s e p u l u h

31 7 4
                                    

Gak bisa gue diginiin ... gak bisa!

Refleks, ia mengepalkan kedua tangannya lalu menaruhnya di dada. Berharap apa yang dilakukannya mampu meredakan irama jantung yang makin lama makin kencang pukulannya. Gadis itu melirik sekitar. Satu per satu motor mulai meninggalkan area parkir karena latihan sudah selesai, jadi lapangan bisa dibilang sudah agak sepi. Hanya ada beberapa orang termasuk dia, Jiwa, Ghea, Langit, dan ...

"Lan, gue ke toilet dulu, ya. Pegangin gitar gue."

Ya, dari suaranya bisa ditebak, kan, itu siapa?

Sungguh, Hanin mati-matian menahan diri untuk tidak salting di tempat begitu Aji melewatinya. Jantung Hanin berdegup begitu kencang hanya karenanya, padahal Hanin tahu pemuda itu bahkan tidak melihatnya.

"Nin, tunggu bentar, ya. Gue masih ada urusan di lab komputer sama Langit." Ghea tiba-tiba muncul di sebelahnya, mengalihkan fokus Hanin. "Atau ... lo mau langsung pulang aja gitu? Enggak nunggu gue?"

Hanin menggeleng. "Gue mau nunggu lo aja, deh. Eh, duo orgil mana?" Pandangannya beralih ke lingkungan sekitar, menyadari bahwa Langit dan Jiwa tidak berada di dekat mereka.

"Di kantin. Lo inget, kan, tadi ibu kantinnya nawarin lontong gratis ke mereka berdua? Makanya mereka sekarang di sana."

Hanin terkikik lalu menggeleng. "Dasar pemuja gratisan."

Ghea tertawa. "Ya udah, gue tinggal dulu, ya."

Sembari jari telunjuk dan jempolnya membentuk simbol 'OK', Hanin mengangguk. Matanya sesaat fokus pada punggung Ghea sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya. Bukan karena ada notifikasi pesan atau ada hal yang penting, tetapi Hanin hanya ingin membuka Twitter, melihat-lihat apa yang sedang hangat diperbincangkan.

"Eh, kalau dilihat-lihat cocok juga, ya ..." Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang Hanin. Gadis itu menoleh dan mendapati Alan, Juno, dan Dhani di depan pintu perpustakaan.

"Hah?" Juno mengernyitkan dahi.

"Yang tadi duet bareng, Jun." Malah Dhani yang menjawab. "Bener, kan? Lo mau bilang itu, kan, Lan?" tanyanya pada Alan yang kini membelalakkan mata.

"Widiiih, udah banting setir jadi cenayang, Dhan? Bukan bapaknya Al El Dul lagi?" Alan tertawa di akhir kalimat.

Mendengar candaan Alan refleks membuat Hanin ikut tertawa. Hal itu sontak membuatnya jadi pusat perhatian mereka.

"Lah, Hanin? Belum pulang?" Juno yang pertama bersuara. Sikunya menyenggol Alan. "Lo, sih, ngomongin orang enggak tahu tempat. Jadi kedengeran, kan."

Alan balik menyikut Juno. "Ya mana gue tahu dia masih di sini! Dan gue enggak ngomongin, ya! Kok, kesannya gue ngegibahin mereka ... gue cuma bilang mereka cocok, kok!"

Cocok? Lah, Kak Alan tadi ngomongin gue? Emang tadi--hah ....

Perlahan, seiring ia mencerna kata-kata Alan, kedua pipinya mulai merona. Entah kenapa, dia merasa malu akan kata 'cocok' yang dilontarkan Alan. Aduh, mukul pundaknya kakak kelas buat melampiaskan salting boleh, gak, sih?

"Hush, jangan gitu! Kalau Aji denger gimana?" Ini Juno yang bersuara. "Lagian enteng banget, tuh, mulut. Kayak Hanin terima-terima aja."

Kata-kata terakhir Juno membuat Hanin meringis.

"Si Aji palingan juga cuek. Kalian tahu sendiri, kan, Alan emang suka bercanda. Pasti dia bakal diem doang, enggak nanggepin." Dhani berujar sembari menyentil kening Alan. "Hanin, enggak masalah, kan?"

"Enggak, kok, Kak ...."

Ya iya, lah! Orang gue suka! Dan untungnya, enggak pas di depan Kak Aji ... kalau di depan Kak Aji ... ah, sudahlah ....

Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang