17

649 25 0
                                    

"Aku, bukannya lenyap.

Hanya sembunyi dari nelangsa dunia,

mencari kesenangan baru dalam kehidupan fana.

Aku, bukannya hilang.

Hanya menjauh dari darah kefanaan yang menembus akal manusia.

Mencari kesenangan baru dalam dunia kekal."

Gue mengerjap tak percaya, menatap sesosok manusia di atas panggung yang tengah menunduk. Lamunan gue buyar ketika seorang panelis berteriak dari belakang.

"GILA! LO PUITIS BANGET, SIH! SUMPAH, GUE TERGILA-GILA SAMA DIKSI LO YANG ... OH, ASTAGA! GUE GAK BISA PERCAYA! GIVE APPLAUSE!"

Sontak, ruangan yang semula hening berubah menjadi riuh tepuk tangan. Gue ikut menyorakinya, memberinya tepuk tangan semeriah mungkin. Dia balas melihat gue dengan matanya yang berbinar.

"Ah, gue gak percaya dapet sambutan semeriah itu." Matanya berbinar, langkahnya terlihat begitu bersemangat. "Ya, lo harus percaya lah. Puisi aja sebagus itu, mana mungkin cuma satu yang tepuk tangan. Se-ikhlasnya pula." Gue terkekeh, sementara dia mencubit lengan gue. "Mau es krim?" Tawar gue. Dia mengangguk semangat, tangannya tetap memegang sehelai kertas yang berisikan karyanya. "Boleh, tumben baik." Katanya terkikik. "Selama ini gue jahat? Oke sip, es krimnya batal." Dia langsung berbalik, memegangi tangan gue dan menatap muka gue dengan memelas. "Jangan! Please, please, please, please!" Dia mendengus, ngambek ceritanya.

"Eh, Jevanna?" Seseorang menghampiri gue, sesosok gadis di samping gue menoleh. "Iya?" Balasnya sumringah. "Kenalin, nama gue Rizki." Jevan ber-oh ria, mengangguk. "Puisi lo keren banget tadi," katanya memuji. Jevan tersenyum, berterima kasih. "Oh ya, dia pacar lo?" Celetuk Rizki tiba-tiba. Sebelum Jevan membalas, gue buru-buru menyahuti ucapan Rizki, "iya, gue pacarnya." Air muka Rizki seketika keruh, tampak seperti kecewa. "Semoga langgeng," Rizki menjabat tangan gue semangat. "Gue mau pulang, masih mau ngobrol? Kalo iya, gue pulang duluan naik taksi, nanti lo bawa mobil gue." Gue segera menginterupsi. Rizki tampak tersinggung, mendengus. Kue kura-kura dalam perahu, gue pura-pura tidak tahu. "Eh, tunggu! Kayaknya, kita ngobrol sampe sini dulu, ya. Gue harus pulang, dia emang ... Dika! Gak usah macem kucing gitu ah! Maaf ya, Ki. See ya!" Jevan melambaikan tangan kearah Rizki. Gue belum juga melepaskan pelukan dari belakang, gue malah menyerandahkan kepala gue di bahunya. "Ck, ayo pulang." Katanya sembari berusaha berjalan, menyeret tubuh gue. Gue menariknya dari belakang, mengeratkan pelukan. "Bau lo lucu, mirip kucing gitu," Jevan terkekeh. "Tapi kucing yang dari comberan." Gue melanjutkan. Dia menjitak kepala gue, kesal. "Lo nyebelin ah," gue tersenyum.

Aku, mencari kesenangan baru dalam kefanaan.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang