t i g a

34 8 6
                                    

Tugas, tugas, tugas.

"Bisa pusing gue lama-lama!" Hanin mengacak-acak rambutnya. "Satu dua mapel okelah. Ini malah delapan? Are you kidding me?!"

Jamal, teman satu kelasnya berdehem. "Kerjain satu-satu, entar juga kelar." Cowok--yang katanya--paling kalem itu memberi saran yang malah membuat Hanin tambah kesal.

"Lo kan pinter, Mal! Lah, gue?"

"Kata orang yang nilai IPS sama Bahasa Indonesia-nya paling tinggi waktu SMP." Ocha, teman Hanin yang lain menimpali dengan fakta yang baru Hanin sadari. "Udah lah, bu Sekretaris. Kerjain aja yang lo bisa dulu, deh."

"Oke ...."

Ini sudah minggu ke empat Hanin tercatat sebagai siswi SMA dan dia sudah diserang oleh tugas dari delapan mapel, dari dua belas mapel yang ada. Pusing? Tentu saja! Mana ada murid SMA yang masih bisa santuy saat punya tugas dari delapan mapel, disuruh bolak-balik kelas-ruang guru, dan urusan jaga di gerai parfum?

Ya, kalo ... bolak-baliknya diubah menjadi kelas-ruang guru-kantin tidak apa-apa, sekalian jajan.

Tetapi Hanin tahu, itu sama saja dengan mengharapkan gajah bertelur alias TIDAK MUNGKIN.

"Eh, pendaftaran PMR udah buka, ya?"

"Udah. Lo daftar?"

"Daftar aja lah. Pak Bakrie udah usaha banget promosi terselubung setiap beliau ngajar. Kalau enggak ada dari angkatan kita yang daftar, kan agak gimana gitu ..."

Pembicaraan dua orang yang barusan Hanin dengar membuatnya refleks menepuk jidatnya sendiri. Oh, iya, PMR! Segera Hanin membuka ponsel pintarnya. Sungguh kebetulan karena Langit mengirimkannya pesan, padahal ia yang ingin bertanya duluan.

 Sungguh kebetulan karena Langit mengirimkannya pesan, padahal ia yang ingin bertanya duluan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ah, iya. Sebenarnya, PMR sangat bukan Hanin sekali. Jika disuruh ikut satu ekskul, Hanin lebih memilih rebahan dirumah. Tiga temannya saat istirahat kemarin saling menceritakan alasan mereka ikut PMR. Ghea ingin menambah pengalaman, Langit ingin berkecimpung di dunia kesehatan, Jiwa karena ia pernah ikut PMR jaman SMP jadi mau coba lagi, dan Hanin ...

Ayo, tebak. Tidak mungkin ia jujur bahwa alasannya karena ada Kak Aji, kan? Makanya Hanin menjawab dengan racikan kebohongan 75 % dan kejujuran 25 %.

"Gue dari awal MPLS emang udah tertarik sama PMR, sih." Lebih tepatnya tertarik sama ketuanya, hehehe. "Kayaknya seru."

Dari bangku samping, bisa dilihatnya Ghea tampak tersenyum sembari menggeleng pelan. Tatapannya seolah berkata: temen gue bohongnya pinter juga ...

"Ooh, berubah gitu, ya," kata Langit. "Seinget gue, lo pas ditawarin jadi dokter cilik waktu SD enggak mau, deh. Wajar. Ya kali biang jahilnya kelas jadi--ADUH, KEPALA GUE JANGAN DIPUKUL!"

Hanin menunjuk nyamuk yang mati di telapak tangannya. "Tuh, ada nyamuk."

Jiwa tertawa terbahak-bahak. "Cuma sama Hanin doang, pangerannya MIA 1 dinistain! HAHAHAHA!"

Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang