23

628 50 2
                                    

Selepas kejadian itu, gue dan dia tidak mempunyai hubungan khusus seperti pacaran. Gue dan dia tidak menjalin relationship. Semuanya sama persis seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Tapi gue dan dia semakin dekat. Dia bukan cewek aneh-aneh, yang biasanya minta dibeliin barang-barang branded sama pacarnya atau calon pacarnya. Dia gak suka kalo gue beliin barang yang cukup mahal buat dia. Biasanya, reaksinya bakalan marah-marah, ngomel nggak jelas, makan beling sampe makan batagor. Percayalah, kalimat terakhir gue itu bohong.

Dia paling seneng kalo dibeliin es krim dan sushi. Gue gak tau kenapa dia suka makanan itu. Pokoknya, dia suka es krim dan sushi. Gue juga dikenalkan dengan kakaknya, Arthur, beberapa hari yang lalu. Sedangkan orangtuanya, sekarang sedang berada di Belanda. Tidak ada masalah antara gue dan Arthur. Gue sempet di interogasi dengannya, dan gue jawab, kita gak pacaran.

Satu hal yang buat gue heran, nama orang-orang di keluarganya. Semua nama-nama itu diambil dari kosakata--ah, bukan, aksen barat. Bokapnya, Trevis Gardira. Nyokapnya, Shellena Vanessa. Kakaknya, David Arthur. Dan dia sendiri, Jevanna Clarissa. Nama yang sangat tidak pas dengan nama gue yang terlalu Indonesia. Raditya Dika, sangat tidak keinggris-inggrisan. Tapi gue bersyukur, setidaknya gue punya nama.

"Lo bego apa bego sih, makan lewat mulut, Dikaaa." Gue melamun dan tanpa sadar, es krim yang seharusnya gue makan malah nyasar ke hidung dengan nista. Gue nyengir tiga jari, lalu mengelap hidung gue dengan tisu basah. "Oh iya, salah." Gue terkekeh begitu melihat reaksinya yang sebel-sebel-gemes. "Jangan marah, Cantik." Gue menjawil pipinya berulang kali, tanpa ia sadari.

"DIKAAA, TANGAN LO LENGKET BANGET, SUMPAH. MUKA GUE IKUTAN LENGKET 'KAN, SOK LUCU!"

Lah, malah ngambek. Padahal tadi dia, yang berusaha bikin gue jengkel. Gue terkekeh ketika pemikiran gue meledeknya. Tapi, kapan dia ngeledek gue? Astaga, gue mulai konslet. "Melamun, kesambet, setannya gak keluar, mati bareng arwah." Ujarnya jengkel tanpa menengok kearah gue. "Suka-suka, lo juga nggak care lagi sama gue." Gue menyanggah dengan sedikit pedas. "Kata siapa?!" Kilahnya marah. "Kata gue, buktinya lo marah tadi. Kalo marah 'kan, berarti gak peduli lagi. Ya?" Dia menginjak kaki gue dengan keras. "Serah lo,"

"Jangan marah gitu, kasian Bang Radith-nya."

"Bodo,"

"Bella,"

"Nama gue Jevan, bukan Bella."

"Bukan itu maksud gue,"

"Itu maksud lo,"

Gue terdiam, butuh taktik yang cukup cerdas untuk membuatnya luluh. Sementara gue otaknya pas-pasan.

"Gue nyanyi, ya?"

"Jangan,"

"Kenapa?"

"Lo curang,"

--

Hai, hai. Tumben ya, kali ini pake author note. Sekali-sekali juga, ya. Uh, mulai kebanyakan bacot.

Jadi, author cuma mau bilang, terima kasih buat readers yang mampir kesini. Baik yang meninggalkan jejak, maupun yang tidak. No problem, setidaknya kalian penasaran dengan judulnya. Hehew:3 Makasih buat yang selalu vote dari awal sampe akhir. Yang setia sama cerita ini meskipun gaje. Tanpa kalian, mungkin vote-nya nggak bisa sampe 100+. Thank you, all.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang