Bab 16 Sebuah Harapan Membuatnya Bertahan

53 2 2
                                    

ISTRI PILIHAN IBU

Bab 16 Sebuah Harapan Membuatnya Bertahan

"Mbak Gemi tenang saja, sekarang sudah bisa memiliki Pak Dewa seutuhnya." Siti memberikan dukungannya.

"Iya, meskipun sudah tidak ada lagi Devita, Mas Dewa belum tentu mau menganggapku sebagai istrinya. Mas Dewa mungkin malu memiliki istri yang penampilannya kampungan dan juga tidak menarik. Aku memang tidak sepadan dan tak pantas jadi istrinya. Mas Dewa terlalu sempurna." Gemi tetap pesimis, tidak yakin Sadewa akan meliriknya.

"Mbak Gemi sebenarnya cantik kok, cuma ...." Siti menggantung ucapannya.

"Cuma apa?"

"Sedikit gendut aja, hehehe ...." Siti orangnya terlalu polos dan jujur. Dibilang gendut membuat Gemi makin insecure.

Sulitnya menurunkan berat badan, hampir membuat Gemi menyerah. Sudah diet ketat tiap hari menahan lapar. Pas giliran nimbang hanya berkurang tiga kilogram saja. Rasanya usahanya menurunkan berat badan terasa sia-sia.

Sepanjang hari itu mood Gemi jadi jelek. Gadis desa itu tampak murung dan bersedih. Ia terus saja memikirkan gosip yang beredar di kompleks perumahan bahwa ia adalah seorang pelakor. Mau keluar rumah Gemi jadi enggan.

Gemi merasa malu. Nama baiknya tercoreng. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah dan berharap gosip itu reda dengan sendirinya.

Menjelang Maghrib terdengar suara deru mobil memasuki garasi. Gemi segera menyeka sudut matanya yang basah, sebelum melangkah keluar kamar menyambut kepulangan Sadewa dari kantor.

Gemi melangkah dengan gontai menuju ke dapur untuk menyeduh teh untuk Sadewa yang baru pulang dari bekerja. Meski Sadewa tidak menganggapnya sebagai istri, Gemi tetap melakukan semua hal yang harus dilakukan seorang istri yang baik dan berbakti kepada suami. Hanya satu hal saja yang belum ia tunaikan yaitu melayani kebutuhan biologis suaminya.

Setelah selesai membuat teh, Gemi menyalakan kompor untuk menggoreng pisang kepok yang dibawanya dari kampung hasil panen dari kebun Pakliknya.

Setelah melepas sepatu dan menaruh tas kerja, Sadewa membuka baju kerjanya lalu mencuci tangan di wastafel. Pria tampan itu menarik sebuah kursi dan duduk di meja makan. Di depannya telah tersedia teh panas dan sepiring pisang goreng yang masih hangat.

Seharusnya Sadewa bersyukur memiliki istri sebaik Gemi yang selalu melayani semua kebutuhannya di rumah. Namun, pria tampan itu masih sering teringat Devita. Saat mengingat mantan istrinya itu, dadanya masih terasa sesak. Hatinya masih terasa sakit dan perih.

"Jam berapa nyampe rumah, Gemi?" tanya Sadewa berbasa-basi. Tiga bulan hidup bersama satu atap, Sadewa mulai terbiasa dengan kehadiran Gemi. Mulai ada perbincangan diantara mereka. Meski obrolannya masih seperlunya, hanya basa-basi.

"Jam delapan, Mas. Keretanya agak telat. Oh, ya, Devita kemana, Mas?" tanya Gemi pura-pura tidak tahu apa-apa. Gadis desa itu ikut duduk di meja makan. Ia ingin mendengar cerita tentang Devita versi Sadewa.

Sadewa menghela napas, "Jangan pernah bahas dan sebut namanya lagi. Aku sudah menceraikan dan mengusirnya dari rumah ini," ucap Sadewa terdengar emosi.

"Mas Dewa menceraikan dan mengusir Devita?" tanya Gemi  pura-pura terkejut. "Kenapa?" tanyanya.

"Devita membawa selingkuhannya ke rumah ini saat aku tidak ada di rumah."

"Dulu Mas Dewa nggak percaya saat kubilang Devita berselingkuh?" batin Gemi. Waktu itu ia merasa kesal  Sadewa lebih mempercayai Devita. Seharusnya dulu ia memotret Devita dan selingkuhannya sebagai bukti.

"Kamu senang 'kan Devita sudah kuceraikan." Sadewa teringat buku harian Gemi yang sudah selesai dibacanya hingga akhir. Ia tahu gadis desa itu begitu menginginkan dirinya dari masih bau kencur.

Istri Pilihan Ibu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang