l i m a

22 7 8
                                    

Aji duduk termenung di kamarnya, memandangi langit yang mulai gelap sembari meneguk segelas air mineral. Pemandangan di depannya menunjukkan orang-orang sudah mulai menutup jendela rumahnya. Para orangtua pun bergantian mengeluarkan seruan, meminta anak-anak mereka yang asik bermain di tepi jalan itu, untuk berhenti bermain dan pulang ke rumah. Serentetan cerita mistis mengenai makhluk tak kasat mata juga ikut keluar dari mulut mereka, menakut-nakuti anak-anak itu agar segera pulang.

Terkekeh pelan, ia bergerak menutup jendela. Mengikuti apa yang dilakukan orang-orang. Angin yang berhembus ketika menutup jendela terasa sangat dingin di kulit Aji, membuat ia menggosok-gosok telapak tangannya.

Beralih dari jendela, manik mata Aji bertemu dengan ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Sekilas terlihat biasa, tetapi bagi Aji, benda pipih itu mengingatkannya pada kejadian tadi.

Kejadian dimana ia mengambilkan ponsel Hanin yang jatuh, kemudian berbicara sebentar dengan pemilik ponsel. Hanin adalah salah satu adik kelasnya yang ikut tes wawancara PMR kemarin. Salah satu yang di wawancaranya secara langsung. Satu-satunya yang kedua matanya berbinar-binar saat diwawancara. Aji sendiri tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi oknum bernama belakang Ghunadya langsung heboh setelah sesi wawancara selesai.

"A-n-j-a-y! Baru kali ini gue lihat ada orang nge-fans sama Aji! Biasanya juga adik-adik kelas pada enggak suka, malah pernah ada yang jadi hater-nya dia, pas gue nguping obrolan mereka."

Meski ia menyadari bagaimana berbinarnya mata gadis itu bersamaan dengan gesturnya yang menjawab setiap pertanyaannya dengan nada suara yang kentara sedikit gugup, Aji memilih mengabaikan dan tidak terlalu memikirkannya. "Biasa aja kali."

"Buat lo, iya. Buat gue, enggak. Apalagi gue sering banget denger lo dihujat adik kelas pas mereka lagi ngumpul. Sejauh ini, sebelum info Alan soal Hanin, yang jadi fans lo pasti para guru! Apalagi ibu-ibu, tuh. Mereka selalu bilang pengen lo jadi menantu mereka." Juno menjelaskan panjang lebar. Mendukung validnya kabar--yang bagi Aji tak penting--tersebut.

Dan, tadi, Hanin menjadi salah satu dari mereka yang lulus menjadi anak PMR. Aji hanya sekilas melihatnya sebelum kemudian fokus terhadap hal lain. Mungkin orang yang melihat dari luar akan mengira Aji benar-benar cuek akan keadaan sekitar, padahal ia adalah tipe yang diam-diam suka memerhatikan sekitarnya. Terutama, pada kasus ini, Hanin.

Sebenarnya semenjak beberapa jam lalu, Aji menyadari sesuatu. Ia merasa familiar dengan sosok Hanin. Entah kapan dan dimana itu, ia yakin pernah melihat gadis itu. Bukan. Bukan di sekolah, tentu saja.

Apakah Hanin adalah tetangganya di masa lalu?

Aji menggeleng pelan. "Enggak mungkin," ia bergumam. Segera ia buang pikiran tidak jelas itu lalu membuka ponselnya. Satu pesan masuk, dari Alan.

 Satu pesan masuk, dari Alan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang