Mendapat Pencerahan

586 70 29
                                    

Butuh beberapa menit untuk Gempa menjawab pertanyaan Halilintar.

"Ah? T-tidak perlu. Aku.. aku bisa sendiri. Boleh mundur sedikit, Hali?"

"Hm? Kenapa?"

"Karena sempit, tubuhku tidak bisa bergerak secara leluasa."

"Sayang sekali. Yah, aku tidak mau menurut." Seolah-olah membuktikan perkataannya, kedua tangan Halilintar berada di sisi kanan dan sisi kiri Gempa. Memerangkapnya agar tidak mencoba-coba berpikir untuk kabur dari Halilintar.

"Hali!" Gempa menegur Halilintar, namun tetap memastikan suaranya lirih. "Kita ada di tempat umum, jangan melakukan hal aneh-aneh!"

"Aku tidak melakukan hal aneh." Salah satu alis Halilintar terangkat, ekspresi wajahnya jahil. "Atau mungkin kau yang memikirkan hal aneh-aneh, sayang?"

"A-aku-aku tidak memikirkan hal seperti itu!!" Pekik Gempa malu, telinganya berwarna semerah tomat matang bahkan dari belakang.

"Hm, aku tidak percaya. Tapi karena aku mencintaimu, aku akan berpura-pura mendengarkan."

"Hali..!!"

"Ya? Ada apa, permata hatiku?"

Gempa tidak kuat lagi dengan pembicaraan mereka ini, benar-benar memalukan. Dia mengalihkan perhatian Halilintar.

"... Tolong ambilkan buku." Gumam Gempa.

"Apa ini? Kau berusaha mengubah topik kita? Biasanya kau tidak begitu semenjak kita mulai pacaran."

Gempa tidak menjawab. Pundaknya gemetaran, Halilintar khawatir jika candaannya sudah berlebihan. "Gem?"

Akhirnya, Gempa membalikkan badannya. Kini dia menghadap ke Halilintar. Manik ruby Halilintar terpaku.

Halilintar dapat melihat raut wajah Gempa secara keseluruhan, mukanya memiliki semburat rona merah. Alisnya bertaut, seolah-olah ingin marah namun juga ingin ngambek. Entah sadar atau tidak, Gempa menggigit pelan bibirnya. Membuat bibir merah jambu itu sedikit tertekan, menunjukkan kelembutannya. Mengingatkan Halilintar akan betapa candu dirinya terhadap salah satu bagian dari kesempurnaan Gempa itu. Bibir Gempa semacam bir anggur, memabukkan dalam konteks baik.

Oh. Batin Halilintar. Imut sekali pacarku ini. Dipandang berkali-kali pun tetap cantik, rasanya tidak akan pernah bosan.

Merasa kasihan, Halilintar menghentikan tingkah jahilnya. Tetapi dia masih enggan memberi jarak pada tubuh mereka berdua. Jadi, Halilintar menggerakkan tangannya. Tangan Halilintar jatuh ke pinggang ramping Gempa, mendekapnya serta memeluknya erat-erat.

"Maaf, sayang. Jangan nangis." Bujuk Halilintar.

"Aku tidak menangis."

Halilintar hanya mengangguk dan tidak lanjut menolak perkataan Gempa. "Iya, kau tidak menangis."

Lebih tepatnya hampir menangis, sih.

Gempa mendengus. "Hmp."

Mendekatkan wajahnya, Halilintar menggesek hidung Gempa menggunakan hidungnya. Gemas akan tingkah laku Gempa.

Mungkin oleh sebab itu Gempa sangat menggemaskan, kata gemas juga dimulai dengan 'Gem.'

"Tadi kau ingin aku ambilkan buku yang mana?"

"Itu, rak ketiga dari atas."

Sesudah menyerahkan buku permintaan Gempa, mereka kembali duduk. Halilintar dan Gempa menghabiskan waktu selama dua jam di perpustakaan. Ketika mereka selesai, jam dinding menunjukkan pukul 4 sore. Puas memenuhi keinginan Gempa, mereka melanjutkan kencan mereka.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang