Semilir angin berembus menerpa wajah seputih tahu milik Bea yang tengah duduk di sebuah bangku panjang di taman kampus sembari menatap lembaran nilai yaang kian hari semakin menurun. Kalau begini bisa-bisa beasiswanya dicabut lalu bagaimana ia melanjutkan masa studi tanpa ada beasiswa?
Pendapatan sang ibu sebagai dukun junior tidak mungkin mampu bisa meng-cover biaya kuliah dan biaya hidupnya di kota metropolitan yang apa-apa serba mahal ini.
Bea mendesah berat, aku harus gimana, Tuhan? Tunggu! Tuhan?Gadis itu mendorong pelan kepalanya. Dasar manusia tidak tahu malu, saat bingung begini baru mengingat Tuhan. Kemarin ke mana saja?
"Beaaaa!"
Kepala Bea menoleh ke samping, manik cokelat tuanya mendapati sosok lelaki jangkung berwajah kecil yang tengah berlari kecil menghampirinya.
"Akhirnya kita ketemu juga!" seru Jericho dengan senyum lebar terulas di wajah. "Kamu ke mana aja selama ini, Be?"
Bea menarik paksa kedua sudut bibir ke atas hingga membentuk sebuah senyum tipis. "Aku gak ke mana-mana, cuma akhir-akhir ini lagi sering belajar. Karena kamu tahu sendiri aku harus pertahanin nilaiku supaya beasiswaku gak dicabut."
"Syukurlah kalau begitu, aku takut kamu kenapa-napa. Karena pesanku gak pernah kamu jawab, aku khawatir," ujar Jericho.
"Sorry, Jer. Um ... orang tuamu udah kembali dari Belanda?" tanya Bea mengalihkan topik pembicaraan.
Kini senyum di wajah Jericho memudar, wajahnya ditekuk kemudian mengambil napas panjang sebelum menjawab, "belum, sepertinya mereka akan lama di sana, karena kasus meninggalnya grandpa-ku tidak semudah yang aku pikirkan. Aku tidak tahu pasti, tapi mama dan papa makin protektif dan menyuruhku untuk rajin ke gereja dan jauhi orang asing."
"Berarti Lucas bukan pelakunya?" tanya Bea menggebu-gebu, ia masih belum bisa menerima jika idolanya dituduh sebagai pembunuh dari seorang pemuka agama. Apa lagi dengan motif balas dendam.
"Sepertinya iya, karena mama dan papa di sana fokus mencari bukti agar paman Lucas bisa dibebaskan dari jeruji besi," jawab Jericho.
Melihat raut wajah Jericho yang terlihat sedih membuat Bea ikut merasa sedih. Kehilangan seorang kakek yang sangat ia sayang dan pembunuh sang kakek yang masih berkeliaran bebas pasti membuat Jericho dan keluarganya sangat terpukul.
"Sorry, aku gak bermaksud untuk membuatmu sedih," ucap Bea sembari menepuk-nepuk pelan bahu Jericho yang kini tengah duduk di sampingnya.
"It is okay, Be. Aku udah mulai ikhlas dengan kepergian grandpa dan aku juga udah mulai terbiasa tinggal sendiri di rumah, tapi ..." Jericho menoleh dan menatap manik mata Bea lekat, "kalau kamu mau temani aku di rumah, aku akan sangat senang."
Bea mengangguk kecil. Meski enggan, tetapi saat ini ia akan mengiyakan saja apa pun yang lelaki itu ucapkan. Dari pada akan memperpanjang percakapan, lebih baik Bea bilang iya saja lalu nanti baru mencari alasan untuk menolak permintaan Jericho.
"Thanks, Be. Aku boleh minta satu hal lagi?" pinta Jericho.
"Apa, Jer?" tanya Bea.
"Hari minggu nanti, kamu mau temani aku ke gereja? Kita beribadah bersama."
Tepat seperti apa yang ada di pikiran Bea, pasti Jericho akan mengajaknya pergi beribadah bersama ke gereja. Apa lagi selama ini lelaki itu tahu jika Bea tidak pernah pergi ke gereja dengan alasan sibuk belajar demi mempertahankan nilai.
Untunglah minggu nanti ia telah membuat janji dengan Jachy, jadi Bea punya alasan untuk menolak permintaan Jericho yang satu ini. Lagipula berat rasanya bagi Bea untuk melangkahkan kaki ke dalam gereja, karena ia adalah anak seorang dukun. Dari kecil tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya untuk beribadah di gereja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]
Siêu nhiênLari dari masalah bukan sebuah penyelesaian. Sejauh mana Sally berlari, Anton akan terus mengejar demi menuntaskan balas dendam di masa lalu. Perburuan diawali dengan kematian mertua Sally yang dibunuh tanpa jejak. Perburuan semakin gila saat sang a...