Beda Bangku

710 107 1
                                    

Gempa mendorong pintu kelas yang digunakannya saat sesi MPLS, ternyata kelas tetapnya sama dengan kelas sementara waktu itu. Jadinya Gempa tidak perlu mencari kelasnya lagi.

Di sisi lain, tempat duduk Gempa dipindah. Bangku kali ini sesuai huruf awal nama. Karena huruf G dan huruf H bersebelahan, Gempa berharap dirinya sebangku bersama seorang pemilik kekuatan petir.

Siapa lagi kalau bukan Halilintar?

Gempa dengan berani berkeliling mencari bangkunya, sekalian mencari bangku Halilintar. Mumpung kelas masih sangat sepi, dirinya sengaja berangkat pagi-pagi sekali hari ini.

Mungkin Gempa terlalu fokus mencari, dia sampai tidak menyadari kemunculan Halilintar.

Memiliki keinginan sama, Halilintar memaksakan diri untuk bangun lebih awal. Selain untuk mencari bangku dan tidur di kelas, juga untuk dapat menghindari tatapan amarah sang Ibunda Ratu.

Halilintar sedang berjalan ke arah kelas ketika matanya menangkap siluet Gempa. Itu pertama kalinya Halilintar melihat Gempa celingak-celinguk kesana-kemari, seperti ingin mencuri sesuatu. Walaupun Halilintar ragu Gempa mempunyai niat itu, dia menganggap hal itu lucu, namun segera dia tepis.

Pikiranku semakin lama semakin aneh saja. Batin Halilintar.

Karena sudah penasaran setengah mati, Halilintar tidak membuang-buang waktu dan melangkah ke arah pintu kelas. Berusaha terlihat normal, Halilintar berkata. "Sedang apa, Gem?"

"Ah!!" Saking terkejutnya, Gempa tidak sengaja membenturkan pergelangan tangannya di meja. Halilintar ikut terkejut, dengan sigap mendekat.

"Sini biar aku lihat." Halilintar menghiraukan Gempa yang ingin menyembunyikan tangannya dan menariknya lembut.

"Tidak perlu, Hali. Tanganku hanya terkena meja, lihat?" Gempa meyakinkan Halilintar. Namun bukan Halilintar namanya jika tidak kukuh mengecek kondisi tangan Gempa.

Ternyata benar, tangan Gempa tidak terluka. Memang agak merah, setidaknya tidak mengeluarkan darah atau menggores luka. Setelah benar-benar yakin, Halilintar melepaskan cengkramannya.

Perasaan aneh itu muncul lagi di dalam hati Halilintar. Seolah dirinya kehilangan sesuatu tepat saat melepas tangan Gempa. Halilintar bingung.

"Hali?"

"Hn?" Suara canggung Gempa memecahkan lamunan Halilintar.

"Itu, tanganku.."

Halilintar berkedip, manik ruby miliknya menatap tangannya yang entah sejak kapan menggenggam tangan Gempa, lagi. Oh, tindakan bawah sadar macam apa ini? Memalukan sekali.

Melepaskan tangan, Halilintar berpura-pura tidak ada kejadian lain. Halilintar mengalihkan perhatian, rona merah mulai merambat ke telinga dan pipi. "Tadi aku tanya, kau sedang apa?"

Gempa membutuhkan beberapa detik untuk menjawab, tidak bisa menahan rona yang ikut menjalar di kedua pipi. "Aku.. mencari tempat duduk kita."

"Apakah sudah ketemu?" Halilintar menatap jam dinding. Berpikir bahwa pilihannya pergi pagi ke sekolah cukup memberi banyak kejutan.

"Sudah. Saat kau memanggilku tadi, aku sudah menemukannya." Gempa menunjuk pada bangku dekat jendela. "Itu tempatku. Dan, coba tebak dimana tempat dudukmu?"

Halilintar menuruti kemauan Gempa, fokusnya lumayan teralihkan karena jari ramping Gempa. "Dimana?"

Tersenyum lembut, Gempa menunjuk tepat dibelakang mejanya. "Kita tidak sebangku, tapi kita masih berdekatan."

Halilintar ikut tersenyum tipis. "Iya, cuma depan belakang."

Gempa terkekeh sebentar, dia menghampiri tempatnya dan duduk. "Tumben berangkat pagi, Hali? Ingin cek bangku lebih awal?"

Halilintar mengangguk sambil mendudukkan dirinya, tas ransel dia gantungkan ke kursi. "Karena mau tidur juga."

"Ternyata Halilintar punya hobi tidur di kelas?" Gempa menoleh, mendapati Halilintar menyembunyikan wajah dalam lipatan tangan.

"Tidak. Aku tidak punya hobi seperti itu." Jawaban Halilintar teredam.

Gempa kembali tersenyum. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu."

Gempa mengeluarkan buku dari ranselnya. Dirinya semakin larut dalam lautan pengetahuan semakin dia lama membaca.

Kelas menjadi sunyi, kadang-kadang suara kertas dibalik terdengar, ditemani detik jam dinding. Tirai putih berayun-ayun tertepa angin, menambah kesan melankolis pagi itu.

Halilintar melirik, secara seksama memperhatikan detail Gempa dari belakang. Untuk laki-laki seusianya, Gempa memiliki tubuh plus pinggang ramping. Tubuhnya tidak feminim, tetapi juga tidak terlalu seperti laki-laki umumnya. Halilintar akan lebih setuju bahwa Gempa merujuk pada jenis laki-laki imut.

Bahkan rambut Gempa nampak halus. Juga, jangan lupakan leher mulus itu. Entah kenapa leher mulus Gempa seperti membangkitkan sesuatu di dalam diri Halilintar.

Keinginan untuk menggigit, sadar Halilintar.

Sama halnya ketika Gempa mentraktir Halilintar beberapa hari lalu. Halilintar tanpa sadar terus menerus memperhatikannya. Seakan-akan manik ruby miliknya terpaku hanya pada satu orang. Seakan-akan hal lain tidak penting selama Gempa ada disini. Bersamanya, disampingnya, selalu.

Wow, Halilintar hampir berpikir dirinya sedang kasmaran karena Gempa. Halilintar membuang jauh-jauh pikiran aneh itu. Dia tidak ingin memikirkannya.

Sayang sekali, aku tidak bisa menyaksikan wajah tenang Gempa yang disinari mentari pagi.

Dengan pikiran tersebut, Halilintar terlarut tidur. Menuju dunia mimpi.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang