Tiket pesawat kembali ke Hongkong sudah di pesan oleh Mark kemarin. Mereka punya sisa dua hari lagi untuk bereskan sisa-sisa yang belum selesai diurus. Mulai dari membeli buah tangan untuk Jericho dan keluarga, mengunjungi rumah lama, berpamitan dengan Lucas dan paling penting adalah menemui Jackson di rumah barunya, hamparan laut biru yang merengut nyawanya belasan tahun silam.
Di bagasi mobil yang mereka sewa sudah berisi berbagai buah tangan yang dibeli pagi tadi. Kini mobil bewarna putih itu terparkir rapi di sebuah rumah kosong yang terlihat tak terawat. Rumah itu adalah rumah yang diduduki oleh Sally saat ia masih remaja dulu, bersama Jackson ayahnya.
Sekarang rumah itu tak berpenghuni. Sengaja Sally tak menjualnya, karena bangunan tua itu dipenuhi banyak memori yang tak mungkin terulang.
Sally menarik paksa kedua sudut bibir ke atas, membentuk senyum tipis dengan manik mata fokus menatap rumah lamanya. "Ah, aku jadi rindu masa-masa itu. Waktu itu aku masih benci denganmu, tapi kamu tetap sabar dan tetap jalanin perintah Jackson untuk menjagaku."
"Aku juga rindu masa itu," sahut Mark.
"Lho, kok kamu juga rindu? Kan dulu aku benci sekali denganmu. Kamu mau aku benci lagi?" protes Sally.
"Bukan begitu," Mark menggeleng kecil, "aku gak suka kamu benci denganku, tapi aku juga rindu dengan Jackson. Kalau bukan karenanya, kamu gak akan berada di sampingku saat ini. Dia banyak berjasa dalam hidupku, Sally. Kakakmu yang membuatku berani untuk mendekatimu dan membuat rasa bersalahku atas kematian mama perlahan menghilang."
"Kamu benar, Jackson juga berjasa banyak padaku. Kalau bukan karenanya, mungkin aku juga tidak ada di sini dengan kamu dan Jericho gak pernah lahir ke dunia ini," sahut Sally memutar kembali memori indah yang ia lalui bersama sang kakak.
Andai saja waktu bisa diputar kembali, Sally akan memeluk erat tubuh Jackson ucapkan ribuan rasa terima kasih pada lekaki itu.
"Mau ke tempat Jackson sekarang? Supaya kita sampai ke rumah baba gak terlalu malam," tanya Mark.
Sally mengangguk kecil. "Boleh, kalau masuk ke dalam rumah juga udah gak ada apa-apa. Kan semuanya udah kamu bawa pulang ke Hongkong."
"Biar kamu bisa ngerasa dekat dengan Jackson dan baba walaupun ... kita sudah berbeda alam," jelas Mark sempat jeda sebentar sebab takut akan melukai hati Sally.
"Gak papa, aku sudah bisa menerimanya. Kita pergi sekarang?" tanya Sally mengalihkan topik pembicaraan.
"Ayo!" Mark menarik pergelangan tangan Sally, membukakan pintu mobil dan mempersilakan wanita itu untuk masuk lebih dulu.
Lalu mobil sewaan itu kembali melanjutkan perjalanan. Membelah jalanan pinggir kota Amsterdam yang sepi, menuju rumah terakhir yang menjadi tempat pengistirahatan Jackson di dunia ini.
Sepanjang jalan, Mark dan Sally sama-sama diam. Mereka berdua fokus dengan pikiran masing-masing. Hanya alunan musik milik boy group Lucas dulu yang menemani kesunyian di dalam sana.
"Dulu aku penggemar berat Jeffrey, lho. Kamu tahu gak soal itu?" tanya Sally membuka topik pembicaraan.
Mark mengangguk kecil. "Aku tahu semua tentangmu, Sally.""Termasuk soal Lucas yang pernah suka denganku?"
Lagi-lagi Mark menganggukkan kepala."Kok kamu gak cemburu?" tanya Sally lagi.
"Untuk apa? Kamu kan milikku sekarang dan aku gak akan biarkan satu pun bisa mengambilmu dariku ...."
Meski sekali pun itu Anton, lanjutnya dalam hati.***
Di belahan lain kota Amsterdam, tepatnya di balik jeruji besi yang menjadi rumah kedua bagi Lucas bersama beberapa tahanan lain. Di antara mereka berempat, hanya Lucas sendiri yang memiliki darah Asia sedangkan tiga lainnya asli berkulit putih. Meski begitu, Lucas memiliki tubuh yang tinggi jadi tak begitu terlihat kecil di sana.
Namun, walaupun begitu tetap saja ia menjadi objek perudungan. Bukan, bukan karena ia memiliki darah Asia, melainkan alasan mengapa ia ditahan di sana. Membunuh seorang pendeta tua, sekaligus ayah mertua dari sahabat dekatnya dan pendeta yang sering memberi petuah kehidupan bagi para narapidana di sana.
Jelas mereka murka saat tahu pendeta yang membuat hidup mereka perlahan membaik itu kini mati di tangan teman anaknya sendiri.
Bugh!
Seorang lelaki bertubuh tegap hampir dua meter tingginya itu dengan sengaja menyepak tubuh Lucas yang tengah tertidur pulas di lantai, membuat mantan idola itu terbangun dan meringis kesakitan.
"Oh ternyata ada manusia di sini. Aku kira tadi kotoran, karena bau sekali," ledek lelaki itu yang disambut tawa dari dua temannya yang tengah bersantai di atas kasur.
Tanpa berkata apa-apa, Lucas bangun dan duduk bersandar di pojokan. Percuma jika melawan, mereka bertiga dan ia sendiri. Selain itu badan mereka yang lebih besar sudah pasti Lucas akan kalah jika melawan.
"Hei! Kenapa diam saja?" Lelaki itu tahu kemudian mendekati Lucas. "Pendeta Tuan menyukai kebersihan, begitu juga kami. Jadi kotoran sepertimu harus dimusnahkan."
Lelaki itu kemudian melayangkan tendangan kuat ke tubuh Lucas berulang kali, membuat lelaki itu tak mampu menahan bobot badan hingga akhirnya terjatuh ke lantai sembari memeluk erat lututnya. Kedua manik mata dipejam erat, tendangan itu sudah tak terasa sakit lagi sekarang.
Apa aku sudah kebal sekarang? batin Lucas meledek.
Bugh! Bugh! Bugh!
Hanya suara tawa keras dan tendangan yang terdengar di daun telinga. Padahal lebam biru-ungu kemarin belum pudar, tapi kini sudah diwarnai lagi. Bagaimana menyembunyikannya nanti saat bertemu dengan Sally dan Mark.
"HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN? BERHENTI!" pekik seorang sipir yang kebetulan lewat di depan ruangan mereka.
Atau kita tidak perlu bertemu lagi, Sally? batin Lucas sebelum akhirnya semua menggelap dan ia tidak ingat apa pun lagi.
-To Be Continued-
Holaaa!! Ingat ges mereka tuh jago banget ngegombal buat dapatin newmem dan aku punya kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]
ParanormalLari dari masalah bukan sebuah penyelesaian. Sejauh mana Sally berlari, Anton akan terus mengejar demi menuntaskan balas dendam di masa lalu. Perburuan diawali dengan kematian mertua Sally yang dibunuh tanpa jejak. Perburuan semakin gila saat sang a...