22

616 28 3
                                    

Prom night. Astaga. Satu, dua, tiga.

Gue menghela napas, menatap kalender dengan nelangsa. Gue mengerjap, meyakinkan diri sendiri.

Prom night. Astaga. Satu, dua, tiga.

"Dika? Jadi reunian nggak? Kamu belum jemput Jevan 'kan? Nanti dia nungguin kamu, kasian." Nyokap berceloteh di depan pintu. Gue mendengus, mengiyakan dan memastikan akan berangkat sebentar lagi. "Jangan lupa pake parfum ya, kamu bau ketek." Gue meringis, membayangkan gue datang dengan keadaan bau ketek. Gue melambaikan tangan dengan suka cita kearah teman-teman seangkatan. Selama itu pula, bau ketek menguar dari lipatan ketiak gue. Tragis.

Lima menit kemudian, gue berangkat.

Selama di perjalanan, gue gak bisa diem. Gue menyiapkan segala topik pembicaraan yang bisa dibilang cukup menarik, seperti 'hai, apa kabar?' sampai yang menurut gue paling nggak banget berupa 'udah punya istri berapa?'. Gue tetap fokus pada jalanan, sembari berharap semuanya akan lancar-lancar saja. Begitu sampai di pekarangan rumah Jevan, gue membunyikan klakson beberapa kali. Hingga akhirnya dia keluar dan berhasil membuat gue cukup terpana. Dengan dress putih gading tak bermotif selutut yang dipadukan dengan bandana putih yang sangat sederhana. Rambutnya yang bergelombang digerai. Sementara itu kakinya mengenakan wedges coklat yang senada dengan tas vintage coklatnya. Mungkin ini yang namanya kasual tapi gak standar ala Alice. Gue tersenyum sumringah begitu wangi body shop vanila menyeruak di mobil. Khas dari cewek itu. Pakaiannya sangat kontras dengan jas hitam yang gue pakai. "Dika," gue menoleh, mendapatinya memasang wajah khawatir. "Are you ok? Gue perhatiin dari tadi lo senyum-senyum sendiri, gue jadi takut."

::::::::::::::

Gue mengikuti iringan mobil anak-anak Tarakanita ke ballroom hotel. Jevan meremas tangannya, mengaitkan satu jari dengan jari yang lain. "Lo gugup?" Jevan menggeleng. Matanya tetap fokus pada jalanan di depannya. "Gue, yah ... gitu, gugup sih nggak, cuma takut. Haha ... iya, takut." Gue terkekeh dan menepuk puncak kepalanya. "Everything is gonna be ok," gue meyakinkannya. Gue memarkirkan mobil tak jauh dari pintu masuk. Begitu gue me-nonaktifkan lock mobil, Jevan bergeming. Tidak mau beranjak dari tempat duduknya. Gue memegang tangannya erat-erat. "Seperti yang gue bilang," Jevan menoleh, menatap gue lekat-lekat. "Everything is gonna be ok."

Gue sibuk menyapa sahabat-sahabat lama gue. Bercengkrama sebentar dan beralih dengan yang lain. Hingga akhirnya gue berhenti begitu melihat seseorang yang pernah menjadi crush gue selama SMP, Elvara Christinanda. Astaga. Dika. "Hai, Raditya Dika?" Dia menyapa gue. Gue mengangguk santai. Tidak ada lagi perasaan dag-dig-dug yang sering muncul ketika gue di dekat dia. Tidak ada lagi perasaan mules yang mengharuskan gue ke toilet setiap kali berbincang dengan dia. Semuanya lenyap, terkikis waktu yang ternyata diam-diam tidak sebaik yang dipikirkan. Gue tersenyum kearah Elvara, "hai," hanya itu. Setelahnya, gue melengos pergi. Tidak ada topik yang terlalu penting antara gue dan dia.

"Ok, sekarang waktunya untuk penentuan King and Queen melalui dansa. Siapapun yang terbaik akan membawa gelar membanggakan dari Tarakanita." Suara Joey yang menggelegar terdengar di sound speaker yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Gue buru-buru menarik lengan Jevan, sebelum ada manusia lain yang mengajaknya. Jevan mendengus, "protektif amat," cibirnya. Gue tidak menghiraukan ucapan dia. Hanya menikmati alunan musik yang mulai mengalun pelan.

Maju. Kanan. Mundur. Kiri. Maju. Kanan. Mundur. Kiri.

"Aduh-duh-duh," gue mengaduh begitu Jevan tanpa sengaja menginjak kaki gue. Dia meringis, menghentikan gerakannya. "Sorry, gue gak sengaja. Sakit ya? Mendingan kita berhenti aja," gue menggeleng, menyuruhnya untuk meneruskan. Gue semakin menikmati gerakannya. Tanpa kecepatan yang ditambah, semuanya terasa lebih mudah. Ternyata gue dan Jevan masuk kedalam 3 besar sebagai kontestan terbaik malam ini. Dilihat dari sorot matanya, gue yakin sebenarnya Jevan pengen banget dapet gelar Queen malem ini. Tapi gue gak terlalu yakin sih.

Lagu mulai mengalun lagi. Gue memulai gerakan dengan perlahan, Jevan tampak mengerti. Tidak ada perubahan kecuali pada saat musik diganti. Bener-bener capek. Mengingat gerakan yang gue lakukan ternyata semakin cepat. Hingga pada akhirnya, Jevan berhenti di depan gue, bertepatan dengan berakhirnya musik yang mengiringi. Semuanya selesai, tapi gue masih ingin menatap matanya lekat-lekat.

Di tengah ballroom hotel, di bawah lampu gantung berwarna keemasan, dengan diiringi lagu yang mengalun pelan, we kissed.

Dika, Bukan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang