Bab 1 Permintaan Terakhir Ibu

195 6 0
                                    

Istri Pilihan Ibu

Bab 1 Permintaan Terakhir Ibu

"Dewa, Ibu mohon menikahlah dengan Gemi!"

Sadewa terperangah tak percaya mendengar permintaan ibunya. "Aku tidak mau, Bu!" Sadewa menolak dengan tegas.

Wajah kekasih hati yang berada di ibu kota melintas dalam benaknya.
Ia tak ingin mengkhianati gadis kota nan cantik jelita yang sudah menjadi tambatan hatinya.

"Umur Ibu tidak lama lagi, Nak. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir Ibu," bujuk sang ibu dengan tatapan memohon kepada putra tunggalnya.

Sadewa memandangi perempuan paruh baya yang tengah berbaring lemah. Ia menghela napas, "Kenapa harus Gemi, Bu?"

Sadewa protes. Bayangan seorang gadis bertubuh pendek dan gemuk dengan wajah kusam penuh jerawat melintas dalam pikirannya. Ia pun menggeleng.

Pria tampan itu merasa keberatan. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis desa pilihan sang Ibu. Karena sepotong hatinya sudah dimiliki gadis kota yang sangat dicintainya saat ini.

Devita Faradiba memiliki postur tubuh proporsional, tinggi semampai dan langsing. Kulit wajahnya putih bersih dan glowing. Paras cantiknya membuat banyak lelaki tergila-gila kepadanya.

Lelaki mana yang tidak berhasrat ingin memiliki gadis semenarik itu? Tak terkecuali Sadewa, yang hanya seorang pemuda dari desa yang merantau ke Jakarta itu merasa paling beruntung bisa memiliki Devita.

Sementara Gemi Nastiti, wanita pilihan sang ibu penampilannya sangat jauh berbeda dengan Devita, bagaikan bumi dan langit. Kulit Gemi sawo kematangan cenderung gelap. Maklum dari kecil gadis lugu itu sering ikut neneknya menanam padi di sawah. Jadi sering terpanggang sinar matahari.

Gemi memiliki tubuh pendek dan gemuk. Hingga saat bersekolah ia kerap di-bully dan dipanggil dengan julukan "buntelan".

Bukan hanya postur tubuhnya saja yang membuat Gemi merasa rendah diri. Raut mukanya pun biasa saja, tidak bisa dibanggakan. Kulit wajahnya cokelat tua cenderung gelap dan juga tampak kusam. Noda hitam bekas jerawat memenuhi pipi kiri dan kanannya membuatnya makin insecure, tidak percaya diri.

"Meski secara fisik tak semenarik kekasihmu yang di kota. Ibu jamin Gemi memiliki kecantikan dari hati. Ibu yakin gadis itu akan selalu berbakti kepadamu dan bisa membuatmu bahagia." Bu Gayatri masih berusaha meyakinkan putranya.

Sebelum pergi menghadap Ilahi, perempuan paruh baya itu ingin memastikan putranya tidak salah dalam memilih istri. Saat berkunjung ke ibu kota, ia merasa tidak sreg dengan gadis kota yang diperkenalkan sebagai kekasih putra semata wayangnya itu.

Sadewa dilanda dilema. Ia bimbang antara menuruti permintaan sang ibu atau mempertahankan kesetiaanya kepada sang kekasih hati. Tim medis sudah memberitahunya bahwa umur ibunya tidak akan lama lagi. Bisa hanya tinggal hitungan bulan atau minggu. Bisa juga hanya bertahan beberapa hari saja.

"Baik, Bu," jawab Sadewa pasrah. Ia tidak tega untuk menolak permintaan sang ibu. Toh nanti ia bisa menceraikan Gemi setelah ibunya tiada. Kekasihnya juga tidak akan tahu ia menikahi gadis desa tetangga sebelah rumahnya. Pikir Sadewa.

Bisa jadi ini adalah permintaan terakhir ibunya sebelum pergi menghadap Sang Pencipta. Tentunya sebagai anak yang berbakti ia ingin melihat ibunya pergi dengan tenang. Ia pun tidak ingin didera penyesalan di kemudian hari bila tidak patuh kepada ibunya.

Mengingat sakit ibunya yang kian parah juga pekerjaan Sadewa di Jakarta yang tidak bisa ditinggal lama-lama, pernikahan Sadewa dan Gemi dilakukan secepatnya dan secara sederhana. Tidak ada pesta. Hanya acara ijab kabul saja. Yang terpenting keduanya telah sah sebagai suami istri di mata hukum agama dan negara.

"Sadewa, Ibu titip Gemi. Jaga dia baik-baik dan jangan pernah kau sia-siakan istrimu," nasihat Bu Gayatri setelah acara ijab kabul baru saja usai.

Setelah resmi menjadi istri Sadewa, Gemi memasuki kamar suaminya. Gadis lugu dan polos itu sudah sangat hafal seluk beluk kamar ini. Selama belasan tahun bekerja sebagai ART Bu Gayatri, hampir setiap hari ia selalu bertugas membersihkan kamar ini meski pemiliknya jarang ada di rumah.

Setelah menamatkan SMA-nya di desa, Sadewa melanjutkan kuliah dan bekerja di ibu kota. Sekarang Gemi memasuki kamar ini bukan sebagai ART, tetapi sebagai istri dari Sadewa dan menantu Bu Gayatri.

Gemi duduk di tepi ranjang yang bertabur bunga mawar merah sembari menitikkan air mata bahagia. Ia tidak pernah menyangka dan menduga impian semasa remajanya yaitu bersanding di pelaminan dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu terwujud dengan mudah dan cepat.

Terdengar suara pintu dibuka diikuti suara langkah kaki berjalan mendekat. Jantung Gemi berdegup kencang. Dadanya pun berdebar-debar tak karuan. Meski dari kecil sudah mengenal Sadewa, tetapi ia sangat jarang sekali mengobrol dengan putra tunggal majikannya itu.

Usia Sadewa yang lima tahun lebih tua membuat Gemi sungkan dengan pria tampan itu. Lagi pula lelaki itu adalah anak majikannya. Ditambah karakter Sadewa yang dingin, cuek, dan irit berbicara.

"Tidurlah, Gemi! Aku tidak akan menyentuhmu. Perlu kamu ketahui, aku menikahimu hanya karena berbakti kepada Ibu. Jangan berharap lebih," tegas Sadewa berkata terus terang di malam pertama mereka.

Baru beberapa detik yang lalu, Gemi merasa menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia. Namun, baru saja ucapan suaminya membuatnya syok. Ia seperti dilambungkan di ketinggian lalu dilemparkan ke dasar jurang.

Perkataan Sadewa yang terdengar sarkastis itu mampu menggoyak hati Gemi Nastiti yang lembut. Gadis itu memegangi dadanya yang sakit.

"I-ya, Mas, a-ku mengerti," jawab Gemi susah payah menelan ludah. Ia makin menunduk malu, merasa tidak berharga, ditolak suaminya di malam pertama yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin baru.

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dadanya makin terasa sesak. Ia adalah istri yang tak dianggap. Gemi berusaha untuk tegar, menahan air mata yang sudah berdesakan ingin keluar.

"A-ku permisi ke kamar mandi sebentar, Mas," pamit Gemi melangkah cepat menuju kamar mandi. Ia tidak ingin Sadewa melihatnya menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan sang suami.

"Satu lagi yang perlu kamu tahu, Gemi. Aku sudah mempunyai kekasih di kota."

Mendengar pengakuan Sadewa, hati Gemi makin luluh lantak. Awalnya ia berpikir akan sanggup bertahan dan akan berjuang untuk mendapatkan simpati dan hati suaminya. Ternyata sudah ada perempuan lain yang mengisi hati suaminya.

Gemi patah hati di malam yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin baru itu. Apa artinya bersanding di pelaminan, bila ia tidak memiliki hati suaminya. Perasaannya lebih pedih daripada perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Menjadi istri yang tak dianggap sungguh menyakitkan hatinya. Gemi tertidur dengan berselimutkan kesedihan.

Sebelum azan subuh berkumandang, Gemi sudah terbangun. Selama dua tahun terakhir--tepatnya saat Bu Gayatri mulai sakit-sakitan-- ia selalu menemani tidur di rumah majikannya.

Setiap bangun tidur, Gemi akan mengecek ke kamar majikannya itu. Saat ini statusnya sudah berubah. Bukan lagi sebagai pembantunya, tetapi sebagai menantunya.

Saat hendak membangunkan ibu mertuanya untuk sholat Subuh, ternyata wanita paruh baya itu sudah tidak bernapas. Denyut nadinya berhenti berdetak.

"Bu ... bangun!" jerit Gemi histeris saat menyadari ibu mertuanya telah pergi untuk selamanya. Ucapan Sadewa yang akan menceraikan dirinya setelah ibunya pergi kembali terngiang. Gadis desa yang lugu ini khawatir akan menjadi janda secepat itu.

Istri Pilihan Ibu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang