Jona Haidar Prasetyo

1K 128 16
                                    

****

Jona tidak pernah menyukai sepupunya yang bernama Sean

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jona tidak pernah menyukai sepupunya yang bernama Sean. Lelaki yang berusia satu tahun lebih tua darinya itu selalu mendapatkan apa yang ia inginkan dengan mudah, termasuk perusahaan keluarga. Semua selalu berpihak pada Sean. Sejak remaja, bahkan hingga mereka dewasa.

Padahal Sean tidak lebih baik darinya, lelaki itu bahkan jauh lebih buruk. Di saat statusnya yang telah berubah menjadi seorang suami dari wanita yang dijodohkan oleh sang ayah, Sean masih menjalin kasih dengan mantan kekasihnya yang merupakan seorang model.

Sungguh, apa mereka serius ingin menyerahkan perusahaan pada lelaki itu?

Jona tidak bisa diam begitu saja, apalagi Rapat Umum Pemegang Saham akan dilaksanakan sebentar lagi, tentu tujuan rapat itu untuk membentuk Pimpinan baru. Kandidat terbesar yang bisa menduduki kursi tertinggi di perusahaan dipegang oleh dirinya dan Sean.

Sialnya, banyak Pemegang Saham yang sangat mempercayai Sean, apalagi melihat statusnya yang merupakan anak dari Om Bagas. Meski Om Bagas bukan anak tertua di dalam keluarga Pradipta, tapi kakek sudah menyerahkan seluruh kekuasaan pada pamannya itu. Sementara Jona, ia hanyalah anak yang lahir dari adik perempuan Om Bagas.

Di keluarga mereka, lelaki akan selalu menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Saham yang diterima juga akan lebih banyak. Jika melihat daftar silsilah keluarga, memang Sean yang berhak menduduki jabatan tersebut, tapi Jona tidak bisa begitu saja membiarkannya menang. Jona ingin unggul dari sepupunya itu. Meski hanya sekali.

Tapi bagaimana caranya? Belum lagi tekanan dari sang ayah yang terus memintanya untuk mengalahkan Sean. Papa selalu memaksa Jona untuk bisa berada di atas sepupunya itu, dan alhasil tekanan seperti itu membuat Jona merasa berantakan.

Sungguh, kalau bisa ia ingin lenyap saja dari muka bumi ini. Eh, tapi bukankah lebih mudah kalau ia melenyapkan Sean? Bagaimana kalau ia merencanakan pembunuhan? Membunuh Sean mungkin?

"Bos ...." Ijal—asisten pribadinya datang dengan tergopoh-gopoh dari pintu kelab malam dan berhenti di sebelahnya yang sibuk menuang brendi ke dalam gelas. "Bos udah mabuk, kita pulang aja yuk, Bos."

Jona menggeleng, menenggak lagi cairan pekat memabukan itu ke dalam tenggorokannya. "Kamu aja yang pulang, saya masih mau di sini."

"Tapi Pak Wibowo nanti bisa marah, Bos."

"Gak penting!" Jona mengibaskan tangannya ke udara, bermaksud mengusir Ijal. "Udah sana, saya lagi gak mau diganggu, Jal!"

Ijal meringis, ia tidak mungkin meninggalkan Bosnya itu karena perintah Pak Wibowo—ayah Jona. Ijal tahu sesungguhnya Bosnya ini lelaki baik, hanya saja tuntutan sang ayah untuk mengungguli sang sepupu membuat Jona tertekan.

"Ck! Udah kamu tenang aja, saya gak akan bikin masalah."

Tentu saja Ijal tidak menurut, memastikan Bosnya tidak membuat masalah adalah tugas utamanya. Lantas Ijal hanya melipir sedikit menjauhi meja Jona saat ini. Ia masih memperhatikan lelaki itu dari jauh.

Sudah botol kedua yang Jona tenggak malam itu, suara bising kelab malam tak juga membuatnya merasa lega. Isi kepalanya terus berkelebat memikirkan bagaimana caranya menyingkirkan Sean.

Sepupunya itu memang berengsek. Bagaimana bisa Sean selalu mendapatkan apa pun yang Jona inginkan dengan mudah sementara ia harus berjuang lebih dulu, bahkan Jona nyaris sekarat dalam perjuangannya.

Terkadang terlintas untuk keluar dari perusahaan keluarga, membuka usahanya sendiri dengan uang yang ia miliki. Meski mungkin tidak sebesar Pradipta Group, tapi Jona pikir itu yang terbaik karena usaha itu adalah miliknya sendiri, hasil kerja kerasnya.

Ah, tapi balik lagi. Papa selalu mendikte hidupnya, seolah paling tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Memaksakan sesuatu yang tidak Jona sukai. Jadi, berapa sih usianya? Mengapa hidupnya masih serba diatur oleh orang tua?

"Dasar sialan!" Jona mengumpat kasar setiap mengingat betapa nelangsanya hidup yang ia jalani. Menjadi bayang-bayang Sean untuk papanya.

Ck, memang sialan hidup ini.

Menenggak lagi cairan pekat itu, Jona berusaha membasahi tenggorokannya yang terasa kering karena tidak berhenti mengutuki hidup. Untuk beberapa saat ia masih larut dalam suasana kelab malam, memperhatikan seluruh orang yang meliukan tubuh di tengah lantai dansa.

Hingga tak sengaja matanya terpaku pada satu sosok yang sangat ia kenali. Meski penglihatan di sana sangat minim dan remang-remang, tapi Jona yakin kalau ia mengenali wanita itu. Dengan gaun merah tipis, sosok itu terduduk di kursi bar yang tak jauh darinya. Wajah wanita itu tampak kusut, Jona jelas tahu apa yang membuatnya seperti itu.

"Bella?" gumam Jona. Ia mengenali wanita itu sebagai selingkuhan sang sepupu—atau lebih tepatnya mantan kekasih yang telah dibuang.

Ck, menyedihkan. Oh tentu Jona tidak bermaksud mengasihaninya, hanya saja Sean memang keparat, mencampakan wanita yang sudah ia beri janji manis dan berlaga seolah semua baik-baik saja.

Jona tahu, Bella pasti ingin membalaskan rasa sakitnya. Lalu pikiran jahat berkelebat. Akan sangat menarik kalau ia bisa menggunakan wanita itu untuk menjatuhkan Sean. Ya, membongkar aib sepupunya yang gemar berselingkuh.

Ini akan menjadi kartu mati Sean. Jona akan membuatnya malu, bukan hanya membuat Sean gagal menjadi kandidat pemimpin yang baru, tapi rumah tangga lelaki itu juga pasti akan hancur.

 

****

Kata Anna :

Hellaaaww, gess. Ada yang baru nihh.

Untuk pembaca The Agreement pasti tau siapa karakter di cerita ini.

Sean di dalam cerita ini bukan karakter yang ada di Pacta ya. Pacta dan Merajut Asa tidak ada kaitannya.

Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang