▪︎ 19-Back to Hongkong▪︎

11 1 0
                                    

Satu per satu sisa kebahagiaan milik Sally direngut secara paksa dengan cara menyakitkan. Satu-satunya teman, sekaligus sahabat yang telah menemaninya menikmati manis pahitnya kehidupan kini telah pergi meninggalkannya dengan cara yang sadis.

Lucas dikabarkan telah membunuh dirinya sendiri. Tidak, kali ini tidak sama dengan kasus bunuh diri yang menimpa Bambam dan Jeffrey. Lucas ditemukan sudah tidak bernyawa dalam keadaan leher menggantung di tali tambang yang diikat di kamar mandi.

Hari ini adalah hari pemakaman Lucas. Tak ada satu pun yang datang untuk mengantar kepergiannya. Para penggemar yang dulu sangat mencintai sosok Lucas kini telah menghilang karena kasus palsu yang menimpanya.

Hanya Sally dan Mark yang mengantar kepergian Lucas. Bersama anggota polisi lain yang bertugas untuk mengubur lelaki di area pemakaman di pinggir kota. Usai mengerjakan tugasnya, para polisi itu segera berpamitan dan pergi.

Menyisakan Sally dan Mark yang masih terdiam di sana, dengan berlinang air mata menatap papan salib bertuliskan nama Lucas Wang di sana.

"Dia benar-benar pergi?" rintih Sally.

"Dia sudah pergi," jawab Mark pelan. Meski hubungannya dengan Lucas tidak terlalu baik dan pernah terjadi konflik di antara mereka berdua, tetapi tetap saja Lucas adalah teman kecilnya. Sekaligus lelaki yang selalu menjaga Sally di saat dirinya tak bisa menjaga.

Tak mampu menahan bobot badan, Sally jatuh di atas rerumputan dengan bulir bening yang berhasil terjun bebas dan membasahi kedua sisi pipinya. Ia menangis sesenggukan seraya berusaha menggapai papan salib yang bertuliskan nama Lucas itu.

Mark-yang sebelumnya tak mampu menahan tubuh Sally agar tak merosot-pun ikut berjongkok di sebelah istrinya dan merangkul lalu mengusap-usap bahunya perlahan.

"Kenapa kau bodoh sekali, sih?" hardik Sally pada jasad Lucas yang telah tertimbun tanah. "Aku sudah bilang aku dan Mark pasti akan membebaskanmu nanti dari jeruji besi itu ... tapi kenapa ... kenapa kau gak mau menunggu kami."

Nada suara Sally semakin kecil di akhir kalimat bersamaan dengan memori-memori indah bersama Lucas yang melintas di memori ingatannya. Saat mereka masih berada di Hongkong, lalu pindah ke Amsterdam, Lucas menjadi seorang idol hingga Lucas yang merelakan Sally untuk mengikat janji suci dengan Mark.

"Aku tahu ini berat, tapi bagaimana pun Lucas sudah tenang di sana. Kita harus merelakan kepergiannya," ucap Mark pelan, berusaha agar tak menyentuh titik sensitif Sally.

"Kenapa semua diambil?"

Mark menarik Sally dalam pelukan, membelai kepala wanitanya dengan lembut. Menyalurkan kekuatan melalui pelukan hangat. Dersik angin berembus pelan dan mengisi kesunyian di area pemakaman itu.

Tangis mulai mereda, Sally lalu melepaskan pelukan Mark kemudian menghapus jejak air mata yang masih tersisa. "Kita harus pulang, Mark. Yang aku punya sekarang cuma Jericho, aku gak mau kalau Anton sampai merebutnya juga dariku."

"Iya, kita pulang sekarang, ya," sahut Mark sembari membelai puncak kepala Sally.

"Tapi ... dia gak mungkin tahu tentang Jericho, kan? Aku gak bisa kehilangan anakku," lirih Sally.

Mark mengangguk kepala penuh kepercayaan. Meyakini semua akan berjalan baik-baik saja, Anton tak mungkin bisa menyentuh Jericho. Tanpa ia sadari jika lelaki yang selama ini menghantui hidup Sallu telah berada satu langkah di depan.

***

Setelah pemakaman Lucas, Sally dan Mark langsung terbang pulang kembali ke Hongkong. Karena Sally tidak memiliki satu alasan pun untuk tetap berada di Amsterdam. Lucas, yang menjadi satu-satunya alasan bagi Sally untuk berada di sana, sekarang telah pergi untuk selamanya. Dia pergi lebih dulu, menyusul ibu, ayah serta Jackson.

Penerbangan selama empat belas jam terasa sangat lama. Selama berada di pesawat, Sally hanya duduk diam termenung. Makanan yang berada di depan sama sekali tak disentuhnya, bahkan Mark sampai menawari untuk menyuapi wanita itu.

Namun, Sally tak bergeming. Ia terus menatap birunya langit dari jendela yang tepat berada di sebelahnya sembari sesekali menghela napas berat.

Dengan perut hanya berisi sepotong roti dan segelas susu. Sally turun dari pesawat dengan keadaan lemah tak mampu untuk menggerakkan tungkai jangkung miliknya. Terpaksa Mark menggendong wanita itu di punggungnya dengan tangan mendorong troli berisi tiga koper-satu besar dan dua kecil-milik mereka berdua.

"Papa! Mama!" Suara teriakan dari Jericho terdengar, tetapi ia sama sekali tidak menemukan keberadaan putra tunggalnya di tengah-tengah lautan manusia.

Mark terus melirik ke sekitar dengan menggendong Sally yang keadaannya semakin melemah, karena kelaparan. Lalu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pelan lengan Mark.

"Papa?"

Mark bernapas lega kala melihat paras putranya. "Kamu baik-baik saja kan sendirian di sini?"

"Baik, Pa, tapi mama kenapa?" tanya Jericho dengan raut wajah khawatir melihat kondisi Sally di atas gendongan sang ayah.

"Dia lemas karena belum makan. Kita pulang sekarang saja, biar mamamu bisa istirahat dan mengisi perutnya," ucap Mark.

Jericho menurut, ia lalu mengambil alih troli berisikan koper-koper itu kemudian mendorongnya menuju tempat di mana ia memarkirkan mobil.

Mark memasukkan Sally lebih dulu ke kursi penumpang di bagian belakang, lalu membantu Jericho memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Mama kenapa sampai lemas begitu, Pa?" tanya Jericho seraya mengatur posisi koper agar semuanya muat terisi di dalam koper.

"Dia gak mau makan di pesawat tadi, cuma makan sedikit roti dan minum susu setelah papa paksa," jawab Mark.

"Kenapa? Did something happen to mama?" tanya Jericho lagi.

Mark terdiam sejenak, membuat Jericho ikut berhenti melakukan aktivitasnya dan menatap sang ayah dengan raut wajah bingung. Memangnya apa yang terjadi di Belanda sana sampai-sampai kedua orang tuanya pulang dalam keadaan yang aneh seperti ini.

"Apa mama sangat terpukul atas kematian grandpa?" tanya Jericho penuh kehati-hatian, takut jika nanti pertanyaan yang keluar dari mulutnya justru menyinggung hati ayahnya.

Namun, Mark malah menggeleng pelan. "Mamamu juga terpukul atas kematian grandpa, tapi sekarang yang mem-ah kita harus segera pulang. Nanti mamamu semakin kelaparan."

Meski rasa penasaran masih menyelimuti diri Jericho, tetapi ia tetap mematuhi perintah sang ayah untuk bergerak cepat menutup bagasi kemudian segera pulang agar Sally dapat beristirahat dengan nyaman di kamarnya.

Jericho mengubur rapat-rapat rasa penasarannya kala melihat paras ayu ibunya kian memucat. Bibir tipis yang biasa bewarna cherry kini telah berganti putih. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

-To Be Continued-

H

olaaa!! Ingat ges mereka tuh jago banget ngegombal buat dapatin newmem dan aku punya kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii

Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang