▪︎9-Satan Church▪︎

22 5 5
                                    

Berhubungan dengan makhlus astral bukan lagi hal aneh bagi Bea, mengingat sang ibu adalah seorang dukun yang sangat terkenal di kota mereka tinggal. Namun, para budak sang ibu hanya jin-jin tingkat bawah yang kemampuannya tidak begitu besar. Ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan jin besar apalagi iblis.

Kata ibunya, iblis adalah sebuah makhluk yang sangat mengerikan. Siap berurusan dengan makhluk itu tandanya siap untuk mati dan menyerahkan nyawa sebagai budak sang iblis. Maka dari itu ibunya menghindari dengan yang namanya iblis.

"Are you ready, Bea?" tanya Jachy dengan senyuman miring yang mengulas lebar di wajah tampannya.

Bea tersenyum tipis, berusaha bersikap biasa aja meski di dalam hati merasa ragu mengikuti langkah Jachy yang membawanya ke gereja setan itu. Namun, mau bagaimana lagi. Gadis berkulit putih cerah itu benar-benar frustasi melihat nilai-nilainya yang semakin hari kian menurun.

"Kamu yakin kalau dia bisa kabulkan apa pun yang aku minta?" tanya Bea.

Jachy menghentikan langkah lalu membalikkan tubuh ke belakang, mendekatkan wajahnya dengan wajah Bea. "Anything, dia akan kabulkan apa pun yang kamu mau dalam waktu dekat sekali pun. Kamu gak perlu takut, karena jemaat gereja ini isinya petinggi-petinggi dan orang-orang penting di negeri ini."

"Petinggi?" tanya Bea dengan dahi mengernyit.

"Iya," Jachy terkekeh kecil kemudian memundurkan wajahnya, "kekuatan iblis itu nyata dan terlihat, apa pun yang kamu minta pasti akan dikabulkan asal ... kamu bisa mengikat janji dan setia padanya."

Hening. Entah mengapa Bea merasakan perasaan yang begitu mengintimidasi dari tatapan yang Jachy layangkan padanya.

"Sudahlah, jangan tegang begitu," Jachy terkekeh kecil kemudian kembali melanjutkan langkah, menyurusi jalanan kota Hongkong yang tengah dipadati oleh kerumunan orang-orang sebab jarum jam menunjukkan pukul dua belas tepat.

Dua pasang kaki itu terus melangkah, hingga akhirnya berhenti tepat di sebuah bangunan yang berbentuk seperti gereja kecil, tetapi tidak ada salib yang menggantung di atas bangunan. Anehnya lagi, bangunan itu dicat dengan warna gelap dan sama sekali tidak mencerminkan gereja pada umumnya.

"Kita udah sampai," ucap Jachy sembari tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih yang berbaris rapi di mulutnya.

"Ini gerejanya?" tanya Bea.

Ah, harusnya ia tidak menerima ajakan Jachy untuk bergabung ke gereja ini. Dari luar saja sudah tidak meyakinkan, gedung ini lebih tampak seperti gedung tua yang tidak terurus daripada sebuah gereja yang katanya diisi oleh jamaat yang memiliki jabatan tinggi.

"Kita gak salah tempat?" tanya Bea memastikan.

Jachy terkekeh kecil. "Don't judge book by the cover, tahu pepatah itu bukan?"

"Iya, aku tahu. Terus?"

"Aku kira kamu beneran pintar, karena nilai kamu tinggi-tinggi dan berhasil dapatin beasiswa ke universitas bergengsi di sini, tapi ..." Jachy mendekatkan wajahnya pada Bea, "nampaknya itu bukan hasil kerja kerasmu sendiri."

Tubuh Bea seketika membeku kala mendengar perkataan Jachy. Bagaimana dia bisa tahu? Selama ini Bea tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun. Rahasia tentang ia mendapatkan beasiswa dengan jalur hitam, itu hanya dirinya dan sang ibu saja yang tahu.

"Just kidding, Babe. Mana mungkin seorang gadis sepertimu mendapat beasiswa dengan cara licik," Jachy tertawa renyah, tetapi sama sekali tidak mencairkan suasana hati gadis di sebelahnya itu, "ayo, ikut aku masuk ke dalam!"

Daun pintu kayu itu terbuka, Jachy lalu diekori Bea pun masuk ke dalam. Kedua bola mata Bea membulat lebar kala melihat isi dari gereja itu. Sungguh berbanding terbalik dengan penampilan luarnya, di dalam sana seluruh ornament terbuat dari kayu jati yang harganya bisa mencapai ribuan dolar Hongkong.

Bukan itu saja yang menarik atensi Bea, di depannya terdapat sebuah patung manusia yang duduk bersila, tapi anehnya manusia itu memiliki kepala kambing dan di antara dua sisinya terdapat salib kayu yang digantung terbalik.

"Selamat datang, Anakku!"

Sebuah suara berat yang menyapa membuat Bea dan Jachy mengalihkan pandang menuju sumber suara. Seorang lelaki bertubuh jangkung nan atletis berdiri di depan mereka, kulitnya putih pucat, matanya bulat dengan bola mata bewarna hitam senada dengan rambutnya yang dipotong dengan model curtain hair.

Lelaki itu kemudian mengulurkan tangan pada Bea. "Perkenalkan aku pendeta dari gereja ini, panggil saja aku Tuan Anton."

***

Di belahan benua lain, tepatnya di kota Amsterdam, sepasang suami istri duduk di depan Lukas yang berstatus sebagai narapidana dengan raut wajah frustasi. Sejauh mana mereka berjalan demi mencari bukti atas kebenaran kematian ayah Mark, tetapi yang mereka temui hanyalah jalan buntu.

"Maaf, Lucas aku dan Mark belum bisa mendapatkan bukti untuk membebaskan kamu dari sini," ujar Sally dengan kepala menunduk, merasa malu untuk sekadar melihat wajah Lucas.

Lucas tersenyum tipis. "Aku kan udah bilang gak usah melakukan itu, anggap saja ini sebagai hukuman karena udah bersikap jahat pada Mark dulu."

"Enggak! Pokonya aku bakal cari bukti buat ngeluarin kamu dari sini!" bantah Sally keras kepala.

"Jangan keras kepala, Sally!" ucap Lucas.

Namun, bukan Sally namanya jika tidak keras kepala. Gadis itu menggelengkan kepala dengan kuat. "Aku bakalan cari cara untuk ngeluarin kamu dari sini, Lucas! Kamu sama sekali gak salah, pokonya aku bakalan nyari cara untuk ngeluarin kamu dari sini dan bersihin nama baik kamu."

"Sally!" Akhirnya Mark membuka suara setelah bermenit-menit lamanya diam melihat perdebatan kecil antara Sally dan Lucas. "Lucas benar, kita lebih baik berhenti. Baba pasti sudah tenang di atas sana."

"Mark?" Sally menatap wajah Mark dengan tatapan tidak percaya, "kita udah sampai sejauh ini, tapi kamu malah mau berhenti?"

"Terus kamu mau kita gimana? Julian bukan lagi jamaat Anton, Jeffry udah meninggal dan kita gak tahu keberadaan Anton sekarang di mana," ucap Mark dengan rahang mengeras.

Tubuh Lucas seketika membeku kala mendengar fakta bahwa lelaki yang sudah dianggapnya sebagai seorang kakak belasan tahun lamanya kini telah meninggal dunia. Lelaki dengan pakaian bewarna moca yang membalut tubuh itu perlahan meneteskan bulir bening dari matanya.

"Jeffry udah meninggal?" tanya Lucas dengan nada pelan.

Sally menundukkan kepala, tidak sanggup untuk menyampaikan fakta itu pada Lucas. Sebab ia tahu bagaimana dekatnya mereka berdua saat masih berada di satu grup dulu. Gadis itu paham bagaimana rasa sakit yang didera Lucas karena tidak bisa melihat wajah Jeffry di saat-saat terakhirnya dan untuk terakhir kali.

"Aku dan Sally kemarin pergi ke rumah Jeffry, tetapi dia tidak ada dan tetangganya bilang kalau dia sudah meninggal dan ... sayangnya tidak ada yang tahu kebenaran kematian Jeffry bagaimana," jelas Mark.

Lucas mengangkat wajah dan menatap Mark lekat. "Apa ini perbuatan orang yang sama?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

-To Be Continued­

Holaaa!! Balik lagi sama Klandestin aww dan kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii

Holaaa!! Balik lagi sama Klandestin aww dan kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang