Satu Tim

795 117 1
                                    

Shad memasukan tangannya pada kotak dan mengeluarkan lima kertas sekaligus. Secara perlahan membuka kertas-kertas itu, memberi kesan dramatis. "Tim pertama kita, yaitu.."

"Storm."

Storm yang tidak menyangka namanya dipanggil lebih dahulu langsung duduk tegak dan menahan rasa malu ketika dirinya ditatap orang banyak.

"Halilintar."

Kini teriakan sama menggelegarnya dengan teriakan pada Solar tadi mengarah ke Halilintar, bahkan ketika Halilintar hanya duduk tanpa melakukan apapun.

Storm seketika membatin. Gini ya, kalau beda kasta gitu.

Solar memutar mata, merasa fans Halilintar memiliki selera buruk untuk suka pada setan merah itu.

"Solar."

Solar secara cepat tersenyum, di dalam hati dia teriak-teriak kenapa bisa satu tim bersama orang yang baru saja dia ejek.

"Gempa, dan terakhir Taufan."

Satu Koloseum langsung terdiam. Keberuntungan apa dapat menyebabkan para Pangeran menjadi satu tim? Bukankah mereka terlalu kuat? Lalu, ditambah anak dari Kepala Sekolah sendiri? Tim ini bukan main.

Seseorang berbisik. "Hei, menurutmu seseorang menyabotase kertas undiannya?"

Orang itu menggelengkan kepala. "Kenapa kau tanya aku? Dimana-mana, apapun bisa terjadi karena.." jari jempol dan jari telunjuknya bergesekan.

"Hahaha, kau tidak salah, sih."

Koloseum terlihat sunyi, tapi kalau kau mendengar dengan seksama, akan ada banyak perkataan negatif keluar tanpa pikir panjang sang pembicara.

Gempa menautkan kedua alisnya. Tidak ingin mencurigai siapapun, tetapi juga tidak ingin bertingkah naif.

Shad segera menenangkan para penonton. "Tidak ada sabotase apapun, tidak ada bayaran apapun. Semuanya murni keberuntungan. Jika saya terbukti bersalah, saya akan turun dari jabatan saya sebagai guru Highschool R.O.S.E."

Tanpa menunggu reaksi penonton, Shad lanjut mengundi dua tim lainnya.

"Rain, mist.."

"Diamond."

Selesai menyebutkan kelima belas peserta, Shad menyuruh peserta untuk berbaris di depan pintu tim masing-masing.

Taufan segera meloncat seenak jidatnya, mengambil langkah besar menuju pintu labirin bawah tanah. "Let's go!! Ayo Storm, Solar!!!"

Solar menggerutu, Storm mengikuti mereka. "Jangan meneriaki namaku."

Gempa merasa hangat di hati ketika melihat tingkah mereka, dia berbalik untuk mengajak Halilintar. "Ayo, Hali. Kau tidak ingin berada dibarisan belakang, kan?"

Halilintar berdiam diri sebelum berucap. "Biar aku yang di belakang."

"Serius? Kekuatanku lebih ke pelindung, loh. Biar aku saja, aku akan melindungi kalian semua kalau terjadi apa-apa."

Halilintar berkata tanpa berpikir. "Jika kau melindungi kami, lalu siapa yang akan melindungimu?"

Saat kalimat itu keluar dari mulutnya, barulah dia menganggap bahwa perkataannya seakan-akan meremehkan Gempa. Halilintar berdiri dari tempat duduk. "Aku tidak bermaksud.."

"Tidak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Gempa mulai berjalan, suaranya terdengar ringan. "Aku akan membiarkanmu berada dibelakang barisan. Jadi, tolong jaga punggung kami, Hali."

Halilintar yang baru pertama kali ini didengar pendapatnya merasa sedikit senang. "Baiklah, Gempa."

Shad memastikan semua peserta sudah berbaris, dia mengarahkan pistol ke langit. "Bersedia."

"3."

"2."

"1!"

Suara tembakan menjadi penanda mulainya tes, para peserta menggunakan kekuatan mereka untuk bergerak lebih cepat.

Taufan segera menaiki hoverboard dan memimpin di depan, di tengah perjalanan dia berteriak. "GELAP!!"

Tangan Solar tiba-tiba gatal ingin memukul. "Tentu saja, dasar bodoh. Kita ada di labirin bawah tanah."

"Bola Cahaya!" Tepat di depan Solar, muncul bola bersinar. Sinar bola itu cukup terang untuk menerangi sepuluh meter ke depan.

"Ohh, miniatur matahari." Storm memperhatikan bola cahaya. "Tapi, bukankah ini sama saja dengan memberitahu dimana lokasi kita?"

"Itu..." Solar langsung tidak tahu harus berkata apa. "Memangnya kalian mau gelap-gelapan di labirin ini?"

Storm dan Taufan menggeleng cepat.

Gempa berjalan santai sambil mengusulkan ide. "Gunakan saja dulu. Jika kita sudah lumayan dalam, biar aku yang memandu kalian."

Halilintar mempertanyakan suatu hal. "Kau bisa melihat di kegelapan, Gem?"

"Tidak."

Storm ikut bingung. "Lalu bagaimana caramu memandu kami?"

Gempa tanpa berkata apa-apa berjongkok, tangannya menekan pelan tanah, fokus pada indra peraba.

"..... Di depan ada jalan bercabang. Kalau aku tidak salah, ada tiga jalan berbeda." Selesai mengatakan itu, teriakan Taufan datang dari depan.

"ADA JALAN BERCABANG! GEMPA HEBAT!!"

Storm, Solar, Halilintar, bahkan Gempa terkejut bukan main. Kenapa Taufan main pergi dari tim saja, sih?!

Mereka bergegas menuju arah suara Taufan.

Solar sekali lagi menggerutu. "Daripada Bola Cahayaku, aku merasa keberadaan kita akan diketahui lawan karena teriakan nyaring Kak Taufan."

Halilintar menyetujui perkataan Solar di dalam pikirannya.

Sampai di lokasi, Gempa menarik tangan Taufan. "Taufan, jangan berkeliaran sembarangan! Kalau sampai ada orang menyerang, kami tidak bisa langsung membantumu!"

Taufan kaget mendapat teguran dari Gempa. "Maafkan aku, Gempa. Aku janji tidak mengulanginya lagi, hehehe."

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang