14

769 22 4
                                    

Insomnia gue kambuh.

Gue memutar tubuh beberapa kali, mencari posisi paling nyaman. Tapi lagi-lagi, insomnia mengganggu ketenangan dan kenyamanan tidur gue, begitu mengganggu. Gue memutuskan untuk membangunkan Jevan di kamar sebelah. Ehm, jangan berpikiran apa-apa. Jevan memang sering menginap di apartemen gue. Semenjak gue punya apartemen sendiri, nyokap selalu nyuruh Jevan untuk pindah ke apartemen gue, atau setidaknya sering-sering menginap. Karena nyokap takut gue kesepian di apartemen.

"Van, kamu pindah ke apartemen Dika aja, gih." Ujar Widya sedikit memaksa waktu itu. Jevan meringis, sementara Dika bergeming--menunggu jawaban. "Ma-makasih banyak, Tante. Aduh, tapi bukannya apa... cuma ya, gitu." Jevan salah tingkah. "Tenang aja, Van. Nak Dika nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Dia gak demen sama cewek," celetuk Widya yang disambut oleh sahutan protes Dika. "Aku waras, Ma. Waras." Gumamnya. Widya tersenyum sumringah, "kalo kamu normal, cepet-cepet punya pacar dong. Carinya yang sebaik Jevan, sopan sama Mama. Atau kamu pacarin Jevan," Dika tersedak, entah tersedak apa. Jevan mengerjap, mencerna ucapan Widya yang menurutnya mirip dengan ucapan Mama Mertua di FTV-FTV itu. "Tante lagi gak sehat, Jevan pulang ya, Tan." Widya memegang pergelangan tangan Jevan, mencegah. "Tunggu," katanya sembari berlari kearah dapur. Wanita paruhbaya itu mengulurkan sebuah plastik hitam, "ini, buat Ayah sama Bunda. Salam ya, sering-sering nginep disini. Temenin Dika," Jevan hanya mengangguk pasrah.

"Ma!"

Uh, sungguh masa lalu yang cukup kelam. Gue mengetuk pintu kamar Jevan beberapa kali, sampai akhirnya ada seseorang yang membuka kunci pintu. Gue menatap ke sekeliling kamar, gue menemukan Jevan sedang tidur di kasurnya dengan nyaman, seperti tak terusik oleh gaduh yang gue buat. Terus, siapa yang buka pintu?

"DIKA!" Seseorang menepuk pundak gue dengan cukup kencang. Sontak, gue mundur ke belakang dan menabrak sofa. Terdengar tawa yang membahana. "Sorry, Dik. Gue lagi kepengen jahil," Jevan muncul dari balik daun pintu. Gue menghela napas, setidaknya bukan Nte Kunti yang gue temui. "Gue insomnia, makan es krim yuk." Ajak gue, menggandeng tangannya. "Ada es krim?" Tanyanya sembari mengecek freezer kulkas. Tangannya berusaha menggapai sekotak es krim yang gue taruh di pojokan dengan alasan biar cepet dingin. Dia sampai berjinjit untuk meraih sekotak es krim, tapi sepertinya sia-sia. Gue mengambil es krim, dia menatap gue penuh harap. "Lo itu pendek," kata gue sembari menyejajarkan tangan gue dengan kepalanya. Dia menepis tangan gue, merampas es krim dan berlari kearah ruang keluarga. Menyalakan tv, mematikan seluruh lampu, dan duduk di sofa dengan nyaman. Semua dilakukannya tanpa beban, tanpa menghiraukan gue.

"Dik, ada acara bagus!" Soraknya. Gue ikut duduk di sofa, menonton semacam acara talkshow dengan bintang tamu Dahlan Iskan. Dia gak bisa diganggu kalo udah nonton yang beginian. Sesendok es krim yang ingin disuapkan ke mulutnya tergantung di depan bibir, gue menarik tangannya dan mengarahkan sendok itu ke mulut gue. Yak, es krimnya gue makan. "Dika, ish." Dia mencubit pipi gue, lalu kembali fokus ke televisi. Lagi-lagi, sesendok es krim tergantung di depan bibirnya. Gue gemes sendiri jadinya. Karena dia terlalu fokus, akhirnya gue mengarahkan sendok itu ke mulutnya.

"Es krimnya dimakan, nanti meleleh. Kaya kamu."

Anjrit, gue gak nyangka kalo ternyata gue alay.

___________

Dia hanya menulis, menulis dan menulis.

Target 4 : Menghindar.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang