11

849 23 0
                                    

Gue memperhatikan Jevan yang sedang asyik melahap es krimnya. Gue meletakkan sendok, tidak berniat melanjutkan aktivitas menghabiskan es krim. Tadi siang, Orchard tutup. Alhasil, gue banting stir ke Planet Ice Cream. Dan yah, dengan harga selangitnya, gue sampe mampir ke ATM sebelum kesana. Karena menengok daftar harga, selera makan gue hilang. Tapi sepertinya, dia juga menyadari kesalahannya kesini. Jadi dia hanya memesan semangkuk Fantasy Gelato, dengan harga yang (sangat tidak) terjangkau.

"Dika," suaranya tersendat ketika memanggil gue. Tak lama, cewek itu tersedak makanan atau minuman dingin itu. Gue buru-buru menyorongkan segelas air mineral kepadanya, dan menyuruhnya menenggak sampai habis. Jevan menghela napas dengan mata memerah, napasnya pun sedikit tersengal. "Makanya pelan-pelan, jangan sesendok langsung ditelen. Belanda masih jauh. Sekalinya keselek, mampus. Untung ada gue 'kan," Jevan mendelik. "Iya, Abang Ganteng." Gue mendesis, lalu tawanya membahana. "Ciee... yang lagi, kepikiran..."

"Anjrit,"

"Baper," dia meledek. Gue mendengus kesal, dia selalu mengungkit tentang Cindy--ehm, mantan gue. Gue melemparkan tisu kearahnya, dan tepat masuk ke dalam mangkuk es krimnya. Oh, gawat. Jevan hanya terdiam, menatap mangkuknya penuh nelangsa.

"DIKAAA! BELIIN LAGI, GAK?!" dia mulai melempari gue dengan tisu. Gue berlindung di balik tas, mengaduh sesekali ketika tisunya mengenai kepala atau mata gue. "Makan punya gue aja nih, gue kenyang." Gue mengulurkan mangkuk es krim gue. Dia menggeleng, menolak dengan keras. "Gak mauuu! Beliin!" Paksanya. "Makan itu, atau gue suapin!"

"Sumpah, lo nyebelin klimaks."

_____________

Sepasang bola mata berwarna biru itu memandang ke luar jendela pesawat. Tidak ada apa-apa, hanya awan yang beriringan dan sesekali menutupi kaca pesawat. Gadis itu menghela napasnya, menyerandah di bangku lalu membuka jurnalnya. Setelah menuliskan beberapa kata, ia langsung menutup buku itu dan menyimpannya di tas.

Target 1 : Kembali ke Jakarta.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang