya Jevan antusias. Sepasang mata coklat miliknya berbinar. "Mulai jam keempat nanti, laboratorium Bahasa." Jevan mengangguk. Dia berbalik ketika Ryan berjalan menjauh, wajahnya merah padam. "Alay, baper." Gue mencibir. "Oke, sip." Gue menoyor kepalanya, dia cemberut. "Nanti sore tanding Wii, yuk." Matanya membulat. "Ayo!"

:::::::::::::::

"Lo curang, Dik!" Sorak Jevan tak mau kalah. Gue tertawa melihat tampang betenya. "Gak ah, gue jujur kok." Gue mengelak, tampangnya makin bete. "Okelah, ganti game? Fiesta pump? Dance-dance revolution?" Jevan mengacak-acak koleksi game gue, mengambil sebuah game yang sangat jarang gue mainkan.

"Pump,"

Sangat jarang.

"Capek, gue mau istirahat." Gue menyudahi permainan. Jevan mengikuti langkah gue menuju dapur, lalu membuka lemari-lemari di kitchen set. "Es krim! Tumben ada es krim! Ya ampun, Dika baik banget sih." Jevan mengambil mangkuk dan es krim. "Abisin aja," Jevan berteriak girang. "DIKA BAIK BANGET!" Soraknya bahagia.

"Apa pendapat lo tentang pacaran?" Pertanyaan gue membuat Jevan berhenti melahap es krim. Cewek itu mengelap mulutnya sebelum bicara. Gue membantunya, mengambilkan tisu dan mengelap sisa es krim yang berantakan di pipi Jevan. "Ehm, makasih." Ujarnya canggung, gue mengiyakan. "Pacaran ya?" Ia mengembalikan pembicaraan ke topik semula.

"Pacaran? Ya, pacaran. Punya hubungan, relationship, punya status, punya pacar." Jawabnya singkat. Gue menghela napas pelan. "Gimana kalo misalnya gue pacaran?" Jevan berhenti lagi, menatap gue, lalu melahap es krimnya lagi. "Terserah lo, itu 'kan mau lo. Nyam... Gue mana bisa ngatur. Kan, itu... duh, dingin... perasaan lo, bukan perasaan gue. Jadi ya, nyam... terserah lo." Gue mencubit pipinya. "Sama Thia, ya?" Gue mengangguk pelan. "Oh, moga langgeng." Lanjutnya.

Ya, semoga langgeng.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang