19

634 29 1
                                    

Selama di perjalanan menuju Plaza Senayan, gue lebih banyak diem. Pasalnya, gue gak nyangka kalo si Rizky kampret itu ternyata temennya Alice. Gue sangat tidak menyangka. "Kak, mau kemana sih? Katanya mau ke Senayan, kok malah muter-muter Monas?" Gue tersadar, melirik GPS yang berada di dasbor mobil. Jalan yang seharusnya gue lalui, tertinggal jauh. "Kok lewat sini, ya?" Alice dan Jevan tercengang. "Jadi dari tadi lo ngapain aja, Dik? Melamun? Mikirin siapa?" Jevan menarik telinga gue tanpa berperikemanusiaan. "Udahlah, tinggal puter balik." Alice tertawa. Gue memutar arah mobil, meninggalkan Monumen Nasional dengan batin yang terguncang. Gue jadi sok melankolis gini.

Begitu sampai di Plaza Senayan, gue menarik mereka ke Bakerzin, sebuah cafè yang menyajikan berbagai roti. "Nanti kita makan es krim!"

"Yoghurt!"

"Pesen pizza!"

"Burger juga, kentang!"

"Fast food!"

"Sus-"

"UDAH, VAN, AL!" Gue menyudahi ucapan mereka yang membuat gue stress. Jevan dan Alice langsung terdiam, tapi tak lama kemudian, mereka terkikik. "Biasa kali, kita gak bakal makan sebanyak itu." Jevan menepuk pundak gue. Alice mengangguk. "Ale?" Gue, Alice dan Jevan sontak menoleh. "Eh, Rizki?" WTF?!

"Lo ngapain disini?" Alice tampak senang dengan kehadiran Rizki. "Jalan-jalan aja gitu, refreshing." Bohong amat sih. "Riz, ini Kak Jevan dan ini sepupu gue, Kak Radith." Alice repot-repot memperkenalkan gue. "Iya, gue udah kenal sama mereka, Ale." Gue mendesis. "Heh, enak amat lo manggil dia Ale. Gue selaku kakak sepupunya aja gak pernah manggil dia Ale. Lo kira Alice itu merk minuman?!" Gue memprotes dengan pedas. Rizki terdiam, Alice ikutan salah tingkah. "Maafin dia, barusan kebentur sama jengkol." Jevan mengambil alibi. "Pergi lo, gue gak mau liat lo depan mata gue. Pergi!" Gue mengusir Rizki. Kening Alice mengernyit, seolah bertanya kenapa-lo-usir-dia dengan isyarat. "Bye, Ale." Begitu Rizki berbalik, gue memegangi kerah bajunya dan memukul tengkuknya. Meskipun tidak terlalu keras, tapi ia bisa tumbang. "Asshole, telinga lo dimana?"

"Dika, ayo pergi."

::::::::::

Sepulang dari Plaza Senayan, wajah Alice pucat pasi. "Lo tau, Rizki bisa marah sama gue." Alice mencicit. Gue mendelik, memutar stir mobil dengan tidak sabaran. "Nama itu bisa berpengaruh bagi lo. Atau lo sepemikiran sama Shakespeare? Yang bagi dia nama itu gak ada apa-apanya? Gue gak mau lo disamain sama merk minuman. Nanti kalo lo nikah, 'Ale-ale dan Siomay' gitu? Biar pas minuman sama makanan 'kan? Itu gak bikin gue tersanjung, Alicia." gue memprotes. Jevan terkikik, "kalo lo yang kaya gitu, lo pantes pake nama Ketek." Gue mendengus. "Terus pasangannya lo, ya, Deodoran." Alice tertawa. "Ciee, Ketek lope Deodoran." Gue menjitak kepalanya. "Kampret lu, Al."

"Kalian bener gak pacaran?" Alice tiba-tiba menceletuk. Gue mengangguk, begitu pula dengan Jevan. "Iya. Serius, Al." Jevan meyakinkan. Mendadak, dada gue terasa sesak. Napas gue memberat, seperti ada yang mengganjal ketika Jevan berusaha meyakinkan Alice. "Kalian cocok loh, serasi gitu. Pasti kalo jadian, langgeng sampe kaya Habibie-Ainun."

Amin.

Eh?

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang