16

699 28 1
                                    

"Ayo cepat! Push-up dua puluh kali! Jangan membantah!" Jevan mengetukkan tongkat yang dipegangnya ke tanah beberapa kali. Sontak, manusia-manusia kurcaci dihadapannya langsung mengambil posisi push-up. Gue menyerandahkan tangan gue di pundaknya, "gila, lo sangar abis." Gue berbisik pelan. Cewek itu menjitak kepala gue, cemberut. "Namanya juga kakak OSIS," balasnya sambil terkekeh. Ya, ini adalah hari pertama MOS bagi siswa baru di Tarakanita. Gue yang melamar jadi mentor, diterima dan disatu-kelompokkan dengan Jevan. Oh, betapa beruntungnya gue.

"Hei, kamu! Baru 17 kali sudah berani bangun!" Jevan membuyarkan lamunan gue. "Jangan galak-galak, Kakak." Gue mengacak rambutnya gemas. Dia menjulurkan lidah, menghiraukan ucapan gue. "Lo yang menye, gak bisa galak. Cupu." Cibirnya, gue mendengus. "Sudah? Berdiri semua! Lari 7 kali mengitari lapangan Tarakanita sambil menyanyikan yel-yel kalian, semuanya!" Terdengar desahan kecewa dengan intonasi rendah. Sepertinya hanya satu-dua orang yang mau bersikap anarkis dengan cara berseru kecewa. "Heh, lo." Gue menepuk pundak seorang cewek berkacamata nerd. "Dari tadi gue perhatiin, lo gak ada rasa sungkan sama kakak OSIS lo. Gak ada rasa hormat, respect." Gue menyeringai dan menyorotnya tajam. Cewek itu menunduk, "ma-maaf, Kak." Ujarnya berulang kali. Gue hanya mendelik, menatapnya dengan remeh. Sebenernya gue gak tega, cuma gimana lagi. "Lo pantes ikutan casting jadi anak-anak cupu daripada jadi peserta MOS, gak usah sok suci kalo pada akhirnya lo juga bakalan jadi cabe, jadi sampah negara." Gue hanya terdiam mendengar isakannya. "Sana, susul temen-temen lo." Jevan mendorong bahunya. Cewek itu buru-buru mengelap pipinya dan ikut berlari.

Kita anak MOS, enggak tau malu.

Kaya orang gila, kelilingi lapangan.

Sambil nyanyi-nyanyi, macem si pengamen.

Sekolah disini buat menuntut ilmu.

Kita anak MOS, hey, hey!

Kita anak MOS, hey, hey!

Tak peduli tampang macem orang gila.

Lagu yang sadis. Gue meringis mengingat penderitaan gue setahun yang lalu. Ah, begitu menyakitkan. Tapi sepertinya tidak separah ini. Gue menyandarkan kepala di pundak Jevan, cewek itu bergeser dan membuat gue hampir jatoh ke samping. Dia terkikik, sementara gue merengut. "Idih, baper. Cuma gitu doang, cubit nih." Ledeknya sembari menjawil pipi gue. Gue membalas mencubit pipinya meskipun tangannya menghalau kelakuan gue.

"WOY, KALO MAU MESRA-MESRAAN, JANGAN DEPAN ADEK KELAS!" Teriak salah seorang mentor dari ujung lapangan. Sontak, semua murid terdiam--gue juga ikutan diem. "Maaf,"

"Cieeee...."

"Anjrit, lo bikin malu."

_________

Entah apa yang merasukinya, ia merobek jurnalnya dan membuat gumpalan bola dari kertas yang semulanya ditulis olehnya. Dengan cekatan ia melemparkan kertas-kertas itu ke tong sampah.

"Gue berhenti, gue berhenti merjuangin yang bukan hak gue. Semua yang gue lakuin, malah bikin gue sakit hati. Gue berhenti, stop disini."

"Gue udah nyangka akhirnya bakalan kayak drama. Lo terlalu melankolis, gak tegaan, payah."

"Gue berani taruhan, lo gak bakal bisa dapetin dia. Gue berani taruhan berapapun. Karena gue tau, lo lebih payah daripada gue."

Klik.

Secepat itu, semuanya selesai.

***

Ada yang tau ending-nya gimana?

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang